TAFAQUH FIDDIN: Jalan Perlawanan (Tandhim), Politik Historiografi Umat Islam

Oleh:
Nunu A. Hamijaya

Terasjabara.co – Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka (QS. Al Baqarah : 120).

Di zaman apakah kita, umat islam di seluruh dunia hidup saat ini? Merujuk hadits dari Hudzaifah ra. yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, akan datang suatu zaman, disebut sebagai zaman mulkan jabariyyan,yang artinya penguasa yang memaksa rakyatnya mematuhi segala aturan yang ditetapkan (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi, dan Al-Bazzar).

Demikian pula, saat ini kita berada dalam zaman menjelang kiamat tiba. Menurut hadits dari Abu Hurairah, bahwa kiamat tidak akan terjadi hingga umat islam mengikuti millah kaum Persia dan Romawi (HR Bukhori No7319) atau mengikuti Yahudi dan Nashroni (HR. Muslim no. 2669). Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031.

Menurut Hadits Nabi SAW, bahwa zaman ini adalah era Mulkan Jabariyyah, pasca runtuhnya Khilafah Ustmaniyyah (1924) yang mengakhir era Mulkan adhon.

Kondisi akhir zaman tersebut, sangatlah terbuka terjadinya politik historiografi islam terhadap umat islam di Indonesia maupun dunia. Politik historiografi yang dimaksudkan adalah perilaku kekuasaan dalam mengendalikan sejarah.

Hal ini dilakukan oleh mereka dari kalangan Yahudi dan Nasroni yang tidak suka terhadap Islam dan umat islam yang berpegang teguh pada kitabulloh dan sunah rosul. Maka, salah satu upaya untuk melakukan perlawanan terhadap politik historiografi tersebut, yang disebut dalam al Quran sebagai ‘jalan tafaquh fiddin’.

Apakah jalan ‘tafaquh fiddin’ itu?

Di dalam Al-Quran, secara ekplisit tafaqquh fiddin terdapat dalam QS. At-Taubah [9]: 122.

Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah berpendapat bahwa kata liyatafaqqahu terambil dari kata fiqh, yang berarti pengetahuan yang mendalam akan hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Sedangkan penambahan huruf ta pada frasa liyatafaqqahu mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. (al-Misbah, Vol. 5, Juz 15, hlm. 289)

Tafaquh fiddin : Din dan Dua Wasiat Rosululoh

Tafaquh fiddin sendiri itu bersifat kata kerja bukan sebutan untuk ‘gelar atau sebutan tentang seseorang’,sehingga sebutannya dapat berubah-ubah sesuai konteksnya. Yang pasti, apa yang menjadi obyek tafaquhnya itu adalah tentang DIN. Nah, apakah yang dimaksud dengan DIN itu?

Mengapa penting memahami definisi operasional DIN, karena inilah misi suci dan amanah yang dibawa para nabi, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad SAW. (Lihat QS as Syuro : 13)

Hal ini untuk menghindari dari penyempitan ‘makna dan maksud’ dari DIN, yang hanya menyangkut bidang ‘ubudiyyah’ dan ritual, padahal yang dimaksud dengan kerja fiqh itu menyangkut semua aspek kehidupan manusia : termasuk politik, negara, ekonomi, budaya, dan teknologi.

‘Din’ saja mencakup dimensi personal, sosial, politik, hukum dan kenegaraan. Dalam kamus al-Munjid dapat ditemukan keterangan tentang arti dīn yaitu; dīn sebagai jama’, adyan’, pertama, al-Jaza wal wal-mukafaah, kedua, al-Qadha, ketiga, al-Malik/al-muluk wa ‘s-Sulthan, keempat, at-Tadbir, kelima, al-Hisab.

Prof. Naquib Al-Attas menyatakan, istilah bahasa Arab yang tepat untuk kata ‘religion’ atau ‘agama’ sebagaimana yang dipahami dan dipraktekan di Barat dan Timur adalah millah bukan dīn. Pengertian dīn adalah dayn (hutang), madīnah (kota), dayyān (penguasa, hakim), dan tamaddun (peradaban).

Al-Attas menjelaskan berbagai aspek dari kata kerja dāna, yang berarti “berhutang” yaitu sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika di-tashrīf melahirkan kata dīn, agama, yaitu suatu undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti “hutang” yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan, jika tidak ditunaikan. Bahkan, kecenderungan alami manusia untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah dirujuk sebagai dīn. Yang dalam al Quran secara spesifik disebut fitrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah. Fitrah adalah pola yang mendasari segala sesuatu yang diciptakan Allah.

