SDM Unggul, DNA Baru Pemuda Indonesia: Refleksi Sumpah Pemuda di Era Transformasi dan Peradaban Baru

Oleh:
Lilis Sulastri
(Guru Besar ilmu Manajemen FEBI UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

“Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Ir. Soekarno

Terasjabar.co – Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali menatap cermin sejarah: Sumpah Pemuda sebuah peristiwa monumental yang bukan sekadar deklarasi bahasa, tanah air, dan bangsa, tetapi juga manifesto kesadaran diri kolektif tentang arti menjadi manusia Indonesia.

Sumpah itu lahir dari semangat intelektual muda yang berpikir jauh melampaui zaman mereka; generasi yang berani menafsirkan kemerdekaan bahkan sebelum republik berdiri. Kini, di tengah revolusi digital, disrupsi teknologi, dan derasnya arus globalisasi nilai, semangat Sumpah Pemuda menuntut pembaruan makna.

Pemuda hari ini tidak lagi hanya dituntut menjadi pejuang di medan perang, tetapi menjadi arsitek peradaban, inovator kebijakan, dan pencipta nilai tambah dalam ekosistem bangsa yang dinamis.

Dalam konteks ini, istilah “SDM unggul” menjadi DNA baru yang harus melekat dalam setiap denyut nadi generasi muda Indonesia. ‘Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kuat secara fisik, melainkan bangsa yang besar pikirannya.’ — Albert Einstein

Einstein, dalam konteks pemikiran universal, menegaskan bahwa keunggulan manusia tidak terletak pada tubuhnya, melainkan pada kapasitas berpikir, belajar, dan beradaptasi. Di sinilah peran pemuda menjadi penentu, membentuk generasi yang bukan hanya kompeten secara teknis, tetapi bernilai secara etik dan spiritual.

SDM Unggul sebagai DNA Baru, Dari Kompetensi Menuju Karakter

Dalam teori manajemen sumber daya manusia modern, SDM unggul tidak semata diukur dari produktivitas kerja atau capaian akademik. Menurut Ulrich (2017), SDM unggul adalah mereka yang mampu mengonversi potensi menjadi kontribusi, dan menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pusat dari setiap inovasi. Begitu juga dengan model kompetensi SDM yang dikembangkan oleh Spencer & Spencer (1993) menekankan bahwa kinerja luar biasa akan  muncul dari kombinasi antara: Pengetahuan (knowledge), Keterampilan (skills), dan Sikap atau nilai (attitude & values).’ Melahirkan  apa yang disebut DNA unggul dengan  integritas, inovasi, dan kolaborasi. Inilah nilai yang menjadi dasar pembentukan karakter pemuda di era baru.

Pemuda Indonesia hari ini bukan sekadar harus melek digital, tetapi juga melek moral dan makna. Di tengah kemajuan kecerdasan buatan, yang dibutuhkan justru adalah kecerdasan batin, sebuah keunggulan manusiawi yang tidak bisa ditiru algoritma. ‘ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka.’  (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat ini menegaskan bahwa transformasi sejati dimulai dari dalam diri. Keunggulan sumber daya manusia tidak akan pernah lahir dari sistem semata, tetapi dari kesadaran moral dan spiritual untuk menjadi lebih baik.

Pemuda dalam Cermin Sejarah dan Peradaban

Jika menengok sejarah Islam, terdapat keistimewaan dimana generasi muda selalu menjadi poros perubahan. Nabi Muhammad SAW membina para sahabat muda Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin Umair, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, sebagai penerus  peradaban Islam yang kuat secara spiritual, cerdas dalam strategi, dan teguh dalam nilai.

Seperti  yang disampaikan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bahwa: “Pemuda yang hidupnya dipenuhi dengan ilmu dan amal adalah cahaya yang menerangi jalan umat”. Sedangkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyebutkan, “Peradaban akan selalu berganti tangan dari generasi tua kepada generasi muda. Di tangan merekalah energi, keberanian, dan cita-cita bersatu membangun masa depan”.

Kedua pemikir sekaligus filsuf  ini memandang  pemuda bukan sekadar simbol masa depan, melainkan roh dari kebangkitan sosial dan peradaban. Maka, tantangan generasi muda hari ini bukan hanya menaklukkan teknologi, melainkan “menemukan kembali makna kemanusiaan di tengah kemajuan digital”.

Pemuda dan Filsafat Eksistensi, Antara Aku dan Bangsa

Dalam pandangan Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis Denmark, manusia sejati adalah mereka yang berani mengambil pilihan secara sadar dan bertanggung jawab atas maknanya. Pemuda yang unggul bukanlah mereka yang mengikuti arus, melainkan mereka yang berani menentukan arah.

Sementara Friedrich Nietzsche menegaskan bahwa, “Pemuda sejati adalah mereka yang mampu menciptakan nilai-nilai baru ketika nilai lama mulai kehilangan makna”.

