MBG Cegah Stunting, Tepatkah?
Oleh:
Putri Efhira Farhatunnisa
(Pegiat Literasi di Majalengka)
Terasjabar.co – Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu janji kampanye dari Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024-2029. Program ini ditujukan untuk mengatasi angka malnutrisi dan stunting. Dalam penyebarannya akan dilakukan secara bertahap. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa problem mulai dari persoalan terkait dana, hingga masalah keracunan yang terjadi beberapa waktu lalu.
Kegelisahan disebut menghampiri Presiden Prabowo Subianto, karena masih banyak anak yang belum mendapat MBG. Diungkapkan oleh Kepala Bidang Gizi Nasional (BGN) bahwa program ini membutuhkan anggaran sebanyak 100T untuk bisa menyasar 82,9 juta penerima manfaat (cnbcindnesia.com, 17/1/2025).
MBG yang memiliki masalah pada pendanaan, bahkan diusulkan untuk mengambil dari dana zakat. Belum reda riuh dari usulan tersebut, usulan lain datang lagi dengan dana koruptor yang diincar. Sebenarnya program MBG ini sudah tidak sempurna sejak lahir. Karena permasalahan mengenai gizi masyarakat terutama anak-anak, tidak cukup dituntaskan hanya dengan solusi yang tidak menyentuh akar persoalan.
Akar Persoalan
Intervensi spesifik dan intervensi sensitif yang merupakan akar masalah terkesan dibiarkan oleh negara. Intervensi spesifik mencakup aspek di luar sektor kesehatan, seperti akses air bersih, sanitasi dan ketahanan pangan serta pola pengasuhan. Sedangkan intervensi sensitif berupa sektor kesehatan.
Pada intervensi lingkungan, diketahui bahwa akses air bersih dan sanitasi ini kian memprihatinkan. Seharusnya sebagai negara dengan hutan yang luas serta banyaknya mata air, memudahkan individu dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Namun pada kenyataannya degradasi lingkungan terus terjadi di seluruh penjuru Nusantara. Ini terindikasi dari 12,5 juta ha luas hutan Indonesia yang mengalami deforestasi selama 10 tahun terakhir dengan laju deforestasi rata-rata per tahun 227 ribu ha.
Contohnya Papua Tengah yang 60% masyarakatnya kesulitan mendapatkan air bersih. Hal tersebut disebabkan karena adanya 300 juta ton limbah tailing PT Freeport Indonesia, yang merusak sungai hingga muara Mimika. Belum lagi terjadinya kehilangan hutan secara masif. Keadaan ini membuat akses air bersih dan sanitasi yang baik begitu sulit didapat.
Pada intervensi ketahanan pangan, banyak pula ibu dan anak-anak yang kesulitan mendapatkan makanan bergizi. Hal itu disebabkan oleh politik pangan kapitalisme yang membuat harga pokok dan makanan kian merangkak naik. Apalagi dengan naiknya PPN menjadi 12% semakin memperparah keadaan. Karenanya, jangankan untuk memenuhi gizi harian, makan untuk bertahan hidup aja sudah sulit.
Kemudian paham kesetaraan gender yang tentu mempengaruhi pola asuh. Seharusnya ASI ekslusif diberikan pada bayi hingga 2 tahun. Namun karena sang ibu perlu bekerja, banyak bayi yang akhirnya hanya mendapat ASI ekslusif hingga 6 bulan saja, yaitu Data Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa hanya bertambah 7,28% (dari 66,69%) pada 2019 menjadi 73,97% (2023). Angkanya tentu lebih kecil lagi untuk pemberian ASI selama dua tahun.
Pemahaman feminis dan materialistis ala Kapitalisme yang digadang-gadang dapat mendukung pola asuh, nyatanya berbahaya. Karena kondisi tersebut menjadikan kurangnya bonding antara ibu dan anak yang akan menyebabkan segudang masalah lainnya. Sistem ini telah mencabut ibu dari peran aslinya. Beban ibu menjadi ganda yakni sebagai pengasuh sekaligus mesin penggerak industrialisasi.
