Bayang-Bayang di Gaza
Oleh:
Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Terasjabar.co – “Bu, kenapa langit selalu merah di Gaza?” suara lirih seorang anak lelaki terdengar di tengah kegelapan malam.
Ibunya terdiam, matanya menatap jendela kecil yang sudah retak. Dari kejauhan, cahaya api menyala, menandakan bom baru saja jatuh. Ia tahu, jawaban yang diberikan bisa merobek hatinya sendiri.
“Langit Gaza bukan merah, Nak. Itu hanya darah yang bercampur dengan doa-doa,” jawab sang ibu pelan, berusaha tetap tegar.
Di balik runtuhan rumah-rumah, suara takbir bersahutan. Meski dunia bungkam, Gaza tidak pernah menyerah. Zionis bersama Amerika terus meningkatkan serangan. Mereka ingin mengosongkan Gaza, menyingkirkan manusia dari tanahnya sendiri. Namun, dunia seolah sepakat menutup mata. Mereka hanya berbisik di ruang diplomasi, membicarakan satu kalimat yang terus diulang-ulang: solusi dua negara.
Ilusi Dua Negara
“Apakah mereka pikir, dua negara bisa menyembuhkan luka ini?” tanya seorang pemuda Gaza yang baru saja mengangkat tubuh sahabatnya dari reruntuhan.
Seorang tetua di sampingnya menggeleng. “Nak, itu bukan solusi. Itu hanya ilusi. Mereka ingin kita puas dengan sisa tanah, padahal tanah ini milik kita sepenuhnya.”
Media menyebutkan, lebih dari 150 negara mengakui Palestina (27 September 2025). Namun pengakuan itu tidak menghentikan bom, tidak menghentikan darah. Lebih jauh, PBB bahkan mengungkap 158 perusahaan terlibat dalam proyek ilegal Israel (27 September 2025). Inilah kenyataan pahit, pengakuan dan diplomasi hanya jadi topeng, sementara Gaza tetap terbakar.
Suara yang Terkubur
Asma Siddiq, seorang aktivis muslimah, pernah menegaskan, “Solusi dua negara hanyalah ilusi kolonial. Itu bukan keadilan, melainkan cara Barat menutupi peran mereka dalam mendukung pendudukan Zionis.”
Kata-katanya menusuk seperti pisau. Sebab faktanya, setiap kali ada seruan solusi dua negara, persenjataan tetap mengalir ke Israel. Setiap kali para pemimpin dunia tersenyum di podium, rakyat Gaza menangis di puing-puing rumah mereka.
“Jika Palestina dibiarkan hanya berdiri di atas 20% tanahnya, itu bukan merdeka. Itu hanya pengasingan dalam sangkar,” lanjutnya.
Pemuda Gaza yang mendengar ucapan itu berbisik, “Kalau begitu, menerima solusi itu sama dengan menggadaikan darah para syuhada?”
Sang tetua menjawab dengan lantang, “Benar, Nak. Itu pengkhianatan!”
Jalan yang Sejati
Malam itu, di ruang bawah tanah sebuah masjid yang tinggal separuh, seorang ulama duduk dikelilingi para pemuda.
Ia membaca ayat Al-Qur’an dengan suara bergetar, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfal: 24)
Lalu ia menatap mereka satu per satu.
“Anak-anakku, Gaza tak butuh solusi dua negara. Gaza butuh pembebasan. Seperti Rasulullah Saw. menaklukkan Makkah, seperti Khalifah Umar membebaskan Baitul Maqdis, seperti Salahuddin menegakkan panji tauhid di al-Quds. Inilah jalan kita: jihad fi sabilillah, pemimpin ta’at pada Allah dan persatuan umat di bawah syariat Allah.”
Seorang pemuda angkat tangan. “Tapi, Syekh… dunia begitu kuat melawan kita.”
Syekh itu tersenyum. “Dunia boleh kuat, tapi Allah lebih kuat. Ingat, jika umat Islam bersatu, pasukan Zionis bisa dikalahkan hanya dalam hitungan jam. Apa yang membuat kita kalah bukan senjata mereka, melainkan perpecahan kita.”
Kesaksian Langit Gaza
Subuh menjelang. Dentuman belum berhenti. Namun di antara reruntuhan, anak-anak Gaza tetap membaca Al-Qur’an, para ibu tetap melantunkan doa, dan para pemuda tetap berjanji akan bertahan.
“Suatu hari, Nak,” bisik sang ibu sambil memeluk anaknya erat, “tanah ini akan merdeka sepenuhnya. Bukan karena dunia memberi kita sisa tanah, tapi karena Allah memberi kita kemenangan.”
Anak itu menatap langit yang masih memerah. Kali ini, ia tidak lagi bertanya. Ia tahu, di balik merahnya langit Gaza, ada janji Allah yang tak pernah pudar.
Leave a Reply