Muhammad Saw. dan Rekayasa Sosial Tauhid: Antara Tuduhan Subversif dan Revolusi Wahyu

Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik & Penulis Buku “Negara Ummat”)

Terasjabar.co – Dalam lanskap sejarah perjuangan Rasulullah Muhammad Saw., dakwah bukan sekadar seruan spiritual pribadi. Ia adalah proyek besar perubahan kesadaran, rekayasa sosial, dan pembebasan umat dari sistem tirani yang telah melegitimasi penyimpangan tauhid atas nama tradisi. Dakwah bukan sekadar ajakan shalat, tetapi agenda menggugat hegemoni kekuasaan yang memanipulasi agama untuk melanggengkan dominasi sosial dan ekonomi.

Maka tak heran, sejak awal dakwahnya di Mekkah, Muhammad, Saw. dianggap mengganggu stabilitas sosial-politik. Tuduhan demi tuduhan diarahkan padanya: gila, pemecah belah masyarakat, pembawa ajaran baru, bahkan perusak kerukunan. Namun semua itu berakar dari satu sebab: keberaniannya menggugat sistem.

Pengkaderan Tauhid dan Rekayasa Sosial

Di tengah tatanan sosial Mekkah yang oligarkis dan berbasis patronase kabilah, Muhammad, Saw. membangun barisan kader tauhid dari bawah. Para pemuda, budak, dan kalangan miskin menjadi pelopor kesadaran baru: bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh nasab, tetapi takwa dan kebenaran ilahiah. (QS Al-Hujurat: 13)

Muhammad Saw, tak sekadar berdakwah secara lisan, namun membangun halaqah-halaqah perubahan sosial. Di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam, tumbuh generasi pemikir, pejuang, dan pemimpin. Dakwah menjadi revolusi kesadaran, dan perlahan membongkar legitimasi para pemuka Quraisy yang menjadikan agama sebagai alat kekuasaan.

Penawaran Status Quo: Diplomasi Penguasa Quraisy

Merasa posisinya terancam, para pembesar Quraisy mendekati Rasulullah Saw., . Mereka menawarkan kerjasama demi “kerukunan umat”, dengan pendekatan geneologis: bahwa Muhammad berasal dari keturunan Ibrahim, dan Ka’bah adalah simbol tauhid bersama.

Namun Muhammad Saw., yang dibimbing wahyu, menolak kompromi terhadap penyimpangan tauhid. Ia tak mau melanggengkan sistem yang mencampuradukkan tauhid dengan politeisme. Rasul menolak tegas:

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun: 6)

Penolakan ini membakar amarah para penguasa. Muhammad dianggap menolak ajakan damai, dan malah menciptakan “ajaran baru” yang merongrong tradisi, tatanan, bahkan kekuasaan.

Tuduhan Subversif dan Delegitimasi

Penolakan terhadap kompromi membuat Rasulullah, Saw dituduh gila: “Sesungguhnya kawanmu (Muhammad) itu tidak sesat dan tidak pula keliru… dan ia tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”
(QS An-Najm: 2–4)

Tuduhan kegilaan bukan semata olokan. Dalam teori kekuasaan, delegitimasi adalah strategi untuk membunuh pengaruh ideologis lawan. Karena dakwah Muhammad, Saw.,tak bisa dibantah argumennya, maka yang diserang adalah integritas personal dan rasionalitasnya.

Hijrah: Konsolidasi Negara dan Legitimasi Kepemimpinan

Puncak tekanan membawa perintah hijrah. Rasulullah Saw., hijrah ke Yatsrib (Madinah), bukan untuk lari, tapi untuk membangun tatanan sosial baru yang berlandaskan wahyu. Inilah cikal bakal negara Madinah, dipimpin langsung oleh Rasulullah, Saw. Sebuah komunitas yang berdiri atas dasar perjanjian sosial-politik yang inklusif namun berbasis tauhid (Piagam Madinah).

Keberhasilan ini menegaskan: dakwah bukan sekadar ceramah, tetapi manuver sosial dan politik yang berkeadaban. Rasulullah ﷺ menjadi kepala negara bukan karena pengangkatan elite, tapi karena mandat umat dan wahyu.

Ancaman terhadap Kekuasaan Mekkah

Meski Rasulullah Saw., telah sah memimpin di Madinah, penguasa Mekkah tetap merasa terusik. Mengapa?

Karena meski secara geografis Madinah terpisah, efek ideologis dakwah Rasul tak terbendung. Islam tumbuh, berkembang, dan menembus batas-batas politik. Ini dianggap sebagai ancaman terhadap hegemonik Mekkah.

Mereka melihat Muhammad bukan sekadar nabi, tapi penggerak perubahan sosial-politik yang revolusioner. Maka upaya membungkamnya terus dilakukan, hingga akhirnya terjadi futuh Mekkah, di mana kekuasaan Quraisy runtuh tanpa pertumpahan darah, dan tauhid menang dengan strategi yang konsisten, bukan kompromistis.

Refleksi: Jalan Politik Kenabian Bukan Jalan Kompromi

Dalam konteks perjuangan umat Islam hari ini, terutama di Indonesia, sering muncul narasi bahwa jalan kompromi adalah strategi dakwah terbaik. Namun sejarah Rasulullah Saw., membuktikan bahwa kompromi dengan penyimpangan bukan bagian dari strategi kenabian.

Islam bukan anti-dialog, tapi tak pernah mentoleransi penyimpangan akidah dan tirani kekuasaan. Rasul menolak bersatu dalam sistem yang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan.

“Dan katakanlah: kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS Al-Isra: 81)

Perjuangan Negara Ummat adalah Amanat Wahyu

Muhammad Saw. membuktikan bahwa perubahan tidak datang dari kompromi dengan status quo, tapi dari iman yang teguh, kaderisasi ideologis, dan strategi sosial-politik yang berbasis wahyu.

Negara Ummat bukan mimpi utopis. Ia adalah keniscayaan sejarah yang pernah dibangun dan dijaga dengan darah, air mata, dan prinsip yang tak ditawar.

Maka kepada para intelektual dan cendekia, janganlah takut dikatakan “tidak kooperatif” jika yang kita perjuangkan adalah tauhid dan keadilan. Jalan Muhammad adalah jalan lurus yang berisiko, namun diberkahi.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

two + 8 =