Skema Pajak 12 %, Apa Kabar Masyarakat?
Ina Agustiani, S.Pd.
Terasjabar.co – Ditengah himipitan kehidupan, rakyat mendapati akan berita kenaikan harga barang yang diperhalus dengan dalih penyesuaian harga. Apapun bentuk diksinya, nyatanya kepahitan hidup yang dirasakan bertambah berat. Adakah setitik harapan akan kehidupan yang dijalani bertambah mudah dan murah.
Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat menginfokan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen pada tahun 2025, dan masyarakat harus bersiap sejumlah produk makanan dan minuman olahan kemungkinan mengalami kenaikan harga jual. Senada yang disampaikan Ninik Anisah selaku Statistisi Ahli Madya merangkap Ketua Tim Statistik Distribusi BPS Jabar. Ia mengatakan bahwa tantangan ke depan, meski naiknya 1 persen tapi efeknya akan kemana-mana tidak sesederhana alurnya.
Yang akan terdampak adalah semua makanan olahan industri diprediksi akan naik harga. Kenaikan ini memengaruhi harga jual makanan dan minuman, karena bahan bakunya meskipun tidak dinaikkan oleh negara, tapi kemungkinan pasti ada jadi harus ada antisipasi lebih dulu. Kemudian kebutuhan pokok disinyalir naik, tapi memang tidak signifikan. Lalu kondisi ekonomi global yang berhubungan dengan Amerika Serikat akan memengaruhi sektor ekonomi Indonesia terutamadalam pada nilai dollar terhadap rupiah dan harga emas yang akan terjadi ke depan.
Rakyat Makin Tercekik
Sri Mulyani mengatakan tidak semua barang dan jasa akan terkena pajak, sebab berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) meliputi kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan transportasi tidak kena PPN. Tetapi karena tarif PPN tidak hanya sifatnya mikro melainkan makro juga yang cakupannya luas, kemungkinan mengalami efek domino karena adanya proses produksi, meski tidak langsung. Semisal harga komoditi beras memang tidak kena PPN, tetapi biaya logistik transportasi itu yang kena pajak, otomatis akan ada kenaikan harga.
Kenaikan harga barang imbas dari PPN akan merusak daya beli masyarakat yang sudah rapuh ini. Mulai dari turunnya omset usaha, PHK, pengurangan produksi. Kepada para petani dan peternak diperkirakan petani akan menaikkan harga 5 persen dari tambahan beban peternakan, tentu membebani petani. Dari kejadian ini Peneliti Sigmaphi Policy Research & Data Analysis Muhamad Mulya Tarmizi memperkirakan kenaikan tarif PPN akan menyebabkan PDB turun 0,8% dan penduduk miskin naik menjadi 267.279 jiwa.
Realitanya dengan PPN naik rakyat tidak menikmati fasilitas yang diklaim akan lebih baik. Rakyat tidak bisa menikmati dana pajak, pembangunan yang dibiayai pajak nyatanya tidak berorientasi pada kebutuhan dan maslahat rakyat, tapi memakmurkan korporasi melalui tangan penguasa, dananya banyak dikorupsi.
Ini resiko hidup di sistem kapitalis dimana negara bukan pengayon tetapi sebagai regulator dan fasilitator pelicin jalan memakmurkan segelintir pihak yang bukan rakyat. Tugasnya hanya memungut pajak dan mendistribusikan yang bukan untuk kemaslahatan rakyat kebanyakan. Seolah menutup mata bahwa rakyat sudah terbebani dengan skema pajak saat ini. Peruntukan pajak pun hanya mendanai proyek pembangunan prestisius seperti tol, jalan-jalan yang hampir sebagian rakyat jarang mengakses. Parahnya penjahat pajak malah diberi pengampunan (tax amnesty dan sunset policy) untuk menarik investor asing. Pengusaha lokal tidak diberi ampun ketika dikenakan pajak ratusan juta hingga gulung tikar.
Inilah ketika kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Berbagai alasan dicari agar bisa menarik pajak pada rakyat yang sudah susah, kemudian dilegalisasi dengan undang-undang agar makin terikat dan menjadi elegan untuk dilakukan. Padahal Indonesia punya SDA melimpah, yang harusnya dikelola negara untuk bisa diurusi untuk memenuhi kebutuhan, realitanya diberikan pada swasta dan investor asing yang bebas memiliki apapun.
Pandangan Islam
Islam sebagai agama dan sistem negara punya pandangan khusus terkait pajak. Seperti sabda Rasulullah saw. dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).” Ia menerangkan, sabda Rasulullah saw. tersebut menunjukkan bahwa hukum pajak dalam Islam adalah haram.
Seorang penguasa tugas utamanya mengurusi rakyat dan memudahkan urusannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan, termaktub dalam dirinya amanah ini dalam rangka taat pada Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban jika melalaikan. SDA dikelola negara untuk mengurusi rakyat, termasuk pendidikan dan kesehatan sampai pada level gratis, dan dijamin keamanan pada rakyat.
Mekanisme Islam punya banyak pemasukan, Syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Sistem Keuangan Negara Islam ada tiga pemasukan yaitu fai dan kharaj (meliputi ganimah, status tanah, jizyah, dan dharibah) , kepemilikan umum (meliputi migas, listrik, pertambangan ; laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang rumput ; aset yang diproteksi negara) dan zakat (meliputi zakat uang dan perdagangan ; zakat pertanian dan buah-buahan; serta zakat ternak sapi, unta dan kambing). Sangat banyak sekali dan cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat bahkan bisa surplus.
Pajak (dharibah) memang ada dalam salah satu pos pemasukan di baitulmal tetapi hanya dipungut ketika kas negara kosong dan ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi negara yang akan jadi bahaya jika tidak ada. Setelah terpenuhi, pajak dihentikan. Kalau masih ada harta di baitulaml, maka haram memungut pajak dalam bentuk apapun, jadi hanya temporer tidak terus menerus dalam jangka waktu lama.
Uniknya pajak selama diberlakukan hanya dipungut untuk laki-laki dewasa muslim yang kaya, wanita, anak-anak, lansi, orang kafir dan fakir miskin tidak dibebankan pajak. Dengan APBN menurut syariat Islam, menjadi langkah mudah terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat secara adil dan merata. Bukan seperti saat ini, sampai semua barang hingga makanan pun dikenai pajak, rakyat kaya maupun miskin terkena dampak, benar-benar zalim.
Dari pajak inilah, negara bisa membangun kota-kota modern, fasilitas canggih, universitas, masjid, rumah sakit dalam versi terbaik. Dengan SDA mumpuni di semua kota, bisa-bisa negara kesulitan mencari mustahik zakat.
Contoh pada masa Khalifah Umar bin Abdulaziz dalam kitab Al-Amwal petugas pemungut zakat pada masanya, Yahya bin Said bingung mendistribusikan zakat dari wilayah Afrika yang hidup makmur dan tidak ada lagi yang memenuhi kriteria mustahik, akhirnya diperuntukkan untuk membebaskan budak. Juga saat Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman kebingungan mendistribusikan zakat setelah dibayarkan semua gaji dari tanggungan negara, melunasi orang yang berhutang, menikahkan para lajang, memberi bantuan modal, harta baitulmal masih saja banyak, keadaan surplus sepanjang masa Islam menjadi bukti kedikdayaan Islam sebagai peradaban terbaik sepanjang sejarah. Wallahu A’lam.
Leave a Reply