Dalam konteks Indonesia, hal ini sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda , yakni menciptakan nilai baru berupa kesadaran kebangsaan di tengah kolonialisme. Maka, pemuda era kini harus menciptakan nilai-nilai baru dalam dunia global tanpa kehilangan akar identitas lokal dan spiritual. Dan  dalam konteks SDM unggul, hal ini menjadi penanda bahwa ‘ keunggulan tidak hanya soal kapabilitas, tetapi juga keluhuran adab’.

Transformasi Digital dan Lompatan Nilai Pemuda

Fakta bahwa kita hidup di era digital civilization  perlu diakui ,di mana pemuda menjadi pionir dan sekaligus korban dari ledakan informasi. Dunia maya bukan hanya ruang berekspresi, tetapi juga arena kompetisi nilai dan identitas.

Generasi muda kini ditantang untuk menemukan keseimbangan antara being connected dan being conscious. Menjadi unggul bukan berarti sekadar viral, tetapi berdampak nyata.

Dalam teori Human Capital Development (Schultz, 1961), SDM unggul adalah investasi jangka panjang bangsa. Tetapi dalam konteks modern, pemuda harus menjadi social capital , agen yang mampu menghubungkan jejaring pengetahuan, teknologi, dan nilai kemanusiaan.

The future belongs to those who prepare for it today.” — Malcolm X. Kutipan ini menegaskan bahwa masa depan tidak datang begitu saja, tapi menjadi hasil dari  proses perencanaan, pembelajaran, dan pengabdian diri. Di tangan pemuda yang unggul, masa depan Indonesia tidak sekadar diimpikan, tetapi dibentuk dengan kerja nyata dan integritas.

Sumpah Pemuda bukan hanya fakta sejarah, melainkan pembentuk  filsafat kebangsaan, bahwa identitas bangsa lahir dari pertemuan nilai-nilai lokal, spiritual, dan modernitas. Pemuda yang unggul harus mampu berpijak di bumi nusantara tetapi menatap langit dunia. Seperti dikatakan oleh Buya Hamka, ‘ Jika pemuda hanya memikirkan dirinya sendiri, maka matilah bangsa. Tetapi jika pemuda memikirkan bangsanya, maka hidup dan jayalah negeri.’

Hamka melihat bahwa keunggulan bangsa tidak lahir dari jumlah, tetapi dari jiwa kepemimpinan dan kesadaran tanggung jawab moral. Dalam konteks modern, Peter Drucker menegaskan bahwa organisasi termasuk bangsa  hanya akan bertahan jika memiliki manusia pembelajar (learning human). Maka, bangsa Indonesia hanya akan kuat jika pemudanya memiliki etos belajar sepanjang hayat (lifelong learning spirit).

Keunggulan manusia modern tidak bisa hanya diukur dari IQ (kecerdasan intelektual), tetapi juga EQ (emosional) dan SQ (spiritual). Dalam banyak riset manajemen kontemporer, integrasi antara ketiganya membentuk Whole Person Development  pribadi yang seimbang antara kompetensi dan karakter. Maka Pemuda yang unggul adalah mereka yang memiliki:

  1. Spirit of Learning , yakni  semangat untuk terus berkembang.
  2. Skill of Adaptation, yaitu  kemampuan beradaptasi dan berinovasi.
  3. Soul of Nationhood adalah  jiwa yang terikat pada nilai bangsa dan kemanusiaan.

Inilah trinitas unggul yang membentuk DNA baru pemuda Indonesia di era global.

Sumpah Pemuda dalam Era 5.0

Dan saat ini kita tidak hanya hidup di era industri, melainkan berada di era society 5.0,  ketika teknologi dan kemanusiaan harus berjalan beriringan. Pemuda masa kini bukan hanya pengguna teknologi, tetapi pengendali arah nilai-nilai teknologi itu sendiri. Maka, menjadi SDM unggul berarti menjadi manusia reflektif, bukan hanya reaktif, menjadi manusia beraksi dengan visi, bukan sekadar mengikuti tren. ‘ Generasi muda adalah penulis sejarah yang belum menulisnya.’ — José Ortega y Gasset

Kini, tinta sejarah itu berada di tangan mereka para pemuda  bangsa.  Mampukah pemuda Indonesia menulis babak baru tentang bangsa yang unggul, berkarakter, dan bermartabat di mata dunia? Jika generasi 1928 mampu memerdekakan bangsa dari penjajahan fisik, maka generasi dan pemuda  hari ini harus memerdekakan bangsa dari penjajahan mental, disinformasi, dan disorientasi nilai. SDM unggul bukan sekadar jargon pembangunan. Ia adalah DNA baru bangsa. Dan pemuda Indonesia adalah gen utama dari DNA itu.

Wallahu’a’lam bis showaab

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

five + thirteen =