Desa Wisata, Banyak Manfaatnya atau Mudharatnya?
Oleh:
Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Terasjabar.co – Sungguh memprihatinkan, pada 2024 ini angka pengangguran di Provinsi Jawa Barat meningkat 6,9 persen. Oleh karena itu, salah satu strategi guna menekan angka pengangguran masyarakat yang berada di desa wisata dihimbau untuk menjadi pelaku wisata dan mengembangkan potensi wisata desa, (wartaekonomi.co.id, 25/07/2024).
Program ini bahkan sudah berjalan secara nasional dan melahirkan 80 ribu lebih desa wisata, tapi ironinya wisata desa hanya menyumbang PDB sebanyak 4,8%. Padahal di sisi lain, SDA yang dimiliki negeri ini begitu melimpah tetapi justru dikuasai oleh swasta asing atau aseng. Jika seluruh SDA dikelola secara penuh oleh negara, tentu akan membuka lapangan pekerjaan secara luas dan hasilnya pun ratusan kali lipat dibanding wisata desa.
Keberadaan desa wisata bisa membantu menyerap tenaga kerja, tetapi hanya bersifat sementara. Karena hanya saat tertentu saja dapat menarik animo wisatawan, sedangkan saat yang lain akan sepi bahkan ditinggalkan. Sehingga tidak menjadikan masyarakat sejahtera.
Hal yang luput dari perhatian, desa wisata sangat rawan dengan ancaman sosial. Misalnya, budaya nenek moyang dengan ritual yang bertentangan dengan Islam, bisa menggerus akidah umat. Adanya budaya asing yang masuk ke desa pun akan membuat perilaku masyarakat rusak, seperti budaya pacaran, seks bebas, minum minuman keras, berpakaian sampai gaya hidup materialistis.
Semua itu terjadi akibat penerapan sistem sekularisme kapitalisme yang masuk dan mengubah pola pikir masyarakat dan hidup jauh dari aturan Allah Swt.
Pengurusan Sistem Islam
Islam merupakan sistem kehidupan yang sempurna tidak akan membiarkan desa bertindak sendiri untuk mewujudkan kemandirian ekonominya, karena semua itu tanggung jawab negara.
Sistem Islam tidak menyerahkan SDA pada investasi swasta asing dan aseng. Karena kekayaan alam merupakan harta milik umum. Pengelolaan kepemilikan umum dilakukan secara penuh oleh negara, agar masyarakat dapat memanfaatkan hasil pengelolaannya dengan harga murah dan terjangkau.
Untuk memperluas lapangan pekerjaan, negara akan membangun industri-industri yang mengelola SDA secara penuh, seperti pertambangan, militer serta industri padat karya lainnya. Negara juga akan memberikan tanah mati dan permodalan tanpa riba kepada rakyat yang mampu menghidupkannya dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
Melalui Baitulmal, sistem Islam akan membangun desa dan kota serta seluruh wilayahnya secara merata. Bagi masyarakat tidak mampu, yakni yang berhak menerima zakat, akan dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya dari pos zakat.
Pembangunan infrastruktur yang penting dan dibutuhkan masyarakat banyak akan diprioritaskan. Seperti infrastruktur untuk pendidikan, kesehatan, jalan, energi, fasilitas umum, dan sebagainya tanpa mengabaikan hak manusia, alam, dan lingkungan.
Sistem Islam melarang budaya-budaya asing yang bertentangan dengan syariat Islam masuk dan merusak kehidupan rakyat, semisal peredaran miras atau terbukanya aurat di tempat umum.
Untuk aspek pariwisata, sebagai negara mandiri dan menjalankan Islam secara kafah tidak akan menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian negara. Tetapi menjadikan objek wisata hanya bertujuan sebagai propaganda (di’ayah) dan sarana dakwah
Objek wisata terdiri dari keindahan alam dan peninggalan bersejarah. Objek wisata ini bisa digunakan untuk mengukuhkan keyakinan dan keimanan para wisatawan kepada Allah Swt, juga sarana memahamkan Islam kepada wisatawan untuk menambah pengetahuan tentang Islam dan peradabannya, Dengan menelusuri jejak dan peninggalan sejarah Islam, maka siapa pun yang melihatnya akan takjub dan yakin dengan keagungan Islam.
Tidak hanya memperhatikan masalah kesejahteraan rakyat, Islam juga menjaga pemahaman masyarakat. Dengan sistem pendidikan Islam, negara akan menanamkan akidah Islam supaya tertancap kuat sehingga akan terbentuk masyarakat yang berkepribadian Islam, yang tidak akan mudah terjebak pada ritual-ritual budaya berbau mistis, takhayul, khurafat, dan semacamnya.
Demikianlah, desa wisata kurang efektif dalam menyejahterakan rakyat dan mengurangi pengangguran. Hanya dengan penerapan sistem Islam yang kafah dalam segala aspek kehidupan, maka semua lapisan masyarakat akan sejahtera.
Leave a Reply