Politik Kuasa Atas Nama-Nama: Paradoks Indonesia

Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik/Penulis Buku Negara Ummat)

Terasjabar.co – Bermula dari sebuah nama. Sebagaimana Adam as diberi pengetahuan dengan nama-nama (QS. al-Baqarah [2]: 31). Penggalan ayatnya “wa’allama ādama al-asmāa kullahā” di atas.

Demikian pula dengan banyak tempat hidup manusia. Kawasan yang disebut Indonesia, di awal pra-sejarah bernama SUNDA LAND, yang terbagi menjadi dua Kawasan Sunda Besar dan Sunda Kecil. Barulah disebut dengan dengan ”NEGERI ATAS ANGIN” (The Land Above the Winds) dan “Negeri Bawah Angin” (The Lands Beneath the Wind).

Saat masuknya para pedagang Arab mendapat sebutan lain AL JAZIRATUL MULK (Kepulaun Raja-raja) di sebelah timur, dan AL BILADIL JAWI di Barat.

Sementara itu, orang-orang yang berdiam di Sumatera menyebut dirinya berasal dari Pulau PULAU PERCHA (Pritcho dalam dialek Melayu). Sedangkan orang India menyebutnya SUWARNADWIPA (bahasa Sanskerta, yang artinya pulau emas). Dalam karya sastra Melayu disebut INDALAS atau ANDALAS yang merujuk pada pulau-pulau sekitar semenanjung Malaya.

Sebutan lain untuk Sumatera adalah ANDALAS yang dekat dengan INDALAS atau ANDALUSIA di Spanyol. Ini adalah pendapat orientalis Inggris pada abad ke-19, William Marsden berpendapat sangat mirip dengan nama ‘ANDALUSIA’. Suatu wilayah kekuasaan Arab di Spanyol pada masa jayanya.

Di Sumetara itu terdapat Kerajaan Sriwijaya yang Berjaya sejak Abad 7 – 11 M. Maharaja Sriwijaya sudah dikenal para penulis Arab dan Persia abad ke 8-9 M. Orang Arab menyebut Sriwijaya sebagai Surbuza, SRIBUZA atau Sarirah. Sementara itu, sebutan al-Hind merujuk kepada Kepulauan Hindia, termasuk Sriwijaya.

Zainal Abidin Ahmad ( Buku Ilmu Politik V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang) menjelaskan, maharaja yang berkuasa pada tahun 718 M memeluk Islam dan kerajaannya dikenal sebagai Kerajaan Sribuza Islam adalah SRI INDRAWARMAN (702-728 M).

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab dengan Śrīwijaya dibarengi dengan hubungan persahabatan dan perdagangan (Gadjahnata, 1984:30). Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW bernama AKASYAH diutus untuk menyampaikan dakwah Islam kepada penguasa awal Kerajaan Sriwijaya (China menyebutnya Kan-to-li). Utusan Rasulullah ini mendapat sambutan yang baik dari Sang Raja. Salah satu alasannya menurut penguasa KAN-TO-LI bahwa Islam adalah ajaran monotheisme, yang memiliki kemiripan dengan keyakinan yang dianut oleh bangsawan Kan-to-li. Keyakinan monotheisme di Kan-to-li, dikenal sebagai AJARAN BRAHAM (ajaran monotheime peninggalan Nabi Ibrahim) (Sirzani, 2011:24-27).

Proyek Nasionalisme Dwipantara – Nusantara (ABAD XII-XIII)

Sebelumnya, dikenal nama Dwipantara (Abad ke-12) di zaman Raja Kertanegara – Singosari berkuasa. Sebutan ini untuk wilayah-wilayah di tanah sebrang atau luar kekuasaan Singosari. Hal ini sama persis dengan maksud penamaan Nusantara dalam Nagarakrtagma oleh Mpu Parapanca (1365) di zaman Majapahit berkuasanya Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk.

Usaha politik-diplomatik mempersatukan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusantara pernah dilakukan dua kali, pertama di bawah panji-panji Singasari. Cakrawala Mandala Dwipantara adalah sebuah pemahaman politik untuk menyatukan seluruh Nusantara yang terpisah oleh laut atau maritim di bawah satu kekuasaan. Politik Cakrawala Mandala dicetuskan oleh Raja Kertanegara, penguasa terakhir Kerajaan Singasari yang berkuasa antara 1268-1292. Ekspedisi Pamalayu (1275 M)—tujuh tahun setelah dinobatkan sebagai Raja Singasari (1268 M)—merupakan salah satu usaha Kertanagara mewujudkan gagasan itu, di samping ditujukan untuk membendung pengaruh imperium China-Mongol di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara. Terang bahwa ekspedisi ini adalah gagasan Pan-Nusantara yang pertama, jauh sebelum Gajah Mada mengumandangkan sumpahnya (1334 M).

