Ketika Hukum Menyentuh Tanah Rakyat
Oleh:
Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Terasjabar.co – Langit pagi di pelosok Garut itu tampak cerah. Di halaman balai desa, seorang ibu muda bernama Rahma duduk di kursi kayu sambil menggenggam map lusuh berisi surat gugatan waris. Di wajahnya, ada gelisah yang nyaris tak bisa disembunyikan.
“Bu, saya tak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan kepada seorang lelaki paruh baya berseragam sederhana.
Lelaki itu, Pak Hendra, tersenyum menenangkan. Ia bukan hakim, bukan juga pengacara. Tapi hari itu, ia duduk di kursi Paralegal Pos Bantuan Hukum Desa, tempat masyarakat kecil mencari keadilan tanpa harus membayar.
“Mulai saja dari yang Ibu tahu. Di sini, kita bantu semampunya,” ucapnya lembut.
Sejak Jawa Barat membentuk 5.957 Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di desa dan kelurahan, ruang seperti ini tumbuh di hampir setiap penjuru.
Negeri ini seolah tengah membangun jembatan keadilan yang lebih dekat dengan rakyatnya.
Ketika Hukum Menyentuh Tanah Rakyat
Di dinding balai desa itu, tergantung papan bertuliskan besar: “Keadilan untuk Semua, dari Desa untuk Indonesia.”
Rahma membaca kalimat itu berulang kali. Dalam hatinya, muncul harapan baru, bahwa hukum bukan lagi milik mereka yang berduit, tapi juga bagi rakyat yang hanya punya keyakinan dan kebenaran.
Posbakum menjadi tempat curahan. Di sana, masyarakat menemukan jalan damai tanpa harus bersengketa di meja hijau. Kepala desa menjadi Juru Damai, paralegal menjadi penyambung suara hati rakyat.
Namun, dalam hening ruangan itu, Pak Hendra berkata lirih, “Keadilan bukan hanya soal hukum, Bu. Ia soal nilai. Kalau nilai itu hilang, hukum hanya akan jadi kertas.”
Nilai yang Perlahan Memudar
Malam itu, Rahma pulang dengan hati yang ringan. Tapi di rumah, suaminya, Ridwan, menghela napas panjang sambil menatap televisi yang menayangkan program “Moderasi Beragama di Desa”.
“Katanya, sekarang semua agama harus sama derajatnya. Jangan fanatik,” gumamnya pelan.
Rahma menoleh, “Apa salah kalau kita pegang teguh ajaran kita sendiri?”
Ridwan diam. Ia bukan orang berpendidikan tinggi, tapi ia merasa ada yang ganjil, ada arus pemikiran yang perlahan mengikis keyakinan umat.
“Jangan sampai keadilan dan agama jadi dua hal yang terpisah, Mah,” katanya kemudian.
Di sudut ruangan, radio tua berderak menyiarkan berita: “Program Moderasi Beragama terus digencarkan hingga ke tingkat desa.”
Seolah semuanya harus diseragamkan, antara pikiran, iman, dan nilai.
Di Balik Nama Moderasi
Beberapa hari kemudian, di balai desa yang sama, datang seorang mahasiswa melakukan penelitian. Ia memperkenalkan diri, Safira, aktivis muda dari Bandung.
“Pak, saya sedang meneliti dampak moderasi beragama terhadap masyarakat desa,” ujarnya sopan.
Pak Hendra menatapnya dengan tenang. “Kau percaya itu membawa kebaikan?” tanyanya.
Safira menatap lantai. “Secara teori, iya, Pak. Tapi realitasnya… berbeda.”
Ia lalu bercerita tentang kekhawatirannya. “Program ini tampak damai, tapi kadang justru mengaburkan batas antara kebenaran dan kesesatan,” katanya lirih.
Safira mengutip dari peneliti RAND Corporation dalam buku Building Moderate Muslim Network (Angel Rabasa, 2007), bahwa program ini bertujuan membangun citra Islam yang “lunak” agar selaras dengan nilai Barat.
“Kalau Islam diajarkan hanya separuh, maka akidah pun perlahan luntur,” katanya lagi.
Pak Hendra menarik napas panjang. “Anak muda… keadilan tanpa kebenaran itu rapuh. Keadilan yang sejati lahir dari keyakinan yang utuh.”
Islam, Jalan yang Terang
Hari berganti minggu. Di setiap Posbakum, semakin banyak warga datang bukan hanya mencari keadilan, tapi juga ketenangan batin.
Rahma kembali suatu pagi dan berkata, “Pak, saya sudah damai. Saya berdamai bukan karena kalah, tapi karena saya tahu apa yang benar.”
Pak Hendra tersenyum. “Begitulah Islam mengajarkan dengan tidak memaksa, tapi menuntun.”
Ia lalu membaca ayat yang menjadi sumber kekuatannya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Islam tidak menolak keberagaman. Ia justru mengaturnya dengan penuh kebijaksanaan. Namun, ketika manusia mencoba menukar nilai-nilai wahyu dengan paham buatan tangan mereka, yang lahir hanyalah kekacauan makna.
Kembali ke Akar, Kembali ke Cahaya
Sore itu, Rahma berjalan pulang sambil memandangi langit yang mulai merah jingga. Di belakangnya, papan bertuliskan Pos Bantuan Hukum Desa Suka Jaya tampak memantulkan cahaya matahari terakhir hari itu.
Ia tersenyum, lalu berkata pada anaknya, “Nak, jangan takut miskin kalau kita jujur. Takutlah kalau kita jauh dari kebenaran.”
Di kejauhan, suara azan berkumandang. Keadilan yang dicari Rahma ternyata bukan sekadar tanda tangan di atas kertas tapi ketenangan hati yang tumbuh karena keyakinan.
Keadilan yang Hidup dalam Iman
Posbakum adalah langkah mulia. Ia mendekatkan hukum kepada rakyat. Namun, hukum tanpa ruh Islam akan kehilangan maknanya.
Keadilan sejati bukan lahir dari moderasi, melainkan dari keteguhan pada kebenaran.
Dan kebenaran itu hanya milik Allah Swt. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.”(QS. Al-Baqarah: 208)
Karena sesungguhnya, hukum yang paling adil adalah hukum yang berlandaskan iman, bukan kompromi. Dan cahaya keadilan itu, di negeri yang besar ini, mungkin dimulai dari satu tempat kecil yang disebut balai desa.
Leave a Reply