Prevalensi Stunting Jabar Ada di Level “Medium to High”

Terasjabar.co – Tingkat prevalensi stunting (gangguan pertumbuhan linear) di Jawa Barat berada pada tingkatan medium to high.

Saat ini tingkat prevalensi stunting di Jabar berada di angka 29,2 persen pada tahun 2017. Angka tersebut berada pada deretan menengah, sementara di atas 30 persen artinya prevalensi tinggi.

Sementara Jabar bertekad untuk menurunkan angka prevalensi dalam lima tahun kedepan menjadi di bawah 20 persen bahkan menjadi zero stunting pada tahun 2023 nanti seiring dengan visi misi pemerintahan saat ini.

Berbagai upaya harus dilakukan oleh multipihak karena stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang disebabkan oleh multi dimensi.

Hal itu terungkap dalam Seminar Nasional Promosi Kesehatan 2018 yang digelar di Aula Barat Gedung Sate, Jalan Diponegoro Kota Bandung, Sabtu (3/11/2018).

Saat itu seminar diikuti oleh ratusan mahasiswa jurusan promosi kesehatan yang diselenggarakan oleh Poltekkes Kemenkes dan Dinkes Jabar.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Jabar dr Sri Sudartini menuturkan, untuk mencapai zero stunting di Jabar, sebanyak 14 kabupaten menjadi lokus intervensi dalam menekan angka stunting di Jabar. Dinkes melakukan pemantauan status gizi (PSG) di 14 kabupaten dengan tingkat prevalensi stunting yang tinggi.

Yaitu di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Kabupaten Bandung, Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Sumedang, Indramayu, Subang, Karawang, Kabupaten Bandung Barat, dan Majalengka.

“Kami masuk pada aspek indikator spesifik dengan memberikan suplemen tambah darah untuk ibu hamil, memneritahu soal teknis menyusui, penyuluhan makanan pendamping  ASI yang baik, imunisasi dasar, semua diberikan oleh kita termasuk penyuluhan transfer of knowledge,” tutur dia.

Dikatakan Sri, stunting bisa dicegah melalui intervensi 1000 hari pertama. Yaitu, 270 hari dalam kandungan hingga usia anak dua tahun yang disebut golden period. Jika dalam masa tersebut terjadi kesalahan dalam asupan gizi dan pola pengasuhan maka hal itu menjadi awal stunting.

Namun jika sejak hari pertama bayi dalam kandungan sudah diintervensi dengan baik maka stunting bisa dicegah.

“Namun semua itu tidak bisa diintervensi langsung oleh orang kesehatan. Harus ditopang dengan perilaku hidup bersih dan lingkungan yang sehat seperti air bersih, jamban sehat,” ujar dia.

Dia menegaskan, dalam hal ini perlu kombinasi lintas sektor untuk atasi stunting. Hal itu pun termasuk mengoptimalkan peran penyuluh kesehatan untuk menciptakan media komunikasi yang kreatif dan efektif sehingga misi tercapai sesuai dengan sasaran.

Dia menambahkan, stunting harua dicegah karena jika dibiarkan akan berimplikasi banyak.

“Bayi stunting opportunity lapang kerjanya kurang baik, angka sakitnya tinggi, obesitas tinggi juga bisa sehingga peluang penyakit tidak menukat besar dan secara ekonomi mempengaruhi makro ekonomi,” ujar dia.

Sebelumnya, Kadinkes Jabar Dodo Suhendar menuturkan,  tingkat prevalensi stunting di Jabar yang paling tinggi dialami di Garut dengan angka 43,2 persen.

“Stunting ini latar belakangnya hampir sama dengan gizi buruk yaitu ditentukan dengan asupan gizi dan lingkungan tempat tinggal ibu ketika kehamilan. Apakah ibu anemia, hingga bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR),” ujar dia.

Faktor lainnya yaitu ketidakmampuan orang tua dalam masalah materi, pendidikan sehingga menyebabkan pola asuh yang salah serta daya dukung lingkungan yang kurang memadai. Seperti lingkungan yang mempengaruhi anak menjadi sering sakit-sakitan karena airnya tidak bersih, udara kotor.

“Stunting ini menyebabkan kondisi anak lebih pendek dari pertumbuhan normal biasanya. Memang balita tersebut masih bisa berkegiatan cuma secara kualitas secara sumber daya manusia bakal kalah bersaing karena fisik berbeda dan rentan kena penyakit,” tuturnya.

Pencegahan stunting, kata dia bisa diintervensi dalam 1.000 hari kehidupan pertama yaitu selagi dalam kandungan hingga anak usia dua tahun melalui asupan makanan yang begizi pada ibu hamil dan anak tersebut.

“Ketika stunting maka harus melakukan penilaian dengan ukuran tinggi badan,” ujar dia.

Jika pada usia dua tahun tersebut anak tersebut dinyatakan stunting kemungkinan kecil bisa diintervensi dan kemungkinan besar bisa menetap stuntingnya. Tapi meskipun pendek gizinya nanti bisa bagus, dan sehat.

“Masalah ini menjadi urusan bersama karena anak merupakan investasi, penentu sumber daya manusia masa depan,” kata dia.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

seven − two =