Drama Gas Melon: Sulitnya Menjaga Dapur Tetap Ngebul

Oleh:
Nunung Nurhayati
(Ibu Rumah Tangga, Aktivis Muslimah)

Terasjabar.co – Sejumlah wilayah di Indonesia mulai merasakan gas elpiji 3 kilogram langka di pasaran. Diketahui, per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas elpiji 3 kg.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pengecer yang ingin tetap menjual elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina.

Distribusi elpiji 3 kg ini diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas (LPG) Tertentu Tepat Sasaran (Tribunnews.com, 2/1/2025). Akankah tepat sasaran atau malah menambah permasalah?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa harga LPG 3 kg yang dibeli masyarakat saat ini bukanlah harga yang seharusnya. Pasalnya, barang untuk kebutuhan pokok tersebut disubsidi oleh pemerintah. LPG 3 Kg yang dibeli oleh masyarakat masih dibanderol sebesar Rp 12.750 per tabung. Padahal harga jual LPG 3 kg seharusnya Rp 42.750 per tabung sehingga pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 30.000 per tabung yang dibayarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (CNBC Indonesia, 30/1/2025).

Kendati kebijakan ini bertujuan agar distribusi elpiji subsidi lebih tepat sasaran dan menekan potensi penyimpangan. Sehingga rantai distribusi yang lebih pendek diharapkan bisa membuat harga elpiji 3 kg sesuai dengan ketetapan pemerintah (Tribunnews.com, 2/1/2025) namun pada prakteknya kebijakan ini menerbitkan permasalahan baru ditengah-tengah masyarakat terutama masyarakat di kalangan bawah.

Kebijakan ini tentu menyulitkan rakyat bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan. Hal ini sejalan dengan sifat sistem ekonomi saat ini (ekonomi kapitalisme) yang memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Terbukti dari banyaknya keluhan yang dilayangkan dari berbagai tempat mengenai kelangkaan LPG 3 kg ini berasal dari masyarakat yang kurang mampu.

Perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon bukanlah solusi tepat menyelesaikan permasalah rakyat. Dari segi jarak misalnya, tidak semua pangkalan berada dekat dengan kediaman masyarakat. Terlebih rakyat yang tinggal di pegunungan, medan akan semakin mempersulit perjalanan.

Sementara itu, tidak selalu stok gas habis diwaktu pagi ataupun siang hari. Kehabisan gas bisa terjadi diwaktu petang bahkan ketika malam menjelang. Selain itu, mengenai teknis pembawaan. Nyata tidak semua kalangan masyarakat memiliki kendaraan pribadi. Sehingga diantaranya, akhirnya terpaksa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa jasa angkutan demi bisa membeli gas menuju pangkalan.

Ada pula rakyat yang rela berjalan kaki menempuh jarak ratusan meter dengan menenteng tabung gas yang berat kosongnya saja mencapai 5 kg per tabung. Dari itu, rantai distribusi merupakan suatu hal yang tidak mungkin bisa dihindari. Sehingga menyunat mata rantainya bukanlah solusi yang menyelesaikan duduk akar permasalahannya. Lalu bagaimana solusi tepat akan persoalan gas?

Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum. Hal ini termaktub dalam hadits Rasulullah saw;

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِيَ

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram.” Abu Sa’id berkata: “Yang dimaksud adalah air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah).

Selain itu, Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”

Oleh sebab itu, negaralah yang harus mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan hajat rakyat seluruhnya. Namun dalam sistem ini, meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Negara yang harusnya tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/perusahaan nyata mengaminkan (melakukan).

Sebagai raa’in, negara seharusnya memudahkan rakyat dalam mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas. Namun dalam sistem ini, negara layaknya sedang berjual beli dengan rakyatnya sendiri. Sumber daya alam yang seharusnya mampu dinikmati oleh rakyat, malah mahal dan jauh dari kemudahan dalam sistem kapitalis.

Terlepas dari pernyataan bahwa pemerintah Indonesia telah membatalkan larangan pengecer untuk menjual liquefied petroleum gas (LPG) atau elpiji 3 kilogram per Selasa, 4 Februari 2025 (Tempo.co, 5/2/2025), menampak fakta bahwa begitu sulitnya menjaga dapur tetap “ngebul” dalam sistem saat ini. Cukuplah sabda Rasulullah Saw sebagai peringatan bagi para pembuat kebijakan;

مَنْ ضَارَّ ضَارَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Barang siapa membuat kemudharatan, niscaya Allah timpakan kemudharatan kepadanya. Barang siapa membuat kesulitan, niscaya Allah akan membuat dirinya kesulitan.”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Wallahu’alam bishshowab.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four − 3 =