Saat Banjir Tak Kunjung Berakhir

Oleh:
Sumiati
(Pendidik Generasi)

Terasjabar.co – Mendengar kata banjir, di berbagai wilayah kota Bandung bukan kali pertama diberitakan. Namun, sudah menjadi berita yang hilir mudik terdengar di telinga dan dalam pandangan mata.

Dikutip oleh iNews.id.com, “Hujan yang mengguyur wilayah Bandung malam hingga pagi tadi menyebabkan sejumlah daerah banjir. Di Kabupaten Bandung, sedikitnya empat Kecamatan terendam.

Hujan dengan intensitas tinggi yang melanda wilayah Kabupaten Bandung dan sekitarnya, sejak Selasa (10/09/2024) sore hingga Rabu (11/09/2024) menyebabkan sungai Citarum kembali meluap. Luapan air sungai menyebabkan beberapa ruas jalan di Kabupaten Bandung kebanjiran.

Terjadinya banjir ini sebetulnya banyak faktor, dan faktor utamanya adalah manusia itu sendiri. Dalam hal mereka hidup di atas bumi ini. Ada yang paham tentang hak dan kewajiban, tetapi banyak diantara mereka tidak paham dengan beberapa faktor. Diantaranya perihal sampah.

1. Sejak dini anak-anak tidak ditanamkan oleh orang tuanya, bahwa membuang sampah harus pada tempatnya.

2. Ketika mereka dewasa, hidup di masyarakat, pola pikirnya pun akan sama. Tak akan peduli dengan adanya sampah di sekitar mereka.

3. Kebiasaan buruk masyarakat yang memiliki pola pikir yang pendek, ada sampah di rumah, di depan rumah ada selokan, lempar ke selokan. Yang penting rumahnya bersih.

4. Tidak ada edukasi yang jelas dari penguasa setempat atau pun negara dalam hal pengelolaan sampah. Sehingga masyarakat mencari solusi sendiri untuk membuang sampah.

Sehingga, kondisi ini menjadi banyak perhatian dunia, dan melahirkan celotehan orang-orang yang cukup perhatian di media sosial.

Bahkan, berseliweran meme di media sosial, terkait masyarakat Jabar khususnya, umumnya bangsa kita, ketika melihat lahan kosong, ia akan segera tengok kanan dan kiri kemudian dengan cepat membuang sampah ke tempat itu. Berbeda dengan orang Eropa, ketika melihat ada lahan kosong, ia segera membuat tenda yang bisa ditempati dengan cukup nyaman, karena banyaknya tuna wisma di sana. Sehingga terbangun kesadarannya untuk peduli pada sesama.

Dalam hal ini, cukup signifikan perbedaannya. Bahkan ada yang mengatakan efek dari IQ bangsa kita yang rendah, hingga sulit menjalani hidup sesuai aturan yang semestinya. Padahal sebagai wilayah yang mayoritas penduduknya muslim, harusnya bisa lebih peduli dengan kebers8han lingkungan

Selain sampah, ada lagi yang tak kalah hebat menyumbang kerusakan di Jabar ini.

1. Pembangunan pemukiman, perumahan-perumahan yang terus berjejer dengan variasi harga dan promo. Tidak mempedulikan lagi daya serap terhadap hujan, dari lahan yang semakin berkurang.

2. Pembangunan pabrik-pabrik di Jabar ini menjamur, hal ini pun menyumbang sangat besar dampak banjir, karena lahan kosong terus menyempit.

3. Penggundulan Pegunungan yang berubah fungsi jadi pemukiman, lagi-lagi menyumbang daya serap air berkurang.

4. Sungai yang dibiarkan sempit, karena pinggir sungai masih dimanfaatkan warga.

5. Sungai dibiarkan penuh dengan lumpur, sehingga tak sanggup menampung air yang banyak saat musim penghujan tiba.

6. Negara abai atas keselamatan warganya dari bahaya banjir tersebut.

Berbagai solusi tambal sulan dari penguasa, tak berdampak signifikan untuk menanggulangi banjir. Inilah paradoks sistem kapitalis demokrasi, alih-alih menyelesaikan permasalahan rakyat, justru menambah masalah baru dengan penerapan sistem buatan makhluk.

Sejatinya, banjir adalah hal yang semestinya bisa diantisipasi oleh pemerintah, dengan mengupayakan periayahan dengan maksimal. Memberikan edukasi kepada masyarakat, di mulai dari rumah ke rumah. Anak-anak dibiasakan untuk membuang sampah pada tempatnya.

Membuat tempat sampah yang dipisah antara sampah dapur, plastik dan lainnnya. Sehingga, sampah tersebut bisa dikelola, untuk dimanfaatkan. Apakah untuk pupuk atau daur ulang. Kemudian aktivitas tersebut terus dipantau terstruktur rapi agar terus di jalankan, sehingga tidak ada lagi kasus membuang sampah yang dapat menyebabkan banjir.

Selain itu, pemerintah harus membatasi pembangunan perumahan mau pun pabrik, di lahan penyerapan air hujan, dengan memaksimalkan tempat lain untuk pemukiman dan lahan pekerjaan. Sehingga, ketika curah hujan tinggi, air tak membuat banjir, melainkan terserap oleh tanah, sebagai cadangan ketika kemarau tiba.

Pemerintah juga, harus terus mengarahkan, menanam pepohonan, untuk serapan air hujan. Agar tak ada lagi banjir melanda. Selain menyiapkan sangsi bagi para pelanggar aturan, sangsi yang membuat para pelanggar aturan jera. Dan dipahamkan tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi, karena setiap orang yang melakukan kerusakan, akan mendapatkan sangsi tegas.

Dan semua hal ini tidak bisa terlaksana selama asas yang digunakan di negeri ini adalah sekuler kapitalisme. Karena asas inilah yang justru menjadi sumber permasalahan.

Tata kelola negara akan berjalan dengan baik dan benar bila sistem yabg digunakannya pun benar yaitu aturan yang bersumber dari Dzat yang maha benar. Tidak lain adalah wahyu dan risalah nabi berupa Al-Quran dan Assunah. Niscaya, negeri ini akan menjadi negeri yang diberkahi.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

19 − 2 =