Kedua kalinya, dengan konsep Amukti Palapa, hampir satu abad setelah runtuhnya Kerajaan Singasari, dihidupkan Gajah Mada untuk mempersatukan wilayah-wilayah di Nusantara, seperti Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik, di bawah kekuasaan Majapahit. Usaha Gajah Mada dalam menaklukkan Nusantara diperkirakan berlangsung sekitar 21 tahun, antara 1336-1357. Pada masa jayanya, Kerajaan Majapahit pun mampu menguasai wilayah Samudra Pasai, Jambi, Palembang, Semenanjung Malaka, Tumasik, Sambas, Banjarmasin, Pasir Kutai, dan Brunei.

GAGASAN mempersatukan kerajaan-kerajaan Nusantara di bawah panji-panji Majapahit, tidak diragukan lagi, sejatinya diilhami oleh cita-cita Kertanegara; Mandala Dwipantara. Sewaktu masih menjabat Mahamenteri, pada 1351 M, ia membangun prasasti khusus untuk Kertanagara, yang dikenal sebagai Prasasti Gajah Mada . Prasasti ini menunjukkan besarnya rasa hormat Gajah Mada terhadap Sri Kertanagara, sebagai penggagas Mandala Dwipantara.

Terkecuali SUNDA, menurut Kitab Negarakretagama, pada akhirnya daerah yang berhasil dikuasai meliputi seluruh wilayah Indonesia saat ini. Wilayah Sunda tidak ditaklukkan Majapahit karena memiliki hubungan masih keturunan dari Jayabhupati, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa di Jawa Timur.

Proyek Orde Lama-Orde Baru : Negara Kesatuan Republik Indonesia

Jika berdasarkan legal standing, kapan nama NKRI bermula? Itu adalah sebutan lain dari Negara RIS yang disahkan berdasarkan perjanjian internasional KMB (Konferensi Meja Bundar, 27 November 1949. Dengan adanya momentum Mosi Integral M. Natsir, 3 April 1950, kesempatan Soekarno-Hatta untuk menggunakan nama NKRI serasa mendapatkan momentumnya. Maka, diproklamasikanlah NKRI, pada tanggal 17 Agustus 1950 sebagai kelahiran kedua (new second born) setelah Negara RI Proklamasi 17/8/45 sempat tamat riwayatnya (sejak Renville, 1948).

Jadi, menghidupkan kembali Negara RI diatas legal standing yang berbeda, yaitu UU No. 70 Tahun 1950 yang ditandatangani oleh Presiden Negara RIS, yaitu Soekarno. Dengan demikian, NKRI sejatinya adalah bentukan dari Negara RIS. Mak, jelas bahwa NKRI adalah nama baru bagi Negara RIS, yang secara legal standing berdasarkan UU yang derajatnya lebih rendah daripada Perjanjian Internasional (KMB). Apalagi, jika disandingkan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Proklamasi 17/8/1945 dan UUD 1945, 18 Agustus.

Konsekuensinya, meskipun namanya NKRI (1950), namun tetap terikat dengan perjanjian KMB,1949. Dan, tentu saja, sejak orde lama berakhir (1967) dan bermula dari Orde Baru (1968),dibawah Soeharto, maka pihak Belanda (Sekutu, AS) tetap memiliki otoritas politik internasional atas kedaulatan Indonesia, yang senantiasa dibuat sebagai negara-jajahan baru lewat sistem hukum, ekonomi dan politik internasionalnya. Mesti diingat, bahwa keputusan KMB (Konferensi Meja Bundar) adalah penyerahan kedaulatan kepada Negara RIS bukan kepada tetapi Negara RI Yogyakarta.

Jadi, tidak benar bahwa Negara RI mendapatkan mandat menerima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda itu. Itu artinya, berdasarkan hukum internasional, sejatinya kedaulatan wilayah geo-politik Hindia Belanda (Indonesia) belum pernah diberikan kepada bangsa dan rakyat Indonesia melalui Negara RI Proklamasi 17/8/1945.