Pada intervensi pelayanan kesehatan, diskriminasi dan buruknya kualitas pelayanan terus berlanjut. Komisi Kesehatan Global Lancet yang menyatakan, “Dalam pengurangan angka kematian buruknya kualitas perawatan menjadi penghalang yang lebih besar dibandingkan kurangnya akses. Ada 60% kematian akibat kualitas layanan yang buruk, sedangkan sisanya disebabkan oleh tidak dimanfaatkannya sistem kesehatan.”
Memang benar bahwa faktor penyebab langsung dari stunting adalah buruknya gizi. Namun hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor dari aspek lainnya. Maka ketika akan mengatasi masalah gizi ini, tak cukup dengan sebuah program atau perbaikan satu aspek saja.
Sistem Penyokong
Seharusnya negara bisa menyelesaikan masalah gizi ini dari akarnya, bukan malah dengan melanggengkan sistem penyokongnya. Ujung-ujungnya keuntungan materi yang dikejar, MBG ini dinilai dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Tentu dengan sistem yang hari ini diterapkan, maksudnya bukan pertumbuhan ekonomi yang merata, namun hanya untuk sebagian orang saja.
Pemerataan ekonomi tidak akan terjadi pada sistem kapitalisme ini, yang ada hanya kesenjangan semakin terpampang nyata. Orang kaya makin kaya, yang miskin kian miskin. Dalam sistem ini, harta hanya berkumpul pada segelintir orang karena tidak adanya aturan kepemilikan. Sehingga tentu saja melahirkan ketimpangan ekonomi yang berdampak pada aspek lainnya.
Kesejahteraan masyarakat tak betul-betul ditangani dengan serius. Karena sibuk melayani para pemilik modal sang penguasa negeri yang sebenarnya. Kebijakan-kebijakan menyengsarakan rakyat terus dirilis tanpa henti, tak benar-benar ada kebijakan yang menyelesaikan masalah secara komprehensif. Kasus MBG ini bisa menjadi salah satu contoh dari ketidaklayakan sistem ini diterapkan.
Islam Sebagai Solusi
Namun bukan berarti tidak ada solusi dari masalah ini. Ketika sistemnya bermasalah, maka sistem itulah yang harus diganti. Bukan hanya dengan mengganti pelaksana sistem. Sejatinya terdapat sistem yang berasal dari Sang Khaliq yaitu sistem Islam. Sistem yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan.
Islam akan menyelesaikan masalah dari akarnya. Bahkan Islam memiliki mekanisme preventif yang begitu rinci dalam seluruh aspek kehidupan. Termasuk masalah gizi ini, secara tidak langsung masalah ini akan ditangani dengan baik. Diantaranya berupa sistem sosial, politik, dan ekonomi Islam, baik dalam hal intervensi spesifik maupun intervensi sensitif.
Dengan mekanisme tersebut maka akan secara sistematis mengatasi problem hingga ke akarnya. Misalnya sistem sosial dalam Islam akan mengembalikan ibu pada fungsi aslinya, sehingga pola pengasuhan akan berjalan seperti semestinya. Lalu politik pangan dan pertanian dalam Islam mendudukkan bahwa pangan adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Maka Islam akan menjamin pemenuhannya termasuk ibu hamil dan menyusui dan meniscayakan terwujudnya akses mudah untuk pangan bergizi.
Di samping itu, degradasi lingkungan pun akan diakhiri sehingga akses mudah air bersih dan sanitasi yang baik akan terwujud pula. Islam juga akan menjamin kualitas pangan yang ada di tengah masyarakat. Ekonomi dan politik Islam akan memberikan dukungan penuh, semua aturan Islam akan saling menyokong demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Jaminan keberhasilan intervensi datang dari model kekuasaan yang bersifat sentralisasi karena Islam memiliki wewenang yang memadai untuk mengambil keputusan politik secara cepat dan tepat. Hal tersebut dapat terwujud karena dalam Islam, kedaulatan hanya milik syara’ (aturan Allah), tidak mempertimbangkan kepentingan individu atau kelompok. Wallahua’lam bishawab.
Leave a Reply