THE IMPOSSIBLE STATE: Politik Historiografi Atas Negara Islam

Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik/Penulis Buku Negara Ummat: Zelfbestuur Berdasarkan Syariat)

Terasjabar.co – Buku lawas (2012) kembali diterbitkan ulang, berjudul “The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament” karya Wael B. Hallaq.

Tesisnya bergema kembali di tengah paradoks Indonesia. Ia berargumen bahwa negara Islam yang otentik (dengan syariah sebagai otoritas tertinggi) tidak ada di dunia saat ini.

Hallaq berpendapat bahwa syariah tidak kompatibel dengan struktur dan teknologi pemerintahan negara modern, yang berfokus pada otoritas hukum dan tidak memiliki substansi moral yang sama seperti syariah, yang secara historis telah diubah dan dilemahkan oleh kolonialisme Eropa.

Islam saat ini, sebagaimana ditunjukkan Hallaq, belum berbuat banyak untuk memajukan bentuk pemerintahan Syariah yang sejati dan dapat diterima. Perjuangan konstitusional kaum Islamis di Mesir dan Pakistan, kegagalan hukum dan politik Islam dalam Revolusi Iran, dan kekecewaan serupa menggarisbawahi fakta ini. Meskipun demikian, negara tetap menjadi acuan favorit kaum Islamis dan ulama.

Ketika sebuah negara modern mengklaim sebagai “Negara Islam”, ia pada hakikatnya mengambil alih peran Tuhan sebagai sumber hukum. Ia mengubah Syariah dari sebuah sistem moral transenden menjadi hukum positif negara, sebuah tindakan yang secara teologis bermasalah dan secara struktural mengkhianati esensi Syariah itu sendiri.

Bagi Hallaq, istilah “hukum Syariah negara” adalah sebuah oksimoron, yaitu paradoks yang merupakan pententangan dari fakta yang sebenarnya telah terjadi.

Peran Ulama: Dari Penjaga Otonom menjadi Alat Negara

Hallaq menyatakan bahwa pada awalnya, Ulama merupakan lembaga independen yang tidak dikendalikan oleh negara. Mereka adalah penjaga dan penafsir Syariah.

Kemandirian mereka memungkinkan mereka bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan penguasa. Masyarakat memiliki hubungan langsung dengan ulama untuk mendapatkan fatwa dan bimbingan hukum, melewati birokrasi negara.

Namun, Negara-bangsa modern tidak mentolerir kekuatan otonom di luar kendalinya. Oleh karena itu, negara modern melakukan:

  1. Ko-optasi: Menjadikan ulama sebagai pegawai negeri sipil (misalnya, di kementerian agama, lembaga fatwa resmi). Gaji dan karir mereka bergantung pada negara, sehingga ke independensianya hilang.
  2. Netralisasi: Menciptakan birokrasi hukum “Islam” sendiri yang mengesampingkan peran ulama tradisional.

Implikasinya: Dengan menyingkirkan ulama sebagai lembaga independen, negara modern telah memutus hubungan langsung antara masyarakat Muslim dengan hukum Tuhan. Hukum menjadi alat kontrol dan birokrasi negara, bukan lagi pedoman hidup yang diakses secara organik.

Negara Islam: Paradoks di Tengah Negara-Bangsa

Menurutnya, upaya menciptakan “Negara Syariah” justru menghasilkan karikatur dari Syariah itu sendiri: sebuah sistem hukum yang kejam, birokratis, dan kehilangan jiwa moral dan spiritualnya. Contoh yang diberikan Hallaq adalah praktik di Arab Saudi atau Iran, yang menurutnya adalah negara sekuler dengan lapisan “Islam” di permukaan, atau kelompok ekstremis seperti ISIS yang menerapkan kekerasan tanpa pemahaman mendalam tentang tradisi hukum Islam.

Hallah menyatakan bahwa negara-bangsa adalah produk Eropa yang diimpor ke dunia Muslim melalui kolonialisme. Kolonialisme tidak “memodernisasi” struktur politik Islam; ia menghancurkannya. Sistem politik pra-modern Islam, yang bersifat lebih terdesentralisasi, pluralistik (misalnya sistem millet di Ottoman), dan organik, digantikan secara paksa oleh model negara-bangsa yang sentralis, homogen, dan birokratis.

Muslim modern mencoba mengisi “wadah” negara-bangsa yang sekuler dan Barat dengan “isi” Islam. Namun, menurut Hallaq, wadah dan isinya ini tidak cocok. Struktur negara-bangsa akan selalu mendistorsi dan mengkorupsi proyek Islam. Perjuangan konstitusional kaum Islamis di Mesir dan Pakistan, kegagalan hukum dan politik Islam dalam Revolusi Iran, dan kekecewaan serupa menggarisbawahi fakta ini. Meskipun demikian, negara tetap menjadi acuan favorit kaum Islamis dan ulama.

