Konsep Islam Dalam Menstabilkan Harga Pangan
Oleh:
Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Terasjabar.co – Serasa kemarin puasa Ramadhan datang, sekarang sudah mau lebaran lagi. Tapi suasana harga pangan sama saja, masih belum ada penurunan secara signifikan. Bahkan ada yang belum turun sama sekali.
Seperti perkataan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Barat Noneng Komara Nengsih, “Ada beras yang mulai mengalami penurunan harga pascarelaksasi, tetapi ada juga beras yang belum bergerak turun,” tuturnya di Gedung Sate, Bandung, Rabu (20/3/2024) lalu.
Ulah Kapitalisme
Fenomena berulang kenaikan beras yang diikuti bahan pangan lain, menjadi sesuatu yang biasa dalam sistem hidup kapitalisme. Hal ini tidak akan tuntas hanya dengan upaya yang bertumpu pada aksi reaktif operasi pasar, karena hal itu tidak terjadi secara berkesinambungan dan tidak menjamin kestabilan harga pangan.
Distribusi dan pengelolaan stok barang di pasar menjadi faktor penting untuk menjaga stabilitas harga barang. Selain itu, adanya mekanisme supply (penawaran) dan demand (permintaan) juga akan mempengaruhi ketersediaan barang di pasaran. Sayangnya, sistem kapitalisme membuat kebijakan pertanian dan perdagangan menjadi amburadul, dominasi kapitalisme membuat produktivitas pangan justru sangat tergantung pada korporasi bahkan impor, tentu hal ini berimplikasi pada hilangnya kendali negara atas penguasaan cadangan dan stok pangan.
Padahal Indonesia dianugerahi kekayaan sumberdaya pangan atau pertanian berupa lahan yang begitu subur, luas dan dapat ditanami dengan komoditas pangan yang sangat beragam. Sedangkan pada aspek distribusi, tidak ada jaminan ketersediaan bahan, sebab sistem kapitalisme telah menjadikan penguasa kurang maksimal menjalankan kewajibannya sebagai pengurus rakyat. Mereka hanya sebagai regulator, alhasil pasar dan harga pangan menjadi tempat bermain para spekulan.
Para spekulan yang tidak lain adalah mafia pangan, akan sengaja menahan dan menimbun pasokan barang sehingga terjadi kelangkaan. Dengan begitu mereka akan mudah menjual barang dengan harga tinggi untuk meraup keuntungan yang lebih besar atau mendorong penguasa untuk melakukan impor komoditas tersebut. Kebijakan impor pun sangat mudah dilegalkan, sebab sistem kapitalisme meletakkan kedaulatan hukum di tangan manusia sehingga aturan bisa diubah atau direvisi, terlebih selama kebijakan yang dibuat menguntungkan para korporat atau para mafia, maka akan mudah melegalkannya.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk balas budi, karena para korporat tersebut telah membantu para penguasa untuk meraih kekuasaan. Dengan demikian naik turunnya harga barang bukanlah cerminan keseimbangan supply dan demand. Namun, akibat dari distorsi distribusi pasar karena penimbunan kartel dan sebagainya.
Problem kenaikan harga pangan ini akan selalu berulang, jika negeri ini tetap menerapkan sistem kapitalisme untuk mengurus rakyat. Kondisi ini tidak akan terjadi jika konsep distribusi diatur oleh Islam.
Solusi Islam
Islam sebagai agama ideologis yang tidak hanya mengatur urusan ibadah ritual dan spiritual, melainkan juga mengatur tata cara bernegara, memiliki seperangkat aturan agar tidak tercipta kelangkaan dan kenaikan harga bahan pangan. Aturan ini secara praktis akan diterapkan dalam sebuah negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah). Adapun upaya yang akan dilakukan untuk menjaga kestabilan stok pangan adalah menerapkan politik pertanian Islam.
Islam akan memperbaiki kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan cara penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih berkualitas. Untuk itu, akan diterapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Baitul Mal akan memprioritaskan pemberian berbagai bantuan untuk para petani supaya mampu memenuhi kebutuhannya.
Pengeluaran Baitul Mal untuk para petani akan diberikan, berupa berbagai bantuan dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk, seperti modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, riset, pemasaran, informasi dan sebagainya. Baik secara langsung atau semacam subsidi, maka seluruh lahan yang ada akan produktif.
Untuk melancarkan arus distribusi, sistem Islam akan membangun infrastruktur pertanian; jalan, komunikasi dan sebagainya. Ekstensifikasi pertanian pun dilakukan dengan meningkatkan perluasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu, akan diterapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut, diantaranya sistem Islam akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati dan pemagaran.
Sistem Islam dapat memberikan tanah pertanian yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Untuk persoalan keterbatasan lahan, dapat diselesaikan dengan membuka lahan baru, seperti pengeringan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian, lalu diberikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya. Hal ini pernah dilakukan di masa Umar bin Khattab di Irak.
Lahan pertanian yang subur tidak boleh dialih fungsikan menjadi lahan non pertanian, yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian hanya daerah yang kurang subur.
Negara juga tidak akan pernah membiarkan lahan produktif tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama 3 tahun, maka lahan tersebut akan diambil oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya.
Untuk menjaga stabilitas harga serta distribusi barang di pasaran, maka sistem Islam akan menerapkan beberapa kebijakan, dengan menghilangkan aktivitas penimbunan, tidak meng intervensi harga dan menjaga keseimbangan supply and demand.
Islam melarang penimbunan dengan menahan stok barang agar harganya naik. Bahkan pelakunya bisa dijatuhi sanksi tambahan dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya. Adanya asosiasi importir, pedagang dan sebagainya, jika mereka melakukan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang. Abu Umamah al-Bahili berkata, Rasulullah Saw melarang penimbunan makanan, dalam hadits riwayat al-Hakim dan al-Baihaqi.
Jika supply dan demand tidak seimbang atau terjadi kenaikan harga secara drastis, maka lembaga pengendali seperti Bulog akan segera menyeimbangkannya dengan cara mendatangkan pasokan barang dari daerah lain, jika dari daerah lain juga tidak mencukupi, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor yang tidak merugikan negara dan rakyat.
Leave a Reply