Politik Historiografi dan Khutbah Rasulullah SAW
Oleh
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik/Pusat Studi Sunda)
Terasjabar.co – Fenomena ngantuk dan tertidur sejenak saat Khutbah Jum’at sudah menjadi kebiasaan yang tercela namun dianggap biasa. Mengapa ini terjadi? Maka, supaya memperoleh pencerahan kita coba membacanya lewat perspektif politik Historiografi.
Apalagi ada imbauan dan doktrin, bahwa masjid dan khutbah Jumat bukan ajang politik, tetapi cukup tentang sains dan teknologi yang merujuk kepada al Quran saja. Masjid dijauhkan dari aktivitas diskursus sosial politik di sekitarnya. Sekulerisasi politik Islam bermula dari masjid dan corongnya adalah Khutbah Jumat.
Kapan seruan sholat Jum’at diturunkan? Mufasir menyatakan pada fase Madinah tatkala Islam memiliki kekuasaan politik wilayah sehingga memungkinkan Rosul SAW sebagai kepala negara melakukan semacam aktivitas ibadah secara terbuka.
Bahkan, dalam catatan Sirah Nabawiyah, tidak kurang dari 500 lebih praktek sholat berjamaah Jum’at berlangsung sepanjang era Madinah hingga menjelang Futuh Makkah. Berarti ada 500-an teks khutbah jumat Nabi SAW yang seharusnya terdokmentaskan dalam hadits-hadist.
Apa yang sebenarnya disampaikan dalam khutbah Nabi SAW dalam kondisi darurat perang itu? Dalam waktu yang. Seberapa lama berlangsung? Apakah sama dengan fenomena khutbah Jum’at para khotib di era kemudian pasca Nabi wafat hingga seribu empat ratus tahun di era modern?
Jika memang tidak ada khutbah Jumat yang diwariskan dari Nabi, ini bisa berarti bahwa format khutbah Jumat yang kita kenal sekarang bukanlah sesuatu yang berasal dari Nabi, melainkan hasil perkembangan politik Islam pasca-wafatnya beliau. Mengapa hal ini sampai luput dari pendokumentasan para ahli hadits? Padahal, hal-hal yang menyangkut kebiasaan hidup Nabi SAW saja terekam dengan sempurna.
Politik Historiografi: Mimbar Jumat Jadi Propaganda Penguasa
Pasca Nabi wafat dan berakhirnya era khulafaur rosyidin, yaitu bermula sejak monarki islam dibawah dinasti Muawiyyah berkuasa terutama sejak Yazid, maka Mimbar Jumat digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan penguasa, bahkan untuk mencaci maki lawan politik semisal Imam Ali kwj dan Siti Aisyah. Tidak adanya dokumentasi Khutbah Nabi/Rasullah SAW hidup dalam hadits-hadits Shoheh, menyebabkan kesulitan membandingkan mana khutbah yang sesuai dengan ajaran Nabi SAW dan mana yang sudah menyimpang.
Padahal, isi khutbah Nabi SAW berhadapan dengan situasi peperangan, yang membutuhkan instruksi, arahan dan motivasi untuk melakukan jihad dengan segala persiapannya. Isinya dalam konteks hari ini adalah kritik sosial, keadilan ekonomi, dan perlawanan terhadap sistem non Islami
Penguasa mungkin tidak ingin khutbah Jumat menjadi ajang kritik terhadap ketimpangan sosial dan korupsi, sehingga mereka lebih nyaman, jika khutbah Nabi hilang dan bisa digantikan dengan teks baru yang lebih pro-pemerintah.
Banyak hadis yang muncul justru cenderung mendukung kepatuhan kepada penguasa atau pro-rezim. Kaum muslimin akhirnya lebih banyak disuguhi khutbah-khutbah yang dibuat oleh penguasa atau dari ulama yang dipesanan-sponsori, bukan khutbah yang berasal dari ajaran Nabi.
Hilangnya khutbah Jumat Nabi SAW yang otentik adalah bagian dari politik historigrafi awal yang dijalankan di era Yazid bin Muawiyyah, terutama untuk menghilangkan jejak pemerintahan Islam yang berbasis Al-Qur’an. Setelahnya, dilanjutkan oleh dinasti-dinasti Islam (Kekhilafahan) berikutnya, yang tetap menjadikan khutbah Jumat sebagai alat propaganda program politik, bukan tempat untuk membangun kesadaran ummat untu menjalankan syariat Islam berdasarkan Al-Qur’an. Jadi, jika sekarang khutbah Jumat lebih banyak bersifat dogmatis dan tidak mengakar pada persoalan keadilan sosial, itu adalah warisan dari politik histirografi sejak era Muawiyah
Back to Sunnah Nabi SAW: Atas Fungsi dan Isi Khutbah Jumat
Jika khutbah Jumat Nabi masih ada dan dipelajari, mungkin umat Islam akan lebih kritis terhadap kepemimpinan yang menyimpang dari ajaran Qur’an. Namun, dengan hilangnya jejak khutbah tersebut, mimbar Jumat pun berubah menjadi sekadar ritual, bukan lagi ajang pencerahan dan pembebasan.
Jadi, jika ada yang bertanya “Ke mana perginya 500 khutbah Jumat Nabi?”, maka jawabannya bukan sekadar “tidak terdokumentasi,” tetapi bisa jadi proyek politik historiografi demi kepentingan politik penguasa.
Politik historiografi atas praktek khutbah Jumat seharusnya dilawan dengan manajemen produktif. Saya, teringat pernyataan Prof. Ganjar Kurnia, (Rektor Unpad, 2007) yang mengkritisi mengapa Khutbah Jumat seperti ceramah ilmiah guru besar atau kuliah umum untuk mahasiswa. Adu referensi dan daftar Pustaka, serta segudang istilah ilmiah. Ini tentunya tidak NYUNAH…Ayo kita mulai!






Leave a Reply