Yosa Octora: Raperda Penyelenggaraan Perkebunan Bukan “Liveshing” Harus Jadi Payung Hukum
Lebih lanjut, Yosa mengatakan lahirnya Perda Penyelenggaraan Perkebunan ini, tidak ada yang merasa diuntungkan dan dirugikan.
“Untuk itu, lahirnya Perda Penyelenggaraan Perkebunan ini, tidak ada yang merasa diuntungkan dan dirugikan. Maka harus ada kompromi antara BUMN Perhutani, Dirjen Perkebunan, Provinsi dan Kabupaten jangan sampai jalan sendiri-sendiri tetapi saling memahami dan saling mengisi kekosongan. Sehingga, jelas yang mana bisa dijangkau oleh Provinsi, Kabupaten, BUMN, dan Dirjen Perkebunan”, jelasnya.
“Dikatakan, karena isi Perda harus jelas, untuk itu Raperda yang disusun oleh Pansus VIII bersama ekskutif, melakukan serangkaian masukan dari berbagai pihak, tidak hanya dari OPT terkait (Dinas Perkebunan Perkebunan ini) tetapi dari berbagai stakeholder terutama para pemangku kepentingan, pelaku usaha dan masyarakat perkebunan”, tambahnya.
Guna mencari masukan, informasi dan mengakomudir aspirasi pemangku kepentingan, Pansus VIII telah melakukan serangkan kunjungan kerja. Diantara, perkebunan teh di gambung kebon pasir sarong kab.Cianjur, ke perkebunan Kopi Prianger di Pengalengan Kab. Bandung, ke Pabrik Gula Rajawali II Tersana Baru di Cirebon.
“Semua informasi, masukan dan aspirasi dari tempat yang Pansus VIII kunjungi, kita catat dan akan kaji atau disaring, mana mana yang dapat dituangkan dalam Raperda dan mana yang tidak”, ujar Yosa Octora.
Dari beberapa titik yang kunjungi Pansus VIII, cukup banyak informasi yang didapat, dan juga banyak temuan, ternyata banyak stakeholder yang berkepentingan dalam hal ini, contohnya. Tebu dan Teh banyak dikuasai oleh PTPN, termasuk Pabrik Gula (PG) terkait dengan industri hulu dan hilir, sehingga terjadi tumpang tindih. Bahkan Kopi juga sekarang banyak dikuasai PTPN.
“Untuk itu, Kita sich ingin ada kejelasan, mana kepentingan BUMN, Dirjen Perkebunan, Provinsi dan mana kepentingan perkebunan rakyat (Kopi, Teh, Kelapa Dalam dan Tebu)”, ujarnya.
Adapun terkait tujuan eksekutif mengusulkan Raperda Peneyelenggaraan Perkebunan, kita melihat pak Gubernur berharap ada akselerasi dan memiliki produk unggulan yang mencarikan khas Jawa Barat.
“Terus terang, sampai saat ini, Jabar belum memiliki produk yang mencirikan khas Jabar untuk di ekspor ke berbagai negara. Contoh: Kopi di ekspor ke Australi, Teh ke Maroko, Tebu untuk kebutuhan pemenuhan kebutuhan Gula, Kelapa Dalam (Sabut Kelapa-red) ke Jepang atau negara-negara perakit mobil dan pelapis-pelapis kursi”, ujar politisi Partai Demokrat ini.
Namun ketika ditanya, seberapa luas lahan perkebunan yang dimiliki Pemprov Jabar, Yosa Octora mengatakan, Pansus VIII telah mengundang Biro Asset Setda Jabar, hasil sedikit, dari ribuan hektar yang tercatat dan sudah disertifikasi hanya seluas 220 lebih Hektar.
“Permasalahan di pemprov Jabar adalah masalah asset, karena sampai kini aset pemprov yang lengkap didukung dengan legalistas/sudah di sertifikasi itu yang mana aja?. Database itu sampai kini belum ada”, tegasnya.
Leave a Reply