Makna kedua, menurut Al-Attas, yaitu hubungannya dengan konsepsi kata ‘Madīnah’. Seluruh pemaknaan yang terdapat di dalam kata ‘dāna’ hanya dapat dipraktekan di dalam sebuah masyarakat yang tertata dengan kehidupan perdagangannya dan hubungan masyarakatnya di dalam sebuah kota (madīnah).
Kata bahasa Arab untuk kota adalah ‘mudun’ atau ‘madā’in’ yang merupakan turunan dari kata ‘dāna’. Karena tidak akan pernah ada sebuah masyarakat yang berperadaban tanpa seorang hakim, penguasa, gubernur. Kita menemukan bahwa keberadaaan fisik dan kehidupan yang berperadaban yang berkembang dalam sebuah kota merupakan cerminan secara linguistik berasal dari istilah dāna

Kita harus melihat hakikat bahwa Madīnah disebut dan dinamakan demikian karena disanalah dīn yang benar-benar tegak untuk umat manusia. Di sana orang-orang beriman mengabdikan diri di bawah kekuasaan dan hukum dari Nabi Muhammad, sebagai dayyān-nya; disanalah realisasi hutang kepada Allah SWT mempunyai bentuk yang jelas, dan cara serta metode pembayaran yang disetujui mulai dibuka. Kota Nabi menandakan tempat dimana ‘dīn’ yang sebenarnya diundang-undangkan di bawah kekuasaan dan hukumnya.

Makna ketiga, berkaitan dengan istilah ‘Tamaddun’ berasal dari kata maddana yang berarti peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial.Maka,makna ad din itu merujuk kepada perwujudan sebuah ‘tamaddun Islam’ lebih dari sekedar sebuah Madinah atau negara, tetapi menyangkut skala global, sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin.

Maka, untuk mewujudkan sebuah tanmaddun islam, bukan saja mengharuskan adanya seniah negara Madinah dan otoritas politiknya namun juga termasuk didalamnya keadilan, ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi sebagamana digambarkan dalam sebutan al Quran ‘baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur’.

Dengan demkian, ‘tafaquh fiddin’ adalah kerangka kerja dalam menerjemahkan Islam sebagai DIN dalam penerapan kehidupan umat Islam pada khususnya dan umat manusia umumnya. Salah-satu prinsipnya adalah ‘lakum dinu kum walyadin’ (QS al Kafirun) Masing-masing memiliki sanad dan rel perjuangan menegakkan dan menjalankan din-nya masing -masing ,yaitu antara DIN JAHILIYYAH dan DIN-ISLAM.

Kitabulloh dan Sunnah Rosul

Fokus kedua dari kerja ‘tafaquh fiddin’ adalah memahami dan menerjemahkan dalam kerangka kerja tentang konsep ‘kitabullah’ dan ‘Sunah rosul’, sebagaimana yang disampaikan Imam Malik dalam Kitab Al-Muwaththa’ meriwayatkan hadits sebagai berikut:

“Rasulullah saw bersabda, ‘Aku meninggalkan dua hal di tengah kalian; selama berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya: yaitu kitab Allah dan sunah rasul-Nya,’” (HR Imam Malik).

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dalam Kitab Musnad sebagai berikut: Artinya, “Dari sahabat Abu Said Al-Khudri ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Sungguh, aku meninggalkan dua hal penting di tengah kalian sesuatu yang jika berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Yang satu lebih besar dari yang lain. Pertama, kitab Allah, sebuah tali panjang dari langit ke bumi. kedua, keturunanku ahli baitku. Ketahuilah, keduanya takkan terpisah sampai keduanya melewati telagaku,’” (HR Imam Ahmad).

Kedua imam tersebut yaitu Imam Malik dan Imam Ahmad adalah imam mazhab yang hidup di era terbaik setelah era para Sahabat Nabi SAW, sebagaimana sabdanya: “Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku, kemudian kurun sesudahnya (sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in).” [HR. Al-Bukhori no. 2652 dan Muslim no. 2533].

Jadi, era para Imam mazhab hidup adalah zaman Tabiin. Sementara kita saat ini, hidup di era kekuasaan penguasa dzali (mulkan jabariyyan), pasca runtuhnya Khilafah Ustmaniyyah (1924), yang sangat rentan dengan politik historiografi yang terjadi.

Politik Histiriografi : Menjauhkan dari Sumber Terdekat

Misalnya, kita dijauhkan dari sumber-sumber hadits dari Imam mazhab dan lebih mengutamakan hadits-hadist dari Imam Bukhori. Padahal, Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi) sudah ada 116 tahun sebelum Imam Bukhari lahir.Maka, logikanya hadits-hadits para imam mazhab lebih kuat dari hadits-hadits para Imam Hadits, karena para imam mazhab hidup lebih awal daripada Imam-imam Hadits.

