PEMBERONTAKAN HAJI, RESOLUSI JIHAD ANTARA PERAN PETANI DAN SANTRI: Perspektif Politik Historiografi
Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik/Pusat Studi Sunda)
Terasjabar.co – Tahun 1888, dibawah komando para haji, kaum petani Banten melakukan perlawanan terhadap rezim Hindia Belanda. Peristiwa ini sempat mengguncangkan politik Belanda bahkan berdampak kepada stabilitas politik -ekonomi Kerajaan Protestan Belanda.Hampir setara dengan goncangan Pemberontak Diponegoro (1825-1830)
Hal yang mirip berulang di 22 Oktober 1945 Sekutu Inggris masuk lewat Surabaya untuk mengambil alih kekuasaan atas Jepang yang kalah perang sebab wilayah Indonesia adalah rampasan perang mereka yang akan dilanjutkan oleh Belanda kembali sebagai anggota Sekutu pemenang PD II.
Historiografi Indonesia mencatat bahwa kedua peristiwa heroik ini adalah suatu perlawanan massa yang ditunjukkan sebagai subyek aktif yaitu petani dan santri.Hal ini sepertinya hal yang biasa saja padahal dalam perspektif politik historiografi memiliki tujuan dan dampak ke depan ketika publik memberi makna atas kedua peristiwa tersebut. Publik hanya diminta pasif bahwa para petani dan santri lah yang memegang peran penting bukan tokoh dibelakang gerakan perlawanan mereka.
Tentu saja, kepentingan Historiografi Informasi ingin membangun framing bahwa petani dan santri lah yang melakukan perlawanan sehingga pihak Belanda atau sekutu membacanya sebagai kehendak dan perlawanan’ sosial bukan hanya kepentingan elit pemimpinnya semata-mata. Namun, ada hal lainya yang perlu dikritisi bahwa dalam kedua kasus ini memiliki cara pandang yang berbeda.
Bukan Pemberontak Petani (1888)
Sebutan pemberontakan petani sejatinya adalah diksi yang dipakai Aloysius Sartono Kartodirdjo (15 Februari 1921 – 7 Desember 2007) saat memberi.judul disertasinya ttg peristiwa Pemberontak Banten (1888). Disertasinya The Peasants’ Revolt of Banten in 1888 membahas tentang pemberontakan petani Banten tahun 1888 menjadikan ia sebagai lulusan dengan predikat cumlaude dari Universitas Amsterdam pada 1966.
Hal ini sesuaikan dengan pendekatan teori sejarah yang digunakannya adalah sosiologi sejarah. Sartono mengabaikan peran elit Haji yang menjadi lokomotif penggerak peristiwa tersebut. Pada faktanya, justru yang tragis adalah gugur para haji dan banyaknya para haji yang menjadi tokoh dibalik peristiwa itu yg melarikan diri ke Mekkah utk me hindari diri dari kejaran dan pembunuh pihak Belanda. Tokoh-tokoh dalam pemberontakan itu adalah Haji Marjuki, Haji Asnagari, Haji Iskak, Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail Haji Sa’is, Haji Sapiuddin, Haji Madani, Haji Halim, Haji Mahmud, Haji Iskak, Haji Muhammad Arsad, dan Haji Tubagus Kusen
Demi pendekatan akademik,maka Sartono mengangkat peran petani diatas peran para haji. Padahal, jika tidak ada komando dan mobilisasi oleh para haji itu tentulah para petani tidak cukup punya nyali untuk melakukan pemberontakan yang hebat itu. Para haji itu tentulah yang menggelorakan semangat jihad fi Sabilillah melawan Belanda kafir.
Mengapa tidak mengangkat peran haji dalam disertasinya padahal pada faktanya pemberontakan itu lebih merupakan strategi gerakan sosial elit haji sebagai pemimpin kaum petani saat itu.Bukti bahwa tanpa haji, pemberontak dan perlawanan itu lambat laun memudar akhirnya padam.Namun, yang tak berhenti adalah pencarian para haji oleh Belanda bahkan menjadi alasan terbitnya aturan administrasi atas pribumi muslim di Hindia Belanda, jika akan menjalankan ibadah haji.