Paradoks Indonesia Prabowo Soebianto

Bedasarkan buku ‘Paradoks Indonesia’,yang ditulis Prabowo Soebianto (2022) menjadi pembuktian dan pengakuan bahwa kedaulatan geo-politik atas wilayah Indonesia bukan dalam kendali pelaksanaan UUD 1945, 18/8/1945.

Dinamika politik yang terjadi, harus diakui sepanjang 80 tahun (1945-2025), penjajahan baru (new imperialism) oleh pihak asing (Amerika dan Oligarki China), sebuah paradoks yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, termasuk didalamnya adalah umat islam bangsa Indoensia yang masih memegang teguh islam sebagai landasan, dasar, danm ideologi bernegara dan berpemerintahan meskipun belum terwujudkan.

Keterlibatan kuasa AS dan Oligarki terhadap jalannya roda pemerintahan terutama sangat mencolok sejak sepuluh tahun terakhir dibawah kepemimpinan Joko Widodo. Ini bukan lagi rahasia negara, akan tetapi sudah menjadi cerita di warung kopi. Dampak kerusakannya sungguh fantastis.

Indonesia Dipersimpangan Sejarahnya

“Dan barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Maidah: 44)

Di negeri ini, syariat Islam telah disingkirkan secara sistematis, bukan hanya dari undang-undang, tetapi dari kesadaran kolektif umat. Lebih dari sekadar sekularisasi, ini adalah proses delegitimasi Islam sebagai dasar hidup bernegara.

Realitas Konstitusi yang Meninggalkan Islam.Fakta tak terbantahkan: Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan secara resmi membuang Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang menjadi dasar yuridis Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang “dijiwai oleh Piagam Jakarta.” Ini bukan perubahan administratif. Ini adalah penghianatan konstitusional terhadap janji awal berdirinya Republik.

Upaya mengembalikan tujuh kata Piagam Jakarta (“…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) gagal total dalam Sidang MPR tahun 1999–2000. Apa artinya ini?

Negara ini telah menolak syariat secara formal, dan menjadikannya “barang haram” di parlemen. Maka setiap kali muncul Perda Syariah, yang sekadar mengatur moralitas dan kehidupan umat Islam, dibatalkan dengan dalih bertentangan dengan konstitusi. Bahkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun, maknanya telah dikaburkan hingga bertolak belakang dari konsep tauhid dalam Islam.

Jalan Sunnah: Memisahkan Diri dari Sistem Zalim

Pertanyaan besarnya: “Kalau sudah begini, jalan sunnah terbaik itu apa?”Jawabannya: hijrah dan hisbah. Ini bukan retorika. Ini strategi profetik.

Dalam siroh nabawiyyah, Rasulullah Saw., tidak memperjuangkan syariat di dalam parlemen jahiliyyah Quraisy. Tidak pernah sekalipun beliau memohon kompromi pada sistem berhala yang mengatur Makkah. Yang dilakukan Rasul adalah membangun basis spiritual, sosial, dan politik di luar sistem yang rusak.

Islam Bukan Ide Tambahan, Tapi Kompas Kehidupan

Islam bukan sekadar nilai moral. Islam adalah sistem hidup (nizhamul hayat). Ketika ia dikerdilkan menjadi pelengkap budaya atau unsur agama privat, maka yang terjadi adalah detak de-islamisasi dalam sunyi, tapi menghancurkan.

Maka sunnah Rasul bukan menyesuaikan Islam dengan sistem kufur, tapi mengislamkan realitas dengan membangun peradaban baru.

Pilihan Kita Sekarang

Jika syariat dianggap “haram” dalam konstitusi, maka kewajiban kita bukanlah mengecilkan Islam agar bisa masuk, tapi membesarkan umat agar mampu bangkit dan mandiri dari sistem yang menolaknya. Karena yang haram itu bukan syariat, melainkan sistem yang terus menjauhkan manusia dari Allah.

Dan ingat sabda Rasulullah Saw.: “Islam akan terasing kembali sebagaimana ia datang dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing.”
(HR. Muslim)

Maka berbahagialah mereka yang tetap istiqamah di jalan sunnah, meski dianggap asing, meski dimusuhi, dan meski sendirian. Karena merekalah awal dari gelombang kebangkitan.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 − 1 =