Gaji Guru Minim, Islam Punya Mekanisme Adil
Oleh:
Ika Mustaqiroh
(Aktivis Muslimah)
Terasjabar.co – Dalam aturan yang diteken pada 30 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto akan menaikkan gaji ASN, TNI/Polri, hingga pejabat negara lainnya. Fokus kenaikan gaji diarahkan untuk guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh.
Atas rencana tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani meminta pemerintah agar tidak hanya menaikkan gaji guru dan dosen berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi juga memperhatikan nasib guru honorer (beritasatu.com, 22/9/2025).
Gaji guru honorer memang dirasa tidak adil. Berdasarkan hasil survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa, kesejahteraan guru di Indonesia yang dilakukan pada pekan pertama Mei 2024.
Survei tersebut menunjukkan 74 persen guru honorer atau kontrak di Indonesia memiliki penghasilan di bawah Rp. 2 juta per bulan bahkan 20,5 persen diantaranya masih berpenghasilan di bawah Rp 500 Ribu. (Cnn, 21/5/2025)
Adagium “kerja bukan main, tapi gaji main-main”, bahkan “pahlawan tanpa jasa (bayaran)” tersemat sekali pada guru status honorer ini. Selain honorer, Nasib guru yang kurang diperhatikan lainnya adalah guru yang berstatus PPPK.
Meskipun PPPK dan PNS adalah bagian dari satu kesatuan ASN (Aparatur Sipil Negara), namun PPPK memiliki durasi bekerja atau mengabdi sesuai dengan kontrak yang dapat dihentikan atau diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
Sehingga, nasib mereka ada dalam ketidak pastian. Selain itu, mereka tidak memiliki jenjang karir meskipun melanjutkan pendidikan tinggi (S2/S3). Tidak mendapat uang pensiun, dan ada PPPK paruh waktu gajinya bisa di bawah 1 juta.(edukasi.sindonews.com. 23/9/2025)
Padahal, peran guru baik statusnya sebagai honorer, PPPK, maupun PNS sangat vital dalam memajukan pendidikan suatu bangsa, mereka tokoh penting yang berjasa dalam membangun peradaban. Sudah seharusnya mereka menerima penghargaan yang setara dengan profesi mulia lainnya.
Namun, Negara dalam sistem Kapitalisme tidak memiliki anggaran cukup untuk menggaji guru secara layak. Sumber daya alam (SDA) yang dikelola dengan prinsip Kapitalisme dan dikelola swasta/asing atas nama investasi telah merenggut masa depan para pahlawan ini. Pemasukan negara yang hanya bergantung pada pajak dan utang justru memberatkan rakyat.
Guru PPPK didiskriminasi dan didzalimi, dipandang sekedar faktor produksi, bukan pendidik mulia generasi. Sehingga Kapitalis sering menempatkan guru sebagai pekerja dengan gaji rendah.
Padahal, gaji bukan hanya soal angka, tetapi juga martabat profesi pendidik. Dengan kesejahteraan yang baik, guru dan dosen bisa lebih fokus, inovatif, dan produktif.
Akan tetapi, kesejahteraan mereka nyatanya masih jauh dari layak, dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Sehingga, banyak guru honorer maupun PPPK yang terjerat utang bank atau pinjol.
Keadilan Sistem Islam
Dalam Islam, tidak ada istilah guru honorer VS ASN. Dalam kitab Sistem Ekonomi Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani semua guru adalah pegawai negara, digaji sesuai jasa mulianya yang diambil dari Baitul Mal.
Gaji guru bisa bervariasi tergantung masa pemerintahan dan tingkatan ilmu guru, namun umumnya dihargai tinggi. Penghargaan dan kesejahteraan guru dijamin melalui pengelolaan kekayaan negara, memastikan mereka dapat fokus mendidik tanpa terbebani masalah ekonomi.
Menurut catatan sejarawan, seperti Dr. Ahmad Shalabi, Tarikh Al-Tarbiyah al-Islamiyyah dan Syaikh Abdurrahman al-Baghdadi, dalam buku Sistem Pendidikan dalam Islam mencatat, banyak guru memperoleh penghasilan setara 15–50 dinar per bulan. Jumlah yang sangat besar jika dikonversi hari ini.
Guru dan ulama di Baitul Hikmah (pusat ilmu di Baghdad) menerima antara 15 hingga 50 dinar per bulan. 1 dinar emas = ± 4,25 gram emas. Jika harga emas hari ini ± Rp. 2.000.000 per gram, maka: 15 dinar = Rp. 127,5 juta/bulan. Sedangkan 50 dinar = Rp. 425 juta/bulan.
Lalu pada masa Khilafah Utsmaniyah (1299-1924 M) dalam buku History of the Ottoman Empire karya Stanford J. Shaw, menggambarkan pada masa itu, gaji guru ditentukan oleh jabatan dan tempatnya mengajar, seperti di madrasah sipil, militer, atau istana.
Guru di madrasah biasa mendapat 2–5 dirham per hari. Guru di madrasah elite seperti Sahn-ı Seman (Istanbul) bisa mendapat 20–30 dirham per hari.
Jika dikonversi (± nilai historis): 1 dirham perak = ± 2,975 gram perak. Jika 1 gram perak = Rp 20.000, maka, 5 dirham = Rp 297.500/hari atau Rp 8–9 juta/bulan (guru biasa) dan 30 dirham = Rp 1,7 juta/hari atau Rp 50 juta/bulan (guru elite).
Begitu besar alokasi gaji buat para guru pada masa kejayaan Islam. Karena sumber dana negara bukan dari pajak rakyat atau utang luar negeri, melainkan dari pengelolaan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum. Dengan itu, negara mampu menggaji guru dengan layak, sekaligus menyediakan pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis dengan kualitas terbaik.
Islam menempatkan guru di singgasana mulia. Dari tangan para guru yang sejahtera, lahirlah generasi penakluk, ilmuwan, dan pemimpin dunia. Sejarah membuktikan bahwa kesejahteraan guru adalah kunci lahirnya peradaban gemilang.
Maka pilihan ada di hadapan kita, apakah mau terus bertahan dalam sistem kapitalis yang mendzalimi guru, atau kembali pada Islam yang menegakkan martabat pendidik dan mencetak generasi terbaik umat? Wallahu a’lam bishahawab.






Leave a Reply