Republik “Balita”
Oleh:
DEDI ASIKIN
Terasjabar.co – Bagai balita baru gubrag dari rahim sang bunda, Republik Indonesia diawal awal kemerdekaan berjalan tertatih tatih. Dan itu mungkin juga dialami berbagai Negara dan bangsa lain. Itu sebuah hal yang wajar. Nasib Negara terjajah umumnya sama, menderita.
Tentang keberadaan bangsa Indonesia terutama soal ekonomi tercatat sejarah seperti itu. Terhuyung-huyung alias sempoyongan, “Belum ada tanda tanda kemakmuran”, kata Recklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern (2007:470). Atau kata Soedradjat Djiwandono, dalam Sejarah Bank Indonesia 1945-1959 (2007:5) bahwa ekonomi mandeg secara micro dan macro. Padahal waktu zaman kolonial ekonomi Hindia Belanda itu maju pesat, terutama di sektor perkebunan.
Pemerintah Indonesia yang masih “balita” tidak mampu nengendalikan sektor itu kerena masih dikuasai ibunda ratu Wilhelmina.
Ciri ciri kondisi negeri kita waktu itu menurut Nansy Rahman dalam buku Sejarah Indonesia (2020:12-13):
- Inflasi tinggi antara lain disebabkan banyaknya mata uang asing yang beredar.Masih ada uang Jepang yang beredar di daerah yang belum jatuh secara defacto kepada sekutu.Katanya di Jawa bernilai 1,6 milyar atau secara keseluruhan sekitar 4 milyar rupiah. Juga ada mata uang sekutu yang beredar di wilayah yang sudah dikuasai, nilainya sekitar 2,3 milyar. Sementara itu RI sendiri belum memiliki mata uang, karena Uang RI (ORI) waktu awal-awal itu belum keluar.
- Harga barang-barang mahal dan langka kerena terjadi blokade yang dilancarkan Belanda. Ekpor kita tidak bisa dikirim dan impor barang kebutuhan kita tidak bisa masuk.
- Kas Negara kosong akibat pajak nyaris tidak masuk dan tidak ada pendapatan lain kecuali sedikit dari hasil Pertanian. Sementara pengeluaran Negara terus meningkat selain beban pegawai juga biaya perang kerena adanya agresi Belanda. Akibatnya ya inflasi dah.
Tapi tentu tidak bijak atau malah tidal adil jika hanya menceritakan soal kesengsaraan saja tanpa mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah. Tentu adalah masa cuma hokcay sambil menepuk nepuk lalat yang nemplok di jidat doang.
Menurut Leirissa dalam buku Sejarah Perekonomian Indonesia (2012- 85) upaya upaya itu antara lain:
- Diplomasi beras ke India
- Nasionalisasi perusahaan asing terutama Belanda dan Ameríka
- Membangun hubungan dagang dengan Luar Negeri
- Pinjaman Nasional melalui Bank Tabungan Pos, dan
- Membentuk Badan Perancang Ekonomi.
Leirissa juga menyebut bahwa upaya itu berjalan lamban kerena antara lain ada masalah masalah politik yang dihadapi yang juga berkelindan dengan problem ekonomi.
Leave a Reply