Bengkaknya Utang Negara, Itu Kondisi Aman?

Terasjabar.co – Baru 2 tahun dibawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia memiliki utang yang membengkak. Terhitung tambahan utang 2015-2016 sebesar Rp 1.160 Triliun. Dibandingkan dengan 4 tahun pemerintahan sebelumnya, tambahan utang 2012-2014 hanya Rp 609,5 Triliun.

Hal itu dikatakan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Kodrat Wibowo, dalam Forum Ekonomi Kementerian Keuangan yang digelar oleh Kakanwil DJKN Provinsi Jabar, di Trans Hotel, Kamis (23/11/2017). Menurut Kodrat, per April 2017, utang Indonesia mencapai Rp 3,667,41 triliun yang artinya sudah lewat 30% dari PDB.

Sebagian kalangan, kata Kodrat, menilai bahwa negara dalam kondisi gawat darurat utang karena rawan bakal tidak mampu bayar utang jatuh tempo. Kodrat berpendapat bahwa Utang Publik Mayoritas merupakan Utang Domestik (88%) dalam bentuk Nilai Rupiah (57,4%). Hal ini dinilai relatif aman dari resiko ketergantungan pada pihak asing dan dampak krisis global.

“Posisi kita dengan angka 28 persen jauh lebih aman dibandingkan negara-negara lain terutama Jepang yang mencapai 239 persen. Kita lebih aman dibanding Vietnam yang mencapai 62 persen, Malaysia 56 persen, Thailand 42 persen, dan Filipina 34 persen“ kata Kodrat.

Pada tahun 2015 rasio beban bunga utang Indonesia terhadap belanja pemerintah yakni 8,3% masih relatif lebih aman dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (11.3%) dan Filipina (16.7%). Menurut Kodrat, beban utang per kapita masyarakat Indonesia masih relatif jauh lebih rendah.

Sebagai perbandingan, tutur Kodrat, beban utang per kapita masyarakat Indonesia sebesar USD1.000, masih aman dibanding Jepang USD85.697 per kapita, Jerman USD30.600 per kapita, Malaysia USD3.500 per kapita, Vietnam USD1.300 per kapita,Pilifina USD1.400 per kapita.

“Kita bahkan lebih aman dari Arab Saudi. Arab Saudi yang pemerintahannya baru mulai berutang tahun 2014 saja beban utangnya sudah USD3.000 per kapita,“ kata Kodrat.

Kodrat juga mengungkapkan bahwa utang publik tidak selamanya berdampak negatif terhadap negara. Kodrat menunjukkan perhitungan sementara menurut Model Ekonometrika yang dirancang oleh dia bersama Elly F Badarudin, dengan kasus empat negara ASEAN yang meliputi Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Filipina periode 1981-2014. Perbandingan ini menunjukkan bahwa utang publik akan berkontribusi positif terhadap perekonomian selama rasio utang publik dengan PDB rata-rata kurang dari 35%.

“Bila rasio utang terhadap PDB melebihi 35 persen, maka kontribusi positif semakin menurun dan akhirnya peran positif akan berbalik menjadi negatif terhadap perekonomian bila rasio utang terhadap PDB melewati angka rata-rata 70 persen,“ tuturnya.

Kesimpulan yang diambil para pengamat bahwa negara berada pada situasi gawat darurat karena jeratan utang publik, kata Kodrat, adalah “Jumping to Conclusion Bias”.

Namun Kodrat mengingatkan pentingnya mengelola dengan bijak utang karena diduga banyak warga domestik yang mungkin saja memiliki sumber asli kepemilikan non residen di luar negeri ditambah risiko tambahan dari pergerakan nilai valas yang jelas lebih rentan terhadap krisis internasional. (red)

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 − five =