KPK Bisa Tersangkakan Papa Setnov Lagi
Terasjabar.co – Melalui Kepala Biro Humas dan Hukum Mahkamah Agung, Abdullah mengatakan, tidak sulit bagi KPK untuk kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.
Hal itu bisa dilakukan meski putusan peradilan sudah mengabulkan permohonan Setya Novanto.
“KPK memiliki banyak alat bukti yang sudah dikumpulkan. Apalagi KPK berencana bekerja sama dengan FBI Federal Bureau of Investigation,” kata Abdullah di Gedung MA, Jakarta, Jumat 6 Oktober 2017.
Abdullah mengatakan hal tersebut ketika memberikan tanggapan MA atas polemik putusan praperadilan yang diajukan Setya Novanto setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Demikian dilaporkan Antara.
Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, dikatakan Abdullah, tidak akan menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan kembali menjadi tersangka.
“Apalagi, kalau ada dua alat bukti baru yang sah, yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara,” kata Abdullah.
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
“Sekarang semua bergantung kepada KPK dan kita hanya perlu menyerahkan saja kepada KPK. Mereka tentu sudah punya perhitungan sendiri,” katanya.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar, pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapan Ketua DPR itu sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.
Hakim Cepi berkesimpulan, penetapan tersangka oleh KPK tidak berdasarkan prosedur dan tata cara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP, dan SOP KPK.
Namun, KPK mempertimbangkan untuk mengeluarkan lagi surat perintah penyidikan atau sprindik untuk Setya Novanto.
KPK Periksa Anang
Sementara itu, KPK memeriksa Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan e-KTP
“Yang bersangkutan diperiksa sebagai tersangka,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Selain memeriksa Anang Sugiana, KPK juga memeriksa empat saksi lainnya dalam kasus yang sama juga untuk tersangka Anang Sugiana.
Empat saksi yang diperiksa itu antara lain Komisaris PT Softorb Technology Indonesia Mudji Rachmat Kurniawan serta tiga orang dari unsur swasta masing-masing Yu Bang Tjhiu alias Mony, Endra Raharja Masagung, dan Santoso Kartono.
Dalam penyidikan kasus itu, KPK tengah mendalami terkait aspek pengadaan dan transaksi keuangan untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo.
Anang Sugiana Sudihardjo merupakan Direktur Utama PT Quadra Solution yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka baru kasus e-KTP pada Rabu 27 September 2017
PT Quadra Solution merupakan salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia sebagai pelaksana proyek e-KTP yang terdiri dari Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Artha Putra.
“Indikasi perbuatan yang dilakukan Anang Sugiana Sudihardjo sebagai bagian juga dari perusahaan yang mengikuti proses lelang tersebut,” ucap Febri.
Anang Sugiana Sudihardjo diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri.
Indikasi peran Anang Sugiana Sudihardjo terkait kasus itu antara lain diduga dilakukan bersama-sama dengan Setya Novanto, Andi Agusitnus alias Andi Narogong, Irman dan Sugiharto, dan kawan-kawan.
Anang Sugiana Sudihardjo diduga berperan dalam penyerahan uang terhadap Setya Novanto dan sejumlah anggota DPR RI melalui Andi Agustinus alias Andi Narogong terkait dengan Proyek e-KTP.
Anang Sugiana Sudihardjo disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. (yun)
Leave a Reply