Pemerintah kolonial Belanda menggunakan rujukan dari tulisan-tulisan C.Snouck Hurgronje, L. W. C. van den Berg, Thomas Stamford Raffles, Pijper, Van den Berg, dan Karel F. Holle. sebagai basis utama dalam menganalisis dasar pemikiran penerbitan regulasi perhajian.
Resolusi Jihad Bukan Gerakan Santri
Hal yang hampir mirip adalah peristiwa perlawanan para ulama dan santri-santri nya setelah ada Resolusi Jihad dari hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH Abbas Buntet (Cirebon). Fakta dokumen yang ada adanya resolusi jihad yang dikeluarkan NU (1945) sejatinya lebih tepat jika yang dipilih sebagai diksinya adalah Hari Resolusi Jihad bukan Hari Santri.
Ini juga adalah sebuah pilihan politik Historiografi Indonesia yang mem-framing kepada pihak Sekutu bahwa perlawanan terhadap mereka adalah kehendak rakyat Indonesia, melalui para santrinya.
Namun ada hal yang menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam perlawanan terhadap Sekutu bukan atas dasar perintah UUD1945 bahwa Presiden berhak menyatakan perang. Mengapa justru Soekarno menyerahkan otoritasnya itu kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari? Dimana sesungguhnya, negara yang seharusnya hadir sesuai dengan konstitusi ’45 itu memimpin di depan atasnama bangsa Indonesia dan rakyat Negara Proklamasi ’45?
Ada beberapa kemungkinan mengapa bukan Soekarno tapi Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari yang ke depan memilih jalan Resolusi Jihad. Pertama, Soekarno tidak cukup kharismatik secara pribadi maupun atasnama UUD 45 utk.menggerakan umat Islam mayoritas melawan Sekutu. Rakyat Indonesia yang muslim saat itu lebih percaya dan taat atas perintah ulama, kiyai dan para haji karena otoritasnya yang berlandaskan Islam dan niat jihad fi Sabilillah dengan jaminan mati syahid. Legitimasi ayat suci Al-Quran lebih tinggi diatas ayat-ayat konstitusi UUD 45. Kedua, Negara RI dengan UUD 45 sudah tidak lagi secara formal berdasarkan pada Syariat Islam, terbukti dengan adanya perdebatan di BPUPK dan berakhir tragis dengan terhapusnya 7 kata dalam Mukadimah UUD 1945, 22 Juni 1945 dan beberapa pasal tentang islam didalam UUD 45, 18/8/1945. Negara RI sudah sejak awal menyatakan sebagai negara sekuler berketuhanan yang maha esa.
Sikap rezim Soekarno yang hanya memanfaatkan ulama untuk kepentingan republik sekuler-nya berulangkali ketika peristiwa Renville yang menyebabkan Panglima Besar Soedirman dan Syekh Hasyim Asy’ari sangatlah kecewa sehingga menyebabkan sakitnya yang berakhir wafat ditahun (1949).
Pola Historiografi ala Soekarno ini diikuti oleh rezim Jokowi yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015. Mengapa? Karena dalam kamus Negara RI , konotasi Jihad sudah kadung di-framing sebagai negative pemberontak, terorisme. Hal ini adalah akibat dari framing Islamphobia sebagai pesanan kebijakan politik Sekutu (AS) bagi negara-negara dibawah kendali mereka. Oleh karena itu, dipilihlah diksi yang lebih netral dan berbasis pada sosiologi sejarah yaitu dengan menggunakan nama Hari Santri Nasional bukan Hari Resolusi Jihad. Pilihah ini sejatinya menguntungkan, bahwa semakin jelas wajah sebenarnya dari konstruksi dan arsitektur Negara RI 18 Agustus 1945, yang saat ini sudah tidak lagi secara murni dan konsekuen, terlebih sejak disahkannya UUD 1945 Amademen 2002.
Leave a Reply