Akulturasi Badik dan Condre: Senjata Khas Bugis dan Cianjur (Sunda)
Oleh
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan publik/Pusat Studi Sunda (PSS- Bandung))
Terasjabar.co – Apa kata pertama yang terbayang ketika mendengar kata-kata “senjata tradisional”? Ya, ada keris, kujang, badik, clurit, atau mandau. Nah, tulisan ini tentang akulturasi dua senjata , yaitu badik dan condre. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana terjadi hal itu? Yang pasti, keduanya memiliki kemiripan dari segi struktur fisiknya, fungsi, dan ada nilai filosifis didalamnya. Yang berbeda dalam aspek kesejarahan yang bersifat unik.
Kemiripan secara fisik hampir 90% kecuali dari ukuran. Badik dapat disebut sebagai jenis pedang yang antara 40-50 centimeter. Sedangkan “condre” sebagai “belati”, pisau pendek, antara 20-25 cm. Kedua senjata tajam tersebut digunakan untuk kegiatan berburu binatang di hutan; pisau dapur dan pertanian; serta perang pertahanan diri. Lebih dari itu, menjadi semacam ‘simbol’ keperkasaan dan kekuataan karakter etnis Bugis dan Sunda (Cianjur). Panjangnya antara 40-50 centimeter.
Badik sebagai senjata khas etnis Bugis sudah masuk dalam website www.wonderverseindonesia.com dan museeum.kemenbud.go.id; Sementara untuk condre belum masuk, hanya sebagai istilah, ‘condre’ terdapat https://senaraiistilahjawa.kemdikbud.go.id/.
Badik Bugis: Filosofis Manusia
“Taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik)
Tiga suku besar di Sulawesi Selatan yakni Bugis, Makassar dan Toraja memiliki kekayaan tradisi dan bahasa berbeda.Badik Bugis, atau disebut juga sebagai kawali, memiliki sejarah yang sangat panjang. Penggunaan senjata tradisional ini dapat dilacak mulai pada masa Kerajaan Luwu kuno. Di masa kerajaan, badik dikenal dengan nama kalio.

Kalio atau badik ini juga tercatat dalam naskah klasik “I La Galigo”. Dalam naskah tersebut, tercatat bahwa Luwu merupakan wilayah awal peradaban besi di tanah Sulawesi. Kalio lebih banyak digunakan sebagai alat-alat pertanian dan digunakan pula untuk bertahan hidup atau sebagai senjata utama dikala muncul ancaman.Sebagai salah satu pusat peradaban di Pulau Sulawesi, artefak-artefak kuno masih banyak ditemukan di wilayah Luwu, atau tepatnya di Sulawesi Selatan bagian utara. Beberapa cerita tentang perkembangan peradaban badik juga berasal dari wilayah Luwu ini.
Secara umum, badik Bugis terdiri dari tiga bagian utama, yaitu hulu atau gagang; bilah bagian besi dan mata; dan warangka atau sarung badik.Sedangkan bilah badik Bugis dihiasi pamor dan badik ini tidak pernah memiliki ganja atau penyanggah bilah.
Condre: Senjata Khas Cianjur
Orang Sunda umumnya mengenal ‘kujang’ . Dilansir dari Kemdikbud, kujang berasal dari kata “kudi” dan “hyang”. “Kudi” berasal dari Bahasa Sunda kuno yang bermakna sebuah senjata atau jimat yang memiliki kekuatan gaib. Sementara, “hyang” berarti dewa atau sesuatu yang dianggap Tuhan. Jadi, secara harfiah kujang bisa dimaknai sebagai senjata pusaka yang memiliki kekuatan dewa.
Dahulu, kujang merupakan salah satu alat yang tercatat dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian pada tahun 1518. Di sana tercantum kujang sebagai salah satu alat pertanian yang digunakan untuk menebas tanaman perdu yang tumbuh di lahan yang akan ditanami padi, dan untuk menyiangi rumput.
Bagaimana dengan CONDRE? Dalam tradisi Jawa, Condre, nomina (condre) alat untuk mencari udang kecil di sungai. https://senaraiistilahjawa.kemdikbud.go.id/search/condre. Tentu saja, berbeda dengan ‘condre’ yang dimaksud sebagai senjata tradisional Sunda, lebih khusus lagi Cianjur.

