Ketahanan Pangan Jabar Terwujud dengan Islam
Oleh:
Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Ketahanan pangan adalah isu yang tak pernah lekang oleh waktu. Di tengah krisis pangan global dan ketimpangan distribusi sumber daya. Pembahasan dan sosialisasi kerawanan serta ketahanan pangan dalam bidang ekonomi selalu menarik dikaji untuk mendapatkan solusinya.
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jawa Barat mengadakan sosialisasi kerawanan ketahanan ekonomi dengan narasumber Asisten Pribadi Wali Kota Tasikmalaya Deden Khairul Rizal Fadli. Kegiatan ini sebagai bentuk perhatian dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk pertumbuhan ekonomi jawa barat. (tasikzone.com, 21 Maret 2025)
Kerawanan pangan sejatinya tidak terjadi di negeri ini. Karena faktanya, Indonesia kaya akan sumber daya alam yang sangat mampu dalam menunjang kebutuhan pangan seluruh rakyat. Bahkan kekayaan sumber daya alam tersebut tersebar di berbagai provinsi termasuk Jawa Barat.
Hanya saja pengelolaan pangan di bawah sistem kapitalisme sekuler menjadi penyebab ketimpangan akses pangan yang terjadi hari ini. Tata kelola yang digunakan dalam menjamin kebutuhan pangan rakyat sangat buruk. Pasalnya, sistem ini semakin mengukuhkan penguasaan lahan oleh korporasi.
Model pertanian dengan pelibatan korporasi bisa dipastikan adanya pemberian izin konsesi untuk pengelolaan lahan kepada pihak korporasi sebagaimana proyek food estate dan proyek lumbung pangan lainnya.
Alhasil terjadi ketimpangan kepemilikan lahan antara petani dan korporasi. Dampaknya adalah pihak korporasi menguasai rantai produksi hingga distribusi pangan. Masyarakat pun semakin sulit memenuhi kebutuhan pangan karena harganya yang dipastikan mahal.
Solusi Islam
Berbeda dengan sistem Islam, syari’at Islam mengatur seluruh urusan rakyat termasuk ketahanan dan kemandirian pangan menjadi hal yang mutlak diwujudkan negara. Peran utama untuk mewujudkannya ada di pundak penguasa (pemerintah).
Rasulullah Saw. bersabda “Imam (penguasa) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya,” hadis riwayat Ahmad dan Al-Bukhari.
Negara tidak boleh mengalihkan peran ini kepada pihak lain apalagi korporasi. Untuk merealisasikannya akan mengacu pada syari’at Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah.
Islam menempatkan sektor pertanian sebagai salah satu pilar ekonomi karena berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, negara akan memberi perhatian besar terhadap sektor ini dengan mengoptimalkan pengelolaannya agar kebutuhan seluruh rakyat individu per individu terpenuhi.
Negara akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dengan meningkatkan produktivitas lahan. Negara bisa mengupayakan intensifikasi dengan menyebarluaskan teknologi terbaru dan paling unggul kepada para petani. Selain itu, negara bisa membantu pengadaan benih unggul, pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya .
Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dilakukan oleh negara dengan mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Bahkan negara akan memberikan modal tanpa kompensasi kepada mereka yang ingin mengelola tanah mati. Dana tersebut diambil dari Baitul Mal (kas negara) pada pos kepemilikan negara.
Kebijakan tersebut dijalankan pemerintah semata untuk kemaslahatan rakyat bukan untuk kepentingan segelintir pihak oligarki maupun kepentingan penguasa sendiri, serta tanpa menimbulkan kemudharatan (bahaya).
Adapun dalam hal distribusi, negara akan menerapkan prinsip cepat, sederhana dan merata. Negara tidak akan membiarkan ada satu wilayah pun yang tidak mampu mengakses bahan pangan.
Dalam negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kafah) tidak akan terjadi ketimpangan ekonomi. Negara mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara merata dan mudah diakses. Hal ini didukung dengan kepemimpinan Islam oleh penguasa yang memiliki kepribadian Islam, disertai ketakwaan, sifat welas asih dan tidak antipati terhadap rakyatnya.
Leave a Reply