Membangun Harapan dari Pilkada Jawa Barat 2024
Oleh:
Sadikun Citra Rusmana
(Alumni Akademi Budaya Sunda Universitas Pasundan)
Terasjabar.co – Pemilihan umum (Pemilu) dan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara nasional akan dilaksanakan serentak pada tahun 2024. Pemilihan Umum kali ini akan dilaksanakan pada lima tingkat kepemimpinan pemerintahan dan lembaga sehingga berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilihan umum pertama digelar 14 Pebruari 2024 adalah pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota dan Kabupaten. Sembilan bulan kemudian, 27 Nopember 2024 dilaksanakan pilkada serentak untuk memilih gubernur di 32 provinsi dan memilih walikota/bupati di 514 kota/kabupaten.
Kemunculan tokoh Sunda di Pemilu dan Pilkada serentak 2024 di luar Jawa Barat, selalu dirindukan meskipun juga kerap meragukan. Persoalan yang selalu membelit pada entitas Sunda adalah mengapa orang Sunda susah menjadi Pimpinan Nasional yang bisa mengungguli warga entitas daerah lain.
Pada pemilu legislatif DPRD Provinsi, kota/kabupaten juga demikian. Saat ini banyak terpampang baligo bergambar para calon legislatif 2024 pusat dan daerah entah berasal dari mana. Tujuannya adalah jelas ingin menjadi “wakil” rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat (Dapil Jabar) yang jumlah penduduk/pemilihnya paling banyak di Indonesia. Fenomena ini menstimulus ingatan pidato Oto Iskandar Di Nata “… Nonoman Sunda! Pasundan teh lemah cai aranjeun! Aranjeun nu boga kawajiban ngabdi ka lemah cai, tapi gigireun ieu kawajiban, anjeun ngabogaan hak pikeun hirup di tanah sorangan. Ieu teh numutkeun patokan: plicht en recht. Nonoman Sunda! Upama aranjeun teu wekel ngasah awak, teu pamohalan, Nonoman Sunda di lemah caina teu kabagean alas, kapaksa kudu nyamos lantaran kalindih ku golongan sejen.
Kemenangan Anis-Sandi di DKI Jakarta pada Pilkada 2017 akan memberi spirit baru untuk orang Sunda, atau orang Jawa Barat pada Pilkadarantak 2024, di berbagai daerah pemilihan, terutama di Jawa Barat. Pewacanaan eksistensi diri pribadi dan kelompok dalam kekuasaan politik, selalu memunculkan pikiran sejauh mana orang Sunda bisa berperan dalam proses transformasi kepemimpinan. Apa yang diucapkan oleh Oto Iskandardinata, memberi pesan bahwa kewajiban orang Sunda adalah mengabdi kepada tanah air, bukan berpikir untuk berkuasa. Ambisi berkuasa merupakan sikap yang intoleran karena motivasinya adalah mengambil kekuasaan dan menggunakannya secara massif untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Ini merupakan fenomena yang terjadi pada perilaku politis “pemimpin partai politik” saat ini. Oto berpesan orang Sunda harus menyayangi daerahnya, menjaganya agar tidak dirusak oleh orang lain, tapi cara menjaganya bukan melalui kekuasaan.
Orang Sunda diyakini sebagai entitas yang berkarakter defensif-protektif dan non-ekspansionis dalam percaturan kepemimpinan politik. Oleh sebab itu perilakunya lebih mengedepakan kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat, terbuka menerima entitas non-Sunda, moderat, dan berorientasi ngaraharjakeun (membangun kemakmuran rakyat). Orang Sunda lebih nyaman terhadap siapa pun yang mengusung tujuan hidup bersahabat, memberi ekspektasi kesejahteraan, dan bersikap religius. Bagi orang Sunda, pribadi yang “nyunda, nyantri, nyakola, lebih diharapkan untuk menjadi pemimpin di daerah leluhurnya.
Karakter yang dibawanya yaitu someah hade ka semah secara kultural membentuk masyarakat Jawa Barat sebagai pribadi pecinta damai. Menurut Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Kang Emil), orang Sunda tidak bersikap konprontatif tapi lebih berperilaku diplomatis. Perilaku itulah yang membuat suku lain merasa nyaman berhadapan dengan masyarakat Sunda. Peristiwa seorang politisi PDIP yang mempermasalahkan sikap jaksa yang berbahasa Sunda dalam rapat Komisi III DPR RI dengan mitra Kejaksaan menuai protes keras masyarakat dan tokoh masyarakat Sunda. Tapi permintaan maaf yang bersangkutan kepada para tokoh adat dapat diterima dan masalah dianggap selesai.
Berdasarkan karakter terbuka yang dimilikinya maka pada peristiwa-peristiwa politik seperti pilkada atau pilpres orang Sunda menjadi sasaran pendulangan suara partai politik yang bertarung. Sayangnya yang mendulang bukan lah orang Sunda pituin melainkan orang- orang non-Sunda atau orang Sunda yang di-Sunda-kan melalui mesin partai politik. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya proses komunikasi antara calon pemimpin dengan yang dipimpinnya. Bahkan dengan sikap angkuh pengurus partai menyatakan bahwa tidak ada keharusan calon gubernur untuk berkomunikasi dengan masyarakat karena itu sudah menjadi domain partai. Jika logika berpikirnya demikian, mengapa masyarakat dipaksa untuk terlibat memilih. Telah terbukti saat ini, kepemimpinan yang menggantungkan pada partai dan dinasti personal hanya menciptakan “para pekerja partai”.
Melihat kerancuan berpikir orang partai saat ini, maka kiprah orang Sunda sangat diharapkan untuk memperbaiki perilaku berpartai yang selalu menciptakan kegaduhan. Namun, apakah orang Sunda harus terlibat dalam aksi kekuasaan atau mengkoreksi di luar kekuasaan. Bukankah orang Sunda memiliki karakter defensif-protektif sehingga tidak perlu larut dalam kekuasaan yang berdarah-darah. Atau memang karena ruang demokrasi yang pengap menstimulus orang Sunda kini saatnya melakukan reformasi budaya untuk merebut kekuasaan dan keluar dari jatidirinya menjadi entitas berkarakter ekspansionis seperti yang lain.
Peristiwa Pilkada Jawa Barat tahun 2019 akan menjadi cermin bagaimana polarisasi munculnya calon gubernur dan wakil gubernur yang dibangun partai tidak mencerminkan harapan rakyat. Para calon yang dipasangkan oleh partai tidak tersosialisasikan secara baik kepada masyarakat pemilih. Akhirnya pemenangnya adalah seorang profesional non-partai yang berhasil mengisi kursi gubernur di Gedung Sate, berkat kerja kreatifnya membangun Kota Bandung.
Gejalanya, mekanisme rekruetmen pemimpin nasional maupun lokal di masa datang akan tetap dikooptasi oleh partai politik dengan restu dari pusat kekuasaan parpol di Jakarta, dan tidak menjadikan masyarakat sebagai sumber wacana pemimpin dan kepemimpinan yang harus didengar. Oleh sebab itu orang Sunda perlu konsolidasi sosial budaya (ngasah awak) agar lebih mampu berperan di lemah cai, untuk ngigelan jaman, ngigelkeun jaman, dan yang penting jangan mau diigelkeun orang lain.
Leave a Reply