Hipokrit Barat Dalam Peringatan Hari Anak Sedunia

Oleh:
Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Terasjabar.co – Dunia anak memang penuh dengan kebahagiaan. Tetapi tidaklah demikian yang dialami oleh anak-anak Gaza, kondisinya penuh keprihatinan, bahkan pada hari anak sedunia. Sampai kapan penderitaan ini akan berakhir?

Setiap tanggal 20 November diperingati sebagai Hari Anak Sedunia (World Children’s Day). Peringatan ini diinisiasi UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund).

Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran tentang kesejahteraan anak-anak, serta mendorong tindakan global dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak (detik.com, 13/10/2024).

Kapitalisme Sekuler Biang Masalahnya

Tanggal 20 November ditetapkan sebagai hari anak dunia, karena bertepatan dengan adopsi deklarasi hak-hak anak oleh majelis umum PBB pada tahun 1959. Pada tanggal yang sama tahun 1989, majelis umum PBB mengadopsi konvensi hak-hak anak, yakni Convention on the Rights of the Child (CRC). Sejak saat itu, tanggal 20 November dipilih untuk memperingati hari anak sedunia.

Sayangnya peringatan hari anak sedunia justru menggambarkan standar ganda barat soal hak anak. Sebab dibanyak tempat saat ini, hak anak disalahpahami, diabaikan, diingkari dan diserang. Hari anak sedunia yang diinisiasi oleh lembaga internasional di bawah PBB ini, hanya kedok untuk menutupi ketidakpedulian mereka terhadap nasib dan masa depan dua miliar anak usia 0 hingga 15 tahun di seluruh dunia.

Pengkhianatan terhadap anak tampak nyata pada nasib anak-anak Palestina hari ini. Jangankan hak atas makanan, pendidikan, kesehatan, sanitasi dan perlindungan atas kekerasan, hak hidup mereka pun tidak mendapatkan jaminan.

Betapa banyak anak-anak Palestina yang menjadi korban penjajahan Zionis Yahudi, bahkan banyak yang menjadi korban ketika masih dalam kandungan. Dari sekitar 43.500 warga Palestina yang meninggal sejak serangan 7 Oktober 2023, anak-anak mewakili 44% korban di dalamnya.

Tampak begitu nyata, keselamatan anak-anak Palestina kalah dengan kepentingan agenda dan tujuan negara yang hari ini tegak di atas konsep nasionalisme. Nasionalisme telah menjadikan negeri-negeri muslim terpisah dan tersekat satu sama lain.

Alhasil persoalan Palestina hanya dipandang sebagai persoalan kemanusiaan, karena dianggap bukan bagian dari persoalan warga negara mereka. Padahal mereka diikat oleh persaudaraan iman yang seharusnya menjadi alasan terkuat untuk memberikan pertolongan semaksimal mungkin yang dituntun syariat Islam.

Selain itu, kapitalisme telah mendikte dunia, termasuk negeri-negeri muslim, untuk lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi negara dan jabatan, daripada nasib anak-anak di Palestina dan berbagai wilayah konflik lainnya.

Sungguh, hak hidup yang merupakan hak paling mendasar anak Palestina telah diabaikan oleh penguasa negeri-negeri muslim. Pengkhianatan ini merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme sekulerisme.

Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di dunia hari ini pun telah nyata menciptakan kemiskinan sistemik. Kemiskinan inilah yang menyebabkan kesejahteraan anak tidak terwujud. Kapitalisme hanya menciptakan kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin, sebab sistem ekonomi kapitalisme mengakui kebebasan kepemilikan.

Akibatnya, liberalisasi sumber daya alam menjadi legal, termasuk yang berkaitan dengan hajat hidup manusia. Hutan, batu bara, tambang mineral, diserahkan pengelolaannya kepada segelintir orang, yakni pihak swasta pemilik modal. Rakyat pun harus mengakses kebutuhannya dengan biaya tinggi, sebab liberalisasi ini menjadikan bahan pangan mahal, tarif dasar listrik, air, BBM kesehatan dan pendidikan juga ikut mahal.

Islam Memenuhi Hak-Hak Anak

Islam memiliki aturan yang sempurna terkait dengan pemenuhan hak-hak anak. Islam mewajibkan hadirnya negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam atau penguasa adalah ra’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atasnya,” hadis riwayat Al-Bukhari.

Juga hadis “Sesungguhnya Imam atau penguasa adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung,” hadis riwayat Muslim.

Berdasarkan hadis tersebut, negara wajib menjaga jiwa atau hak hidup setiap insan termasuk anak-anak. Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan hak-hak anak yang hakiki, mulai dari hak hidup dan berkembang, hak nafkah, keamanan, pendidikan, penjagaan nasab dan lain-lain, kepada seluruh anak tanpa terkecuali.

Negara mewujudkan hak-hak tersebut dengan mengembalikan fungsi keluarga, lingkungan, masyarakat dan negara kepada syariat Islam. Sebab penerapan syariat Islam akan memperkuat fungsi ketiganya, khususnya dalam memenuhi hak-hak anak.

Negara merupakan basis perlindungan anak yang hakiki. Sebab, negara merupakan wakil umat dalam menjalankan syariat Islam secara menyeluruh. Negara memiliki sumber daya yang melimpah yang mampu menjamin kesejahteraan dan keselamatan anak.

Barang tambang, hutan, laut, danau, sungai dan lain-lain termasuk kepemilikan publik yang wajib dikelola oleh negara dan hasil pengelolaannya akan dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat untuk kesejahteraan mereka, diantaranya untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan yang murah bahkan gratis. Negara tidak akan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta sebagaimana dalam sistem kapitalisme.

Hanya negara yang menerapkan aturan Islam kafah (menyeluruh) dengan satu komando akan menghilangkan sekat-sekat nasionalisme di antara negeri-negeri muslim hari ini. Akan menjadi negara super power yang akan mengerahkan kekuatan militernya untuk menyelamatkan Palestina dari genosida oleh zionis laknatullah.

Sebab, jihad merupakan bagian dari politik luar negerinya untuk menyebarluaskan Islam. Saat itulah anak-anak dan manusia secara umum akan terselamatkan. Sebab, Islam memandang anak adalah calon generasi masa depan yang harus dijaga keselamatannya dan kesejahteraannya juga hak-hak lainnya.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 + seventeen =