Wael B. Hallaq berpendapat bahwa “negara Islam”, jika dinilai berdasarkan definisi standar apa pun tentang apa yang diwakili oleh negara modern, mustahil dan pada dasarnya kontradiktif. Dengan membandingkan sejarah hukum, politik, moral, dan konstitusional Islam dan Eropa-Amerika, ia menemukan bahwa adopsi dan praktik negara modern sangat problematis bagi umat Muslim modern.

Menurutnya ide negara islam dalam kontruksi negara-bangsa modern tidak akan konpatible bahkan mustahil. Tentu, praktek sistem negara-bangsa modern saat ini, yang tak satupun menerapkan Islam Kaffah memang tidak akan mendapat jejaknya. Bahkan negara-bangsa modern saat ini menjalankan sIstem bernegara-pemerintahan yang secara diamentral betentangan dengan negara islam berdasarkan syariat sebagaimana yang di role-model- kan dengan Negara Madinah di era Nabi SAW dan era Khulafaur Rosyidin.

Argumentasi Pro Negara Islam

Dari sudut pandang Islam (terutama dari aliran Islamisme dan pemikir reformis), konsep “Negara Islam” tidak mustahil, melainkan merupakan sebuah keniscayaan dan tantangan yang harus diwujudkan melalui ijtihad dan adaptasi.

Makna kedaulatan yang mis-persepsi dari Hallaq harus mendapat pelurusan. Kedaulatan Tuhan (hakimiyyah) adalah transenden dan mutlak di alam semesta. Namun, dalam ranah politik dan sosial, Tuhan telah mendelegasikan (delegated) amanah (khilafah) ini kepada manusia, khususnya komunitas Muslim (Ummah). Kedaulatan Ummah bukanlah kedaulatan yang absolut dan menciptakan hukum dari nol, melainkan kedaulatan untuk menjalankan dan menafsirkan hukum Tuhan.

Negara Islam, dalam pengertian modern, adalah representasi dari amanah kolektif Ummah. Kedaulatannya bukan untuk menyaingi Tuhan, melainkan untuk menjadi alat (instrument) dalam mewujudkan kehendak Tuhan di bumi. Parlemen atau majelis syura dalam negara Islam bukanlah pembuat hukum, melainkan lembaga yang melakukan ijtihad kolektif untuk merumuskan hukum positif (qanun) yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah. Jadi, tidak ada kontradiksi, melainkan hierarki kewenangan: Tuhan -> Syariah -> Ummah (diwakili negara).

Negara-bangsa modern saat ini adalah produks sejarah Westphalia yang didominasi oleh negara-bangsa. Menolak bentuk negara-bangsa sama menjadi sebuah dilemma-paradok. Menolak realitas negara-bangsa, dengan “meng-Islamkan” nya dari dalam bukan tanpa perjuangan yang tidak mudah didalam sistem non- islam yang secara masif mencengkram.

Ini sudah dialami dalam perjalanan sejarah perjuangan islam politik di parlemen, bahkan saat negeri ini akan didirikan melalui Sidang BPUPK (Mei-Juni 1945). Ujung tragisnya adalah pengkhianatan elit nasionalis sekuler yang menghapusan 7 Kata dalam Muqaddimah UUD 1945, padahal sudah merupakan hasil sidang (BPUPK) berbulan-bulan lamanya.

Para pemikir Islam membedakan antara Syariah (wahyu ilahi yang bersifat universal dan abstrak) dan Fiqh (pemahaman manusia terhadap Syariah yang bisa berubah). Dalam konteks negara modern, Syariah (bersama dengan maqasidnya/tujuannya) berfungsi sebagai sumber utama dari mana hukum positif negara (qanun) diturunkan.

Proses legislasi di negara Islam adalah proses ijtihad kolektif yang terus-menerus. Misalnya, dalam bidang ekonomi, negara tidak hanya menyalin-nodal fiqh klasik, tetapi melakukan ijtihad untuk mengembangkan hukum perbankan syariah, pasar modal syariah, dan lain-lain yang relevan dengan zaman. Ini bukan “menciptakan hukum,” melainkan “menurunkan hukum” dari sumber ilahi untuk konteks baru. Dengan demikian, klaim Hallaq bahwa “hukum Syariah negara” adalah oksimoron dianggap gagal memahami dinamika ijtihad ini.

Dari sudut pandang Islam, “Negara Islam” bukanlah proyek mustahil, melainkan sebuah proyek transformasi yang menantang. Ini bukan tentang meniru secara sempurna model Khulafaur Rasyidin atau Kekhalifahan Ottoman, melainkan tentang mewujudkan kembali prinsip-prinsip universal Islam (keadilan, kemaslahatan, ketaatan pada Tuhan) dalam kerangka kerja politik negara-bangsa modern.

Bagi para pendukung Negara Islam, kegagalan dalam pelaksanaan (seperti di negara-negara yang ada saat ini) bukanlah bukti ketidakmungkinan konseptual, melainkan kegagalan manusia dalam berijtihad, berpolitik, dan memegang amanah dengan benar. Jawabannya bukan menyerah, tetapi terus berjuang dan memperbaiki diri untuk mewujudkan idealisme tersebut dalam realitas kontemporer.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

sixteen + 16 =