Warga Terdampak Proyek Kereta Cepat Minta Keadilan Penggantian Lahan

Terasjabar.co – Sejumlah warga Kabupaten Bandung Barat mempertanyakan proses maupun penghitungan untuk penggantian lahan dan bangunan yang terkena proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Pasalnya, sebagian warga menilai penggantian tak adil. Bahkan, terdapat warga yang merasa tertekan buat menyetujui nilai penggantian.

Seorang warga, Asep Ali (49), menuturkan bahwa tanah sawah miliknya di Blok Bojongsuren, Desa Tagogapu, Kecamatan Padalarang, dihargai uang penggantian Rp 800.000 per meter persegi. Padahal, tanah lereng di dekat sawahnya dihargai Rp 1,127 juta per meter persegi. Oleh karena itu, dia menilai ada ketidakadilan dalam penghitungan penggantian lahan.

“Masa tanah lereng yang tidak ditanami pohon nilai penggantiannya lebih besar dibandingkan sawah di lahan datar. Kami ingin tahu dasar pertimbanganya. Soalnya, harga pasaran yang berlaku di sana itu buat tanah sawah harganya lebih mahal dibandingkan tanah lereng, apalagi tidak produktif,” kata Asep.

Menurut dia, pada dasarnya warga Tagogapu yang terdampak proyek kereta cepat tidak keberatan menjual tanah dan bangunannya. Sebagian warga malah berharap banyak dari uang penggantian lahan. Soalnya, kata dia, penggantian lahan harus menguntungkan warga atau minimal mendapat harga yang wajar.

“Saya tidak menolak kalau sawah saya mau dipakai buat proyek kereta cepat. Saya juga kan enggak minta harga yang tidak wajar. Kalau menuntut kewajaran, saya tentu ingin harga lebih tinggi. Paling tidak, ya sawah saya harganya lebih tinggi dibandingkan harga tanah yang berada di lereng bukit. Ya, minimal Rp 1,5 juta per meter,” katanya.

Warga Tagogapu lainnya, Sudiana (36) mengaku bahwa proses penggantian lahan untuk proyek kereta cepat minim sosialisasi dan penjelasan kepada warga. Tanpa sosialisasi dulu, menurut dia, warga dikumpulkan di daerah PN Kertas Padalarang, kemudian diberikan amplop yang berisi daftar harga penggantian tanah yang ditawarkan.

“Pola seperti itu akhirnya menutup ruang diskusi, karena masyarakat diminta untuk menerima harga yang ditawarkan. Saya tidak mau, kalau dibayar dengan harga murah. Soalnya, di kawasan itu sekarang orang sudah ada yang berani menawar Rp 1 juta per meter. Sementara untuk proyek kereta cepat ini harga yang ditawarkan hanya hanya Rp 800.000 per meter,” ujarnya.

Seorang warga yang menolak disebutkan namanya merasa tertekan buat menyetujui nilai penggantian yang ditawarkan dalam proyek keret cepat.

Menurut dia, warga yang terdampak proyek kereta cepat pernah dipanggil oleh petugas Badan Pertanahan Nasional. Disaksikan oleh pihak dari TNI/Polri, kejaksaan, dan pemerintah setempat, warga cuma diberi dua pilihan, yakni menyetujui harga yang ditawarkan atau prosesnya dibawa ke pengadilan.

“Harga yang ditawarkan itu tanpa musyawarah dengan pemilik tanah dulu. Kalau setuju, waktu itu bisa langsung dibayarkan. Kalau enggak setuju, kami diberi waktu buat pikir-pikir dan kalau enggak setuju juga akan dibawa ke pengadilan. Apa memang seperti itu proses buat penggantian lahan,” kata warga Desa Cempakamekar, Padalarang itu.

Beberapa warga, menurut dia, akhirnya menyetujui harga yang ditawarkan dengan terpaksa, karena takut berurusan di pengadilan.

“Yang takut diperkarakan, ya cuma bisa menerima harga yang ditawarkan. Daripada dipidana karena menghalangi proyek pemerintah, ya lebih baik merelakannya. Warga itu kan enggak mengerti hukum,” katanya.

Sementara itu, Kepala BPN Bandung Barat Ristendi Rahim maupun stafnya enggan memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Didatangi di kantornya pada Selasa 8 Mei 2018 lalu, tidak ada perwakilan dari pihak BPN yang bersedia memberikan keterangan terkait persoalan penggantian lahan proyek kereta cepat.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 × 5 =