Condre ini pertama kali populer, awal abad ke-18, atau sekitar tahun 1700an di mana Bupati Cianjur ke-3 bernama Raden Astramanggala atau Raden Aria Wiratanu tewas setelah terkena sabetan Condre oleh seorang petani kopi”
Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno Nurwansyah menjelaskan dalam naskah Sajarah Wangsa Goprana (1857) karya A. A. Kusumaningrat (Dalem Pancaniti).
Setidaknya ada dua versi yang paling dikenal di balik kematian Raden Aria Wiratanudatar III. Pertama dia meninggal pada 1726 karena ditusuk condre (senjata kuno khas Sunda semacam belati) oleh pemberontak yang merasa menderita karena sistem tanam paksa. Salah satu pemicunya adalah kasus bayaran kopi kepada VOC yang seharusnya 17,5 gulden, hanya dibayar 12,5 gulden. Sedangkan yang 5 gulden dipakai Raden Aria Wiratanudatar III. Versi ini merujuk buku karya Jan Breman berjudul “Keuntungan Kolonial dalam Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”, Aria Wiratanu III dinilai tidak jujur oleh rakyatnya dalam menjalankan bisnis kopi.

Versi kedua, nyaris semua tulisan sejarawan yang mengangkat kisah tragis itu selalu berujung pada manuskrip berjudul “Cerita-Cerita Pribumi dari Bupati Cianjur (1858)” karya R.A.A. Kusumahningrat tersebut. “C.M.F. Stokhausen kemudian menerjemahkan manuskrip itu ke dalam bahasa Belanda dengan judul “Inlandsche Verhalen van den Regent van Tjiandjoer (1857), R.A.A. Kusumahningrat sendiri merupakan Bupati Cianjur ke-9 yang memerintah sejak 1834 hingga 1862. Kisah Apun Gencay bermula dari sosok perempuan cantik asal Cikembar, Sukabumi kini. Apun Gencay ditengerai menjadi pemicu terbunuhnya Bupati atau Dalem Cianjur Raden Aria Wiratanudatar III.
Punya Bentuk Mirip Cabai
Dilihat sekilas, Condre terlihat memiliki bentuk seperti cabai. Ia bermotif lebar dengan bagian bawahnya meruncing dan sedikit melengkung. Menurut, Dadang Ahmad Fajar, bentuk cabai dari Condre ini memiliki filosofis yang kuat. Ia menyebut jika filosofi Condre adalah cabai dan ini tidak boleh lupa dibawa oleh masyarakat.Bentuknya ini mirip seperti cabai, filosofisnya pun, filosofis cabai. Sehingga kata orang Cianjur: di mana wae urang Cianjur hirup, tapi henteu kabawa ka talanjuran atau di mana saja orang Cianjur hidup, dia tidak lupa akan hal ini.
Jenis-Jenis Condre
Sementara itu, terdapat dua jenis Condre yang dikenal oleh masyarakat adat di Cianjur yakni Condre Jalu dan Condre Bikang.Condre Jalu memiliki ukuran serupa badik, namun dengan bentuk yang mirip cabai. Condre Jalu dikenal memiliki gagangnya dengan motif tertentu, dan memiliki tempat atau wadahnya. Sementara untuk yang Bikang, ukurannya lebih kecil dan tidak memiliki gagang karena memiliki motif pegangan spiral (melintir).
Mengapa ada kemiripan?. Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab secara pasti. Ada banyak memungkinan, berdasarkan teori-teori akulturasi budaya. Yang pasti, ada proses duplikasi teknologi diantara dua etnis Bugis – Cianjur. Interaksi dan pertukaran budaya: Kontak antar-etnis, seperti melalui perdagangan, pernikahan, atau peperangan, mendorong pertukaran ide, teknologi, dan desain senjata. Contohnya, lainnya adalah Pedang Jenawi dari Riau yang mirip dengan pedang Moor dari Arab.
Bagaimana dengan kemiripan Badik dan Condre? Masih perlu kajian lebih lanjut. Ada yang tertarik melakukan penelitian?






Leave a Reply