Madrasah Langit, Saat Ilmu Menjadi Cahaya

Oleh:
Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Terasjabar.co – Pagi itu, matahari menembus lembut sela-sela dedaunan di halaman sebuah pesantren tua di Cianjur. Bangunannya sederhana, tapi aroma ilmu dan keikhlasan terasa pekat di udara. Anak-anak duduk bersila di teras, membuka kitab kuning yang sudah lusuh di tepinya.

Dari kejauhan, seorang kiai sepuh menatap mereka dengan senyum tipis, seolah menyaksikan masa depan bangsa yang sedang tumbuh dari tanah suci ilmu.

“Ustaz,” tanya seorang santri muda, “mengapa kita belajar fiqih, tafsir, dan hadis, sementara di luar sana dunia sedang bicara tentang robot dan kecerdasan buatan?”

Sang kiai diam sejenak, lalu menatap langit. “Nak,” katanya lembut, “ilmu bukan sekadar angka di layar komputer. Ilmu adalah cahaya yang menuntun manusia mengenal Tuhannya. Bila cahaya itu padam, sehebat apa pun teknologi, dunia akan tetap gelap.”

Santri itu menunduk. Di matanya, ada tanya yang lebih dalam daripada sekadar pelajaran pagi.

Dunia kini bergerak cepat. Sekolah-sekolah modern berlomba mencetak lulusan yang siap kerja, siap industri, siap bersaing. Tapi di banyak tempat, ada yang terlupa: untuk apa semua kesiapan itu diarahkan?

Apakah ilmu hanya untuk perut dan pangkat, atau untuk membangun peradaban yang gemilang?

Di masa lalu, Islam telah menjawabnya dengan tegas.
Di bawah naungan peradaban Islam, pendidikan bukan sekadar urusan mencetak tenaga kerja, tidak ada pemisahan antara lembaga yang mengajarkan ilmu umum (sekolah) dan ilmu agama (pesantren). Semuanya menyatu dalam mencetak manusia berjiwa pemimpin peradaban mulia.

Dari rahim madrasah lahir para ilmuwan, seperti Al-Khawarizmi yang merumuskan angka nol, Ibnu Sina yang menulis Al-Qanun fi al-Thibb, Jabir Ibnu Hayyan yang menemukan dasar ilmu kimia, dan ribuan lainnya yang cahaya ilmunya masih memancar hingga kini.

Mereka bukan sekadar jenius. Mereka beriman.
Mereka tidak memisahkan logika dari akidah, ilmu dari ibadah, dunia dari akhirat.

Suatu malam di perpustakaan kecil pesantren itu, santri kembali bertanya kepada kiainya.
“Kalau begitu, apa bedanya pendidikan Islam dulu dengan sekarang, Yai?”

Kiai itu tersenyum. “Dulu, nak, ilmu disandarkan pada akidah. Segala pelajaran dimulai dari kesadaran bahwa kita ini hamba Allah Swt. Itulah yang membuat ilmu menjadi berkah. Sekarang, banyak yang memulai dari pasar, ilmu dihitung dari seberapa cepat menghasilkan uang.”

“Tapi, Yai, negara sekarang juga berusaha memperbaiki pendidikan. Banyak program beasiswa, pelatihan, bahkan digitalisasi sekolah.”

“Benar, nak,” jawab sang kiai, “dan itu langkah baik. Namun ingatlah, pendidikan bukan hanya soal fasilitas, tapi arah. Jika ilmunya tercerabut dari nilai ilahi, kita bisa punya gedung tinggi tapi kehilangan jiwa.”

Santri itu terdiam. Ia melihat cahaya lampu yang temaram, lalu memandang kitabnya lagi. Dalam hatinya, ada tekad yang tumbuh: suatu hari, aku akan belajar sains, tapi dengan iman sebagai kompasnya.

Sistem pendidikan Islam yang diwariskan ulama bukan sistem beku yang menolak perubahan. Ia adalah sistem yang menyatukan akal, ruh, dan amal.

Ia menuntun manusia berpikir kritis, tapi tetap tunduk pada aturan Sang Pencipta.
Ia mengajarkan matematika dan fisika, tapi juga mengajarkan makna syukur atas keteraturan alam.

Negara dalam pandangan Islam punya peran mulia: memastikan setiap anak, kaya atau miskin, bisa menimba ilmu tanpa takut biaya. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji para guru agar anak-anak bisa belajar gratis. Nabi Saw. sendiri menjadikan tawanan Perang Badar sebagai pengajar, sebagai tanda bahwa pendidikan adalah hak setiap jiwa, bukan privilese golongan.

“Yai,” suara santri itu terdengar lagi di pagi yang lain, “apa jadinya jika suatu hari Indonesia benar-benar menerapkan pendidikan berbasis nilai-nilai Islam, tapi tetap beriring dengan kemajuan teknologi?”

Sang kiai tersenyum lebar. “Maka lahirlah peradaban baru yang mulia dan gemilang, nak. Negeri yang tidak hanya cerdas, tapi juga berakhlak. Negeri yang bukan hanya membangun jalan dan gedung, tapi juga membangun manusia.”
Ia menepuk bahu muridnya pelan. “Dan mungkin, kamu adalah bagian dari generasi itu.”

Langit pagi tampak lebih cerah. Di antara doa dan debu halaman pesantren, percakapan sederhana itu terasa seperti janji yang akan menembus masa depan, bahwa ilmu sejati adalah cahaya, bukan sekadar angka.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

five × one =