Oh No! Kesadaran Politik Gen Z Diredam Seketika
Oleh:
Memi Mirnawati
(Mahasiswi)
Terasjabar.co – Pada Rabu (24/09/2025), sejumlah orang dengan 664 orang dewasa dan 295 anak ditetapkan sebagai tersangka atas kerusuhan demonstrasi 25 Agustus – 31 Agustus 2025 di berbagai daerah di Indonesia oleh kepolisian. Mereka ditetapkan sebagai tersangka atas tindakan penghasutan untuk membuat kerusuhan, menyebarkan dokumentasi kerusuhan lewat sosial media dengan maksud memprovokasi, menghasut massa melakukan pembakaran, membuat, menyimpan dan menggunakan bom molotov saat kerusuhan serta tindakan penjarahan (tempo.co, 24/09/2025).
Disisi lain, Komisioner KPAI menyatakan bahwa penetapan 295 anak sebagai tersangka dalam kerusuhan tersebut tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak sesuai UU Peradilan Anak. Komisioner KPAI menyebut bahwa ada anak yang diperlakukan tidak manusiawi, bahkan ada yang kemudian diancam, dikeluarkan dari sekolahnya (kompas.com, 26/09/2025).
Begitu pun dengan Ketua Komnas HAM, beliau menyatakan bahwa polisi harus mengkaji kembali apakah penetapan tersangka ini sudah sesuai dengan hukum acara pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Diketahui bahwa tindakan polisi tersebut akan berpotensi pelanggaran hak asasi manusia dalam penetapan 295 tersangka berusia anak dalam kerusuhan pada akhir Agustus 2025 (kompas.com, 26/09/2025).
Dibalik aksi kerusuhan demonstrasi agustus lalu, perlu kita sadari bahwa Gen Z mulai sadar politik. Gen Z adalah generasi yang tumbuh dalam lingkungan digital, akrab dengan internet, media sosial, dan teknologi canggih. Gen Z yang telah terpapar sejumlah informasi dari internet dan media sosial membuat mereka cepat dalam mengetahui permasalahan atau isu secara global, termasuk isu ketidakadilan sosial dalam negeri. Dalam hal ini, Gen Z telah menyadari bahwa terdapat ketidakadilan yang terjadi pada negeri ini, sehingga mendorong mereka bergerak nyata dalam sebuah aksi menuntut perubahan.
Bukannya diapresiasi dan ditanggapi positif, kesadaran politik Gen Z ini berujung di diskriminalisasi sampai dilabeli anarkisme. Pelabelan ini menjadi strategi untuk menekan dan mengkriminalisasi aspirasi kritis generasi muda. Pada dasarnya tindakan tersebut merupakan bentuk pembungkaman yang ditujukan untuk membatasi ruang gerak generasi muda agar tidak lagi menyuarakan kritik terhadap kebijakan penguasa.
Jika gerakan generasi muda dicap sebagai kesalahan, maka siapa yang sebenarnya diuntungkan? Indonesia merupakan negara yang menaganut Demokrasi. Pemerintahan dan kekuasaan berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan kembali untuk kesejahteraan rakyat. Namun satu hal lagi yang perlu kita sadari, bahwa sistem yang tengah menguasai saat ini ialah sistem Kapitalisme, dan sistem Demokrasi adalah sistem politik dari Kapitalisme. Sistem Kapitalisme adalah sistem tatanan kehidupan yang berorientasi pada aspek ekonomi, dan menekankan kebebasan individu. Dalam hal ini, Kapitalisme mendorong persaingan bebas, sehingga pihak yang mampu memperoleh keuntungan lebih besar cenderung memiliki kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan dengan yang lain.
Sampai sini dapat disimpulkan, bahwa sistem saat inilah yang secara tidak langsung membungkam generasi muda. Suara generasi muda dalam aksi demontrasi tidak sejalan dengan para penguasa saat ini, bahkan dianggap sebagai sebuah ancaman bagi mereka. Mereka hanya memberi ruang gerak hanya pada suara yang sejalan dengan mereka. Jadi tidak ayal jika pemerintah melakukan diskriminalisasi pada orang-orang yang dianggap mengancam bagi penguasa.
Sedangkan, generasi muda merupakan generasi penggerak perubahan (Agent of Change). Peran mulia yang tersemat ini bukanlah hanya kiasan semata, namun perlu didukung untuk direalisasikan. Gerasi muda harus diarahkan pada perubahan hakiki. Perubahan yang bukan hanya mengejar penilaian dunia, namun perubahan yang membawa mereka untuk mengejar penilaian pencipta-Nya.
Kita ketahui pula, bahwa mayoritas penduduk Indonesia ialah beragama Islam, termasuk pada generasi mudanya. Dengan hal ini, sudah seharusnya mereka diarahkan untuk menghamba sepenuhnya kepada Allah Swt. dengan ber-Islam kaffah, menjadikan Islam sebagai pedoman hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan, bukan sebatas ritual ibadah saja. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 208: “Hai orang-orang yang beriman, masukklah kalian ke dalam Islam secara kaffah” (TQS al-Baqarah [2] : 208)
Dalam Islam mewajibkan yang namanya amar ma’ruf nahi mungkar. Ma’ruf sebagai segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah. Sebaliknya, mungkar mengenai segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah. Prinsip ini tidak hanya berlaku dalam konteks pribadi, namun juga sosial dan politik, termasuk dalam mengoreksi penguasa yang berbuat dzalim. Islam menegaskan bahwa menyampaikan kebenaran kepada pemimpin adalah bagian dari tanggjung jawab dan keimanan, bukan serta merta melarang apalagi sampai membungkam. sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 :
“Dan hendaklah di antara kamu segolongan orang yang menyeru pada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS ali Imran [3] : 104)
Penerapan Islam secara kaffah ini akan lebih mungkin terwujud melalui sistem Islam. Sistem Islam ini akan menjadikan pendidikan sebagai hal yang diutamakan dalam membentuk kepribadian generasi muda. Melalui pendidikan berbasis akidah Islam, kesadaran politik generasi muda akan terarah untuk memperjuangkan ridha Allah Swt., bukan hanya sekedar luapan emosi atau tindakan anarkisme semata. Dalam hal ini, sistem Islam dapat menjadi sarana pembinaan umat yang akan menumbuhkan semangat intelektual, moral, dan spiritual, sekaligus meminimalisir berbagai bentuk penyimpangan hingga keburukan dalam kehidupan di masyarakat. Wallahu’alam bishawab.
Leave a Reply