Runtuhnya Lereng Gunung Anak Krakatau Ternyata Sudah Diprediksi oleh Para Ilmuwan 6 Tahun Lalu
Terasjabar.co – Tsunami di Selat Sunda yang menelan korban tewas setidaknya 430 orang ternyata sudah diprediksi sebelumnya oleh para ilmuwan.
Januari 2012 silam, ahli gunung api Dr Thomas Giachetti dari Universitas Oregon mempublikasikan hasil simulasi jika Gunung Anak Krakatau runtuh.
Dalam model simulasinya, Dr Thomas Giachetti mengungkapkan potensi bencana dahsyat terkait tsunami di wilayah pantai sekitar Selat Sunda.
Dalam artikel yang berjudul ‘Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia‘, Dr Thomas Giachetti menyebut bagian barat daya Gunung Anak Krakatau adalah bagian yang rentan runtuh.
Dikutip dari volcanodiscovery.com, dalam artikel tersebut dijelaskan bagaimana simulasi yang dilakukan berulang-ulang jika sisi barat daya Gunung Anak Krakatau runtuh akan membentuk tsunami yang merambat ke segala arah.
Gunung Anak Krakatau sendiri merupakan bagian dari kaldera Gunung Krakatau yang meletus dahsyat, 1883 silam.
Gunung Anak Krakatau ini mulai muncul ke permukaan, Mei 1928 dan kemudian terus tumbuh menjadi seperti sekarang.
Sejak kemunculannya ke permukaan, kurang dari 10 tahun, Gunung Anak Krakatau terus membentuh tubuhnya melalui letusan-letusan, terakhir sejak Mei 2018 yang berlanjut sampai sekarang.
Lalu, mengapa Gunung Anak Krakatau sangat rentan runtuh dan menimbulkan tsunami skala besar?
Gunung Anak Krakatau terbentuk di lereng bawah laut yang sangat terjal. Lereng ini adalah lereng dari kaldera Gunung Krakatau yang tertinggal usai letusan 1883.
Konsekuensi dari keberadaan Gunung Anak Krakatau yang ada di bibir jurang disertai arus laut yang kencang, lereng barat daya Gunung Anak Krakatau jadi lebih curam dari sisi timur.

Dr Thomas Giachetti mengamati bahwa lereng barat daya Gunung Anak Krakatau terus tumbuh.
“Longsor di lereng barat daya tak bisa dielakkan. Longsoran akan runtuh dan masuk kaldera 1883 dan akan memicu gelombang tinggi yang menyebar di sepanjang Selat Sunda, kemungkinan mempengaruhi wilayah pantai di sekitarnya,” demikian penjelasan di dalam artikel tersebut.
Model gelombang yang dilepaskan, ketinggiannya berbeda-beda dan modelnya dinilai mirip dengan fakta yang terjadi selama tsunami di Selat Sunda menerjang, Sabtu (22/12/2018) lalu.
Contohnya di Anyer, gelombang yang dihasilkan akan setinggi 1,5 meter dan akan tiba dalam tempo 38 menit.
Sementara itu pulau-pulau yang ada di lingkaran kaldera Gunung Krakatau seperti Pulau Rakata dan Pulau Sertung akan dihantam gelombang tsunami setinggi 15-30 meter.

Letusan Gunung Anak Krakatau, yang kolom abunya bisa setinggi 15 km, yang dibarengi lontaran batuan panas dan magma tak akan terlihat oleh warga di sekitar.
Itu pula yang membuat para penduduk akan kaget dihantam tsunami yang seperti datang tiba-tiba.
Model letusan dan runtuhnya Gunung Anak Krakatau yang akan menimbulkan tsunami ini dibuat Dr Thomas Giachetti tahun 2012 silam atau enam tahun sebelum bencana pekan lalu.
Sejak penelitian tersebut, letusan-letusan yang terjadi memang benar mengarah seperti gambaran yang diungkapkan tim peneliti.

Setelah runtuhnya lereng barat daya, diketahui pula adanya perubahan gaya erupsi Gunung Anak Krakatau karena terungkap ‘leher’ magma dan magma yang langsung bersentuhan dengan air.
Gaya letusan lamanya terlihat jelas seperti ledakan terutama karena gunung itu masih punya kawah.
Sedangkan sekarang, letusannya disertai asap tebal dan ini merupakan hasil dari persinggungan magma dengan air.
Letusan semacam ini disebut sebagai phreatomagmatic explosions atau ledakan freatomagmatik yang berarti ledakan terjadi karena pertemuan magma dengan air. Akibatnya sejumlah besar gas dari magma dan asap tebal terbentuk.
Selain itu, terlontar pula batuan serta abu serta membentuk kolom letusan yang sangat besar.
Awan panas juga bisa dilihat merambat di atas air seperti di Youtube berikut.
Saat ini, aktivitas Gunung Anak Krakatau dikabarkan mulai menurun.
Leave a Reply