Pemberdayaan Perempuan, Akankah Menyejahterakan?
Oleh:
Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Terasjabar.co – Isu pemberdayaan perempuan yang dinarasikan sistem kapitalisme saat ini menjadikan perempuan berperan dalam semua sektor publik di luar rumah dengan mengusung kesetaraan gender. Akankah pemberdayaan perempuan dalam konteks ini mampu menyejahterakan perempuan?
Ketimpangan gender dalam pekerjaan masih dianggap masalah terhadap kesejahteraan perempuan. Ruang kerja perempuan hanya ranah domestik sebagai stereotip yang belum hilang. Sehingga, lowongan bagi perempuan yang dibuka oleh para pemberi kerja untuk mengurus ranah domestik. Menurut data BPS, keterlibatan pekerja perempuan di sektor formal dan informal pada 2023 sebanyak 8.500.798 jiwa. Sedangkan, laki-laki sebanyak 15.002.800 jiwa. (detik.com, 25/12/2024).
Padahal, suport pemberdayaan perempuan sudah diberikan dalam pendidikan, salah satunya di Sekolah Perempuan, dengan memberikan apresiasi terhadap 15.000 wisudawati yang telah berhasil menyelesaikan program pemberdayaan perempuan ini, oleh Amanda Soemedi Bey Machmudin sebagai Ketua Sekolah Perempuan Jawa Barat, bersama dengan Herman Suryatman, Sekretaris Daerah Jawa Barat, (bandungraya.inews.id, 24/12/2024).
Kesejahteraan perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh gender semata, tetapi pengaruh dari sistem kehidupan yang mengatur sebuah negeri. Sistem sekulerisme kapitalisme hari ini menjadikan peran perempuan di rumah dianggap tidak produktif, karena tidak bisa menghasilkan uang.
Di sisi lain, sistem sekulerisme kapitalisme meniscayakan kehidupan yang sulit bagi sebagian besar masyarakat, sebab sistem ekonomi kapitalisme melegalkan kebebasan kepemilikan. Akhirnya, sumber daya alam yang notabenenya harus dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat justru dikuasai oleh pihak swasta.
Rakyat tidak mendapat jaminan perlindungan ekonomi, karena hartanya telah dirampas dan dijarah oleh swasta, sebagaimana undang-undang. Belum lagi kebutuhan publik dijadikan barang monopoli oleh swasta, beban ekonomi keluarga semakin berat, hingga akhirnya perempuan keluar dari rumah mereka untuk mengais-ngais rupiah.
Sungguh peran ganda yang saat ini dicitrakan baik oleh sistem sekulerisme kapitalisme justru sebenarnya tidak sesuai dengan fitrah perempuan sebagai ibu generasi. Lebih dari itu, kepemimpinan kapitalisme telah gagal menjamin kesejahteraan perempuan dan memaksa mereka untuk turut menjadi bagian aset ekonomi negara.
Solusi Islam
Allah Swt. Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan, telah jelas menempatkan peran perempuan di posisi strategis dan mulia dari sebuah peradaban. Peran syar’i tersebut ialah sebagai al-umm wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) dan madrasatul ula (madrasah pertama bagi anak-anaknya) yang akan mencetak generasi penerus peradaban.
Syari’at telah menetapkan segenap aturan yang akan mendukung peran perempuan sebagai ibu generasi. Diantara aturan tersebut ialah jaminan nafkah. Islam menjadikan pihak yang wajib menanggung nafkah perempuan adalah suaminya, ayahnya dan walinya, sebagai. Allah Swt. berfirman dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 233 “Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian para ibu dengan cara yang patut,”
Dan di dalam hadis yang dituturkan Ibnu Umar, Rasulullah Saw. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya, laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya, seorang perempuan memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya, ia akan ditanya tentang kepemimpinannya,” hadis riwayat Al-Bukhari.
Dalil-dalil tersebut, menunjukkan makna adanya jaminan ekonomi bagi perempuan, agar mereka fokus menjalankan fungsi syar’inya. Seorang perempuan jugalah yang mengelola urusan rumah suaminya. Kehormatan sebuah keluarga pun ada di tangan seorang perempuan.
Syari’at Islam mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan secara luas sehingga dipastikan dengan bekerjanya laki-laki, maka akan terpenuhi nafkah istri dan anak-anaknya. Negara juga diwajibkan menyediakan secara gratis kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Islam mengarahkan potensi perempuan di ranah publik untuk kemaslahatan umat yaitu berdakwah atau melakukan amar makruf nahi munkar dan membina umat dengan tsaqofah Islam.
Dalam Islam, hukum perempuan bekerja adalah mubah atau pilihan. Karena itu, pekerjaan tidak boleh melalaikan dari tugas utamanya sebagai ibu dan pendidik generasi. Ketika perempuan memilih bekerja, dalam rangka berkontribusi memanfaatkan ilmunya untuk umat. Syari’at ini akan digunakan sebagai landasan negara untuk mengatur jam kerja dan jenis pekerjaan bagi perempuan.
Hanya dengan penerapan sistem Islam yang menyeluruh (kaffah) maka jaminan kesejahteraan bari para perempuan akan terealisasi.
Leave a Reply