ODGJ di Jabar Capai 72 Ribu, Gubernur Didesak Segera Buat Pergub

Terasjabar.co – Para praktisi dan ahli gangguan jiwa dari berbagai organisasi meminta agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera membuat peraturan gubernur (Pergub) terkait penanganan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Pasalnya, sejauh ini tidak ada standar penanganan yang bisa dilakukan.

Ketua Forum Kesehatan Jiwa Jawa Barat Teddy Hidayat mengungkapkan, berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013, sebanyak 72 ribu orang di Jabar yang mengidap gangguan jiwa berat. Dari jumlah tersebut ada sebanyak 1.007 orang dengan gangguan jiwa mengalami pemasungan.

Sayangnya, keberadaan penderita gangguan jiwa ini kurang mendapat pehatian dari pemerintah. Pasalnya, dia melihat, saat ini masih banyak ditemukan orang dengan gangguan jiwa yang hidup menggelandang.

Padahal, di dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahi dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan termasuk gelandangan psikotik (dengan gangguan jiwa).

Selain itu, di dalam UU Nomor 18/2018 tentang kesehatan jiwa pasal 80 menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab melakukan penatalaksanaan terhadap orang dengan gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinyadan atau orang lain, mengganggu ketertiban dan atau keamanan umum.

“Jawa Barat dan Indonesia ini masih banyak pekerjaan rumah yang lebih berat juga. Isu lokalnya kita angkat gelandangan psikotik, pasung itu masalah-masalah sosial yang belum pernah selesai. Sedangkan tadi yang pelanggaran hak asasi itu belum bisa kita atasi,” ucap Teddy, di Bandung Zoo, Kota Bandung, Rabu (10/10/2018).

Teddy melanjutkan, sebagian besar penderita gangguan jiwa merupakan usia produktif. Rata-rata pertama sakitnya itu di usia 14 tahun ke atas. Kemudian kalau berjalan kronis tanpa ada penanganan atau pengobatan bisa sampai tua.

“Jadi gangguan jiwa kerugiannya banyak bukan karena penyakit tapi kehilangan waktu produktif. Terutama cemas dan depresi. Di tahun 2030 itu (gangguan jiwa bisa menjadi) penyakit nomor dua menjadi beban untuk negara,” ucapnya.

Dia juga mengungkapkan, ada kesenjangan cukup besar antara jumlah penderita dengan pelayanan kesehatan yang tersedia. Kondisi itu, sebut dia, menyebabkan banyak penderita gangguan jiwa tidak mendapat penanganan medis yang baik.

“Mereka tidak terdeteksi tidak diobati akhirnya menjadi kronis mengalami kecacatan akhirnya dipasung atau menggelandang,” ujarnya.

Teddy berharap pemerintah bisa menyiapkan sebuah pola penanganan yang baik. Selain itu, masyarakat dan pihak lainnya juga harus didorong agar bisa membantu mengobati penderita gangguan jiwa minimal di wilayahnya.

“Paradigma (penanganan) harus berubah jangan mikirin bikin rumah sakit yang gede, tapi sekarang komunity base (berbasis masyarakat). (Penderita gangguan jiwa) ditangani di tempat yang paling dekat dengan pasien. Ada Puskesmas, ada mitra-mitra di sana, ada pesantren dan lain-lain,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) Kota Bandung Arlisa Wulandari menambahkan, Jawa Barat sebetulnya telah memiliki Perda Nomor 5/2018 Tentang Kesehatan Jiwa. Perda ini baru saja disahkan pada Februari 2018 lalu.

Menurutnya, Perda tersebut bisa menjadi payung hukum dalam menyelesaikan masalah gangguan jiwa di Jawa Barat. Saat ini Pemprov Jabar hanya perlu segera membuat peraturan gubernur yang akan menjadi pedoman pelaksanaan dalam penanganan gangguan jiwa.

“Tapi itu menjadi dasar, dan harus ada Pergub untuk pelaksanaannya (dari Perda). Itu yang saat ini harus didorong, karena dasar aturannya sudah ada,” ucapnya.

Dia juga menambahkan, dengan adanya Pergub pola penanganan penderita gangguna jiwa bisa lebih terarah. Jangan sampai seperti sekarang tidak ada pola yang jelas dalam penangnana orang dengan gangguan jiwa.

“Ketika belum ada aturan yang jelas dia (instansi pemerintah seperti Dinsos) jadi bingung dalam menangani orang dengan gangguan jiwa. Akhirnya kirim ke tempat penampungan bingung mau ditempatkan di mana karena takut ngamuk dan lain-lain akhirnya dibuang (ke jalanan),” ujarnya.

Kondisi itu, tentu berdampak buruk terhadap lingkungan dan juga para penderita gangguan jiwa. Selain tidak terurus juga akan berdampak terhadap kondisi lingkungan.

“Jadi harus ada aturan yang jelas. Pergub harus segera dibuat. Biar ada teknis penanganan termasuk dalam penganggaran (untuk menanganani masalah ini),” ucapnya.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

thirteen + eleven =