Puluhan Anak di Kota Bandung Alami Kekerasan Psikis hingga Seksual

Terasjabar.co – Sejak Januari hingga Juli 2020, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan masyarakat (DP3APM) Kota Bandung menerima 70 aduan kekerasan terhadap anak. Kekerasan tersebut meliputi kategori psikis, fisik hingga seksual.

Kabid Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak DP3AMP Kota Bandung, Aniek Febriani mengatakan, dari angka tersebut juga terdapat aduan orang tua yang mendapati sang anak terjerumus prostitusi online. Faktor ekonomi menjadi penyebab terbanyak.

“Sejak Januari hingga Juli 2020 ada 70 kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan psikis akibat dampak ekonomi,” ungkap Aniek di Balai Kota Bandung, Selasa (21/7/2020).

Ia mengatakan, untuk kekerasan seksual dan kasus prostitusi online, jumlah keseluruhannya mencapai 30 kasus. Sementara sisanya adalah kekerasan fisik 20 kasus, dan kekerasan psikis 20 kasus.

“Kekerasan seksual ini gabungan protitusi dengan kekerasan dari lingkungan sekitar, jumlahnya sekitar 30 kasus,” terangnya.

Ia mencontohkan, kasus prostitusi yang tercatat adalah ketika sang anak kedapatan memanfaatkan sejumlah fitur atau aplikasi khusus di smartphone yang kerap difungsikan sebagai media prostitusi online. Mereka yang terlibat mayoritas berada di bawah 18 tahun.

“Ada yang mendapat kekerasan seksual dari lingkungan tapi itu jumlahnya sedikit. Dan ada anak di bawah umur yang terjerat prostitusi online. Gadget itu sangat berpengaruh,” ungkapnya.

Ia mengatakan, faktor pemenuhan kebutuhan yang tidak terfasilitasi oleh para orang tua menjadi pendorong anak terjerumus prostitusi online. Terutama di masa pandemi dimana mayoritas kegiatan anak terpusat pada internet.

“Anak tidak ada akses untuk ngobrol dengan orangtua, jadi nyari ke orang lain. Hal itu juga dilakukan untuk memenuhi hal yang tidak bisa dipenuhi keluarganya, seperti hal ekonomi misalnya,” ungkapnya.

Sementara kasus kekerasan psikis, ia mengatakan, juga dapat diakibatkan oleh situasi dimana anak terpaksa mendengar kedua orangtuanya cekcok secara terus menerus. Hal tersebut berdampak terhadap psikologis anak.

“Salah satunya ketika pertengkaran orang tua terus-menerus terjadi, terdengar oleh anak dan secara psikis ia ikut merasakan dampaknya,” ungkapnya.

Oleh karenanya, Aniek mengatakan, orang tua harus dapat berperan sebagai sahabat anak. Terutama di masa pandemi dimana anak memerlukan asistensi orang tua lebih banyak dibanding hari-hari biasa karena tidak adanya waktu bersekolah secara fisik. (Dilansir dari Siberindo.co)

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

15 + twelve =