Wacana Integrasi Megapolitan Jabodetabek dan Bandung

Terasjabar.co – Penyatuan Metropolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) dengan Bandung memerlukan pembagian fungsi wilayah yang jelas. Kedua wilayah beserta daerah yang termasuk di dalamnya itu dibuat terintegrasi satu sama lainnya dalan satu lembaga khusus.

Pakar perencanaan pembangunan daerah Yayat Supriatna mempertanyakan peran masing-masing pusat wilayah megapolitan tersebut.

“Bandung akan berperan sebagai apa dan Jakarta sebagai apa. Apa fungsi yang bisa diredistribusikan dari Jakarta ke Bandung,” katanya, Kamis (30/8/2018).

Untuk itu, Yayat menyarankan pembentukan dewan megapolitan untuk mengintegrasikan keduanya. Ia menyebutkan sedikitnya lima bidang yang harus diintegrasikan oleh lembaga tersebut yakni sistem transportasi, pembangunan pemukiman, pengelolaan sumber daya alam, pengolahan sampah, air dan sebagainya, hingga pembentukan kelembagaan.

Sistem pengelolaan serupa telah diterapkan di wilayah Jabodetabek, meski masih secara parsial. Seperti halnya di bidang transportasi yang ditangani Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. Yayat menyarankan dewan megapolitan segera dibentuk.

Lembaga terkait diminta lebih menyoroti perencanaan pembangunan infrastruktur transportasi yang lebih efisien.

“Kalau tidak menawarkan efisiensi, penggabungan dua megapolitan itu tidak akan menjadi daya tarik,” kata Yayat.

Daya tarik bagi investor adalah kecepatannya sedangkan bagi masyarakat menengah adalah menghemat biaya. Menurutnya, penggabungan dua megapolitan akan menjadi yang terbesar di dunia.

Sehingga, membutuhkan sarana transportasi berteknologi tinggi untuk memangkas jarak tempuh yang panjang. Seperti jaringan ketera cepat yang bisa menempuh waktu perjalanan 30 menit dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya.

Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan pembangunan jaringan jalan raya tanpa hambatan yang menyambungkan kedua metropolitan, seperti jaringan di Malaysia.

Menurutnya, pemerintah bisa mempertimbangkan pembangunan jaringan tersebut melalui wilayah Sukabumi dan Cianjur sebagai jalur alternatif.

Lebih lanjut, pengintegrasian dua metropolitan itu juga memerlukan sistem perizinan satu pintu untuk memudahkan birokrasi administrasi bagi investor.

“Jadi membangun di Bandung dan Jakarta akan lebih mudah. Integrasi keduanya harus dalam satu kesatuan hukum,” kata Yayat.

Selama ini, Yayat melihat kondisi daerah di sekitar pusat megapolitan masih menanggung beban pertumbuhan investasi. Ia menilai daerah seperti Purwakarta, Karawang dan Bekasi hanya menjadi lokasi pengembangan industri, tapi hasil investasinya mengalir ke Jakarta.

Sebelumnya, Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi menganggap penggabungan dua metropolitan bisa menimbulkan masalah bila tidak direncanakan dengan baik. Salah satunya alih fungsi lahan yang tidak perlu di daerah-daerah antara pusat metropolitan tersebut.

“Sekarang sudah terjadi alih fungsi daerah-daerah pertanian yang subur dikonversi menjadi daerah pemukiman, industri. Lalu juga daerah lindung, daerah resapan air sekarang beralih fungsi,” katanya.

Kondisi itu menurut Ernan, bisa menimbulkan dampak bencana alam. Bencana yang terjadi bersifat anthropogenic seperti banjir, longsor dan penurunan tanah secara tiba-tiba.

Menurut penelitian Ernan, banyak wilayah di Jakarta yang ketinggiannya lebih rendah dari permukaan air laut. Dampak lainnya ialah polusi dari limbah industri.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

17 + ten =