Sebelum Sang Saka Naik, BBM Naik Duluan!
Oleh:
Putri Efhira Farhatunnisa
(Pegiat Literasi di Majalengka)
Terasjabar.co – Saat negara merayakan HUT RI dengan mewah dan megah, merogoh kocek dalam hingga 87 miliar, masyarakat malah menerima hadiah berupa kenaikan barang. Pada bulan kemerdekaan kali ini, ternyata sebelum sang bendera pusaka naik berkibar, ada yang lebih dulu naik yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan kali ini terjadi pada BBM jenis Pertamax, hal ini tentu dikeluhkan oleh masyarakat. Karena naiknya harga BBM akan mempengaruhi harga barang.
Pada tanggal 10 Agustus lalu, PT Pertamina Patra Niaga mengumumkan kenaikan harga BBM jenis Pertamax. Kenaikannya sebesar 750 rupiah, BBM Ron 92 ini telah menjadi Rp. 13.700 per liter dari harga sebelumnya Rp. 12.950 per liter (harga untuk wilayah dengan PBBKB 5%). Harga ini dinilai masih paling kompetitif untuk di Indonesia (liputan6.com, 11/8/2024).
Kenaikan harga BBM memang kerap kali terjadi dan sangat sulit untuk turun. Padahal BBM merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan akan mempengaruhi kenaikan harga barang lainnya karena ada tambahan biaya transportasi. Akibatnya, biaya kebutuhan sehari-hari semakin tinggi, belum lagi pajak yang dipungut dari segala sisi. Lengkap sudah penderitaan rakyat negeri ini. Bagaimana dengan para pejabat yang katanya wakil rakyat?
Para pemangku kebijakan sudah nyaman dengan berbagai tunjangan yang diberikan negara di mana sumber pendanaannya adalah dari pajak, dengan kata lain menggunakan uang rakyat. Sayangnya kebijakan yang mereka keluarkan seringkali tak memihak masyarakat, lalu sebenarnya untuk siapa mereka bekerja? Sistem yang katanya mempunyai slogan “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” nyatanya justru banyak memihak para korporat, oligarki, dan keuntungan pribadi.
Contohnya pada perayaan hut RI yang mencapai puluhan miliar, apakah perayaan lebih darurat dibanding kondisi masyarakat saat ini? Lagipula kemerdekaan seperti apa yang kita rayakan? Faktanya suara masyarakat tak didengar bahkan dibungkam, standar ganda pun seringkali terjadi. Belum lagi penyimpangan seksual yang dianggap kebebasan berekspresi, sedangkan mengkritik kebijakan dzalim pemerintah dianggap kriminal. Yang Islami dianggap radikal, gaul bebas difasilitasi, bahkan berbagai kemaksiatan dinormalisasi. Kebijakan kerap kali ditunggangi kepentingan lalu rakyat jadi korban. Jadi, sudahkah kita merdeka saat penderitaan jadi makanan sehari-hari?
Demokrasi Kapitalisme Membelenggu Negara
Kebutuhan pokok seperti BBM seharusya bisa disediakan secara murah dan mudah oleh pemerintah, karena itulah tugas negara. Namun sekarang apa yang terjadi? Negara sulit mengatur harga dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat karena pengelolaannya diserahkan pada swasta. Dalam hal memenuhi kebutuhan rakyat sendiri saja negara sudah tidak bisa independen, lalu bagian manakah yang sudah merdeka? Beginilah realitanya ketika sistem yang digunakan masih sistem buatan manusia, tidak independen dan rakyat yang selalu jadi korban.
Sistem bagaikan air yang ada dalam kolam, ketika airnya memang rusak dan kotor, maka ikan sebagus apapun akan ikut menjadi kotor dan sakit. Namun ketika airnya bersih, jernih, dan sehat, maka ikan yang dimasukkan akan ikut sehat bahkan menyembuhkan ikan yang sakit. Air kolam akan menjadi bersih kembali jika biang kerusakan seperti berbagai pemikiran menyesatkan disingkirkan. Pemikiran menyesatkan tersebut ialah pemikiran yang berasal dari manusia yang seringkali ditunggangi hawa nafsu. Maka solusi dari segudang permasalahannya bukan dengan menggati ikan atau orang-orang yang ada dalam kolam. Tapi mengganti atau membersihkan air kolamnya. Satu-satunya yang bisa membersihkannya hanyalah Islam yang berasal dari Sang Pencipta.
Solusi dari Yang Maha Tinggi
Islam kerap dikerdilkan dengan dianggap hanya sebuah agama ritual saja. Padahal, Islam memiliki paket komplit berupa peraturan kehidupan. Di dalamnya mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan dirinya sendiri, juga dengan sesamanya yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dakwah, sanksi hukum dll. Termasuk permasalahan BBM ini, Islam memiliki aturannya sendiri.
Hukum Islam bisa bersifat independen karena kedaulatan hanya milik Allah SWT, manusia tidak diperkenankan untuk mengubah aturan, karena manusia hanya sebagai pelaksana yang menjalankan syari’at (aturan). Dalam Islam, kemaslahatan umat jadi yang utama. Bahkan seorang pemimpin atau pejabat dilarang mendahulukan kepentingan pribadi sebelum urusan utamanya sebagai pelayan umat terselesaikan. Maka kesejahteraan masyarakat selalu jadi pertimbangan untuk membuat kebijakan, tentu syarat dan ketentuan berlaku yaitu harus merujuk pada hukum syara/syari’at Islam.
Dalam masalah BBM ini merujuk pada, Sunan Ibnu Majah 2463: Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Sa’id] berkata: telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani] dari [Al Awwam bin Hausyab] dari [Mujahid] dari [Ibnu Abbas] ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api. Dan harganya adalah haram.” Abu Sa’id berkata: “Yang dimaksud adalah air yang mengalir.”
Bahan bakar minyak termasuk dalam kategori api, yang merupakan hak rakyat sehingga harga atasnya adalah haram seperti yang maksud dari hadist tersebut. Maksudnya adalah haram untuk dikomersilkan, kalaupun ada harga hanya digunakan untuk keperluan operasional dan jika ada keuntungan akan digunakan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri, bukan untuk pribadi maupun oligarki. Islam juga berhak mengatur harga tanpa ada intervensi dari pihak manapun karena pengelolaannya tidak diserahkan pada swasta.
Dalam Islam, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tidak diperbolehkan untuk dilakukan oleh pihak swasta, maka dalam membuat kebijakan atau memenuhi kebutuhan rakyat bisa dilakukan secara independen. Dengan begitu rakyat akan sejahtera karena pemenuhan kebutuhannya dijamin oleh Islam. Berbagai mekanisme yang dimiliki oleh Islam meniscayakan kemaslahatan masyarakat. Mulai dari kebutuhannya yang terpenuhi dengan mudah dan murah, hingga krimianalitas yang dapat diminimalisir.
Terlebih saat keadaan paceklik, rakyat lah yang diutamakan. Para pemangku kebijakan pun memahami skala prioritas, sehingga anggaraan dapat digunakan secara tepat dan meminimalisir pengeluaran yang tidak diperlukan. Berbeda sekali dengan sistem yang hari ini diterapkan, di mana rakyat selalu dianaktirikan. Masyarakat menderita sedangkan pejabat foya-foya, seakan benar-benar menjadi wakil rakyat sampai-sampai kesejahteraan pun mereka wakilkan. Inikah keadilan sosial bagi seluruh rakyat?
Wallahua’lam bishawab.
Leave a Reply