Pengabaian Hak Politik dan Ekonomi Kovenan Internasional PBB
Oleh:
Sadikun Citrarusmana
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan)
Terasjabar.co – Pada 24 Oktober 2024 Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) genap berusia 79 tahun. Sejak kelahirannya sudah dirumuskan ratusan kovenan, di antaranya dua yang dikenal dan penting yaitu Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB), dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Kedua Kovenan ini sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang menjadi dasar penghormatan negara terhadap hak azasi manusia (HAM) di Indonesia. Kovenan adalah suatu perjanjian multilateral yang mengikat negara-negara pesertanya untuk konsisten menjalankan kewajibannya kepada warganya.
Dalam KIHESB kewajiban negara itu adalah menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfill) hak-hak ekonomi sosial dan budaya warganya. Hak tersebut meliputi hak atas perumahan, hak atas standar hidup yang layak, hak kesehatan, hak atas lingkungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya. Dalam KIHSP kewajiban negara adalah melestarikan hak asasi manusia dasar diantaranya hak untuk hidup dan bermartabat manusia, persamaan di depan hukum, kebebasan berbicara, berkumpuldan berasosiasi, kebebasan beragama dan privasi, kebebasan dari penyiksaan, perlakuan buruk, dan penahanan sewenang-wenang.
Sejak Joko Widodo (Jokowi) berkuasa sebagai presiden terpilih hasil Pemilu presiden 2014 dan 2019 ketidak taatan terhadap kovenan internasional PBB baik KIHSP maupun KIHESB terasa memuncak. KIHSP yang mendeskripsikan tentang hak sipil dan politik bagi warganegara mengalami kemunduran. Kebijakan politik secara kelembagaan yang bertujuan meningkatkan partisipasi warganegara dalam Pemilu dan Pilkada tidak sesuai dengan gaung kovenan hak sipil dan politik. Peristiwa yang terjadi justru elit politik beramai ramai mendirikan partai politik dan lembaga politik seperti DPR, DPD, dan MPR menjadi lembaga wakil rakyat yang diam. Bahkan orang dan lembaganya hanya menjadi pencari rente politik. Mencari uang dengan dalih mewakili rakyat padahal mencari pekerjaan yang menghasilkan uang sebanyak mungkin.
Untuk bisa mengikuti pemilu legislatif mereka bersedia menerima uang sogokan dengan pengorbanan mendukung kepentingan oligarki penyuapnya. Lembaga hukum peradilan menjadi sarana penipuan untuk memuluskan tujuan berkuasa. Para hakim “wakil Tuhan” dimanipulasi agar bisa mengatur siapa yang tidak berhak menjadi berhak sebagai calon elit eksekutif maupun legislatif. Koruptor dan narapidana masih diberi kesempatan menjadi calon anggota legislatif di tingkat pusat maupun daerah, meskipun dengan diembeli jeda waktu. Pimpinan pemerintah baik presiden maupun menteri kabinet larut dalam kampanye, tidak segan cawe-cawe untuk memenangkan calon yang diusung partai yang tiada lain adalah anak saudaranya. Ini mendorong aksi politik uang yang dianggap sebagai lumrah karena politik sudah banyak melanggar hukum dan etika.
Dalam bidang ekonomi sosial dan budaya pun banyak terjadi ketidak-konsistenan terhadap ketaatan pada kovenan PBB. Hutang negara menumpuk sampai sekitar Rp 8 ribu triliyun, atau sekitar Rp 15 ribu triliyun ditambah utang swasta. Kondisi ini menyebabkan setiap kelahiran bayi Indonesia dibeban utang sebesar Rp 50 juta. Sementara utang yang ada banyak digunakan proyek-proyek yang tidak berdampak langsung kepada kesejahteraan rakyat. Bahkan utang itu dikorupsi juga oleh elit politik dan elit pemerintah. Bukan hanya lembaga negara yang disalahgunakan, institusi swasta pun diamputasi seperti Pers yang tidak boleh memberitakan keburukan birokrasi pemerintah, juga narasumber kritis banyak dibungkam, tidak segan-segan menggunakan aksi-aksi intelijen.
Lingkungan hidup juga menjadi sektor yang lemah dalam perlindungan dalam kovenan ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan secara masif jalan tol berbayar membuat lingkungan hidup rusak, ekosistem terganggu, dan entitas adat di wilayah terdampak menjadi tereliminasi. Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang mangkrak, dan dibatalkan keppresnya, mencerminkan kegagalan manajemen pembangunan yang merusak lingkungan hidup masyarakat di sekitar wilayah IKN.
Jalan sunyi kovenan PBB menunjukan bahwa komitmen perjanjian internasional masih banyak dilanggar oleh kebanyakan negara. Negara peserta melaporkan kondisi wilayahnya secara optimistis, berlebihan, tapi tidak realistis. Mereka menyatakan warga negaranya dalam kondisi baik dan relatif makmur padahal data yang dikumpulkan oleh Bank Dunia maupun UNICEF menunjukan masih adanya tingkat kemiskinan yang tinggi, kelaparan, keterbelakangan pendidikan, tanpa rumah, dan tertutup akses terhadap kesehatan.
Untuk perbaikan konsistensi terhadap kovenan internasional maka dibutuhkan penegakan kembali dan penegasan ulang agar negara peserta melihat kembali naskah kovenan. Di antaranya pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) KIHESB yang menyatakan semua rakyat mempunyai hak menentukan nasib sendiri atas politik, ekonomi, sosial dan budaya…bebas mengatur kekayaan dan sumber daya sendiri…setiap negara peserta bertanggungjawab dan menghormati hak itu esuai dengan Piagam PBB.
Leave a Reply