Imam Malik merupakan penyusun Kitab Hadits Al Muwaththo. Dengan jarak hanya 3 level perawi hadits ke Nabi, jelas jauh lebih murni ketimbang Sahih Bukhari yang jaraknya ke Nabi bisa 6-7 level. Begitu pula Imam Ahmad yang menguasai 750.000 hadits lebih dikenal sebagai Ahli Hadits ketimbang Imam Mazhab.

Jelas bahwa Imam Mazhab seperti Imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafii dan imam Ahmad tidak menggunakan hadits shahih Bukhari dan shahih Muslim yang belum ada saat itu.

Dengan demikian, untuk menghindari kesalahan dalam memahami ajaran Islam, kita seharusnya lebih teliti untuk mendahulukan hadits-hadits Nabi SAW atau fatwa yang bersumber dari Imam-imam mazhab daripada Hadits Bukhori-Muslim.

Mengapa bukan Berpegang pada al Quran?

Kita harus membedakan kedudukan antara al Quran dan al hadist dengan Kitabulloh dan Sunah Rosul. Al Quran adalah wahyu Alloh SWT sebagai dokumen otentik sumber pertama rujukan bagi siapapun; namun hanya menjadi ‘kitabulloh’ bagi mereka yang beriman kepada al Quran.

Dengan demikian, Kitabulloh adalah status al Quran yang ditetapkan sebagai hukum syar’i yang berkekuatan hukum wajib. Itulah sebabnya misalnya dalam al Quran yang berkenaan dengan ayat Shaum dan Qital, disebutkan frasa kuncinya ‘KUTIBA alaikum syiam” atau ‘KUTIBA alaikum qital’ yang artinya telah Allah dan Rosululloh ditetapkan sebagai kewajiban hukum yang mengikat kepada mereka yang beriman untuk menjalankan shaum atau melaksanakan wajib jihad.

Dalam faktanya, bahwa yang ramai dilakukan adalah ‘musabqoh tilawatil quran’ (MTQ), bukan fastabikul khoirot menjadikan al Quran sebagai kitabulloh, yaitu ketetapan- ketetapan hukum yang wajib dijalankan dan dilaksanakan. Padahal jelas, sabda Nabi SAW, bahwa tidak akan tersesat umat Muhammad SAW (Islam) jika menjadikan kitabulloh dan ‘sunnah rosululloh’ sebagai kompas dan peta jalan dalam hidup dan kehidupannya.

Otoritas Menjadikan sebagai Kitabulloh

Dalam al Quran, diwahyukan bahwa: Yā ayyuhallażīna āmanū aṭī’ullāha wa aṭī’ur-rasụla wa ulil-amri mingkum, fa in tanāza’tum fī syai`in fa ruddụhu ilallāhi war-rasụli ing kuntum tu`minụna billāhi wal-yaumil-ākhir, żālika khairuw wa aḥsanu ta`wīlā

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
(QS an Nisa : 59)

Wa may yuṭi’illāha war-rasụla fa ulā`ika ma’allażīna an’amallāhu ‘alaihim minan-nabiyyīna waṣ-ṣiddīqīna wasy-syuhadā`i waṣ-ṣāliḥīn, wa ḥasuna ulā`ika rafīqā

Artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS an Nisa : 69).

Ulil Amri minkum itu artinya mereka yang memiliki otoritas memberikan perintah (Amar) diantara orang-orang beriman,jika yang perintahnya itu sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah dan Rosululloh.

Maka, jelas pertama bahwa pihak yang memiliki otoritas menetapkan sebagai KITABULLOH adalah ‘ulil amri minkum’. Kedua, hanya jika perintah itu sesuai dengan hukum Syariah Islam boleh ditaati selain itu yang bertentangan tidak boleh ditaati. Syarat utama ‘ull amri’ itu adalah lembaga/institusi pemerintahan berdasarkan al Quran (Syariat islam) dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosulnya (Muslim).

Kedudukan Rosululloh SAW dalam hal ini sebagaimana diwahyukan dalam al Quran, bahwa sebagai Rosululloh kedudukannya adalah hakim yang memutuskan perkara dari umatnya berdasarkan wahyu.

fa lâ wa rabbika lâ yu’minûna ḫattâ yuḫakkimûka fîmâ syajara bainahum tsumma lâ yajidû fî anfusihim ḫarajam mimmâ qadlaita wa yusallimû taslîmâ.

Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian, tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya.(QS an Nisa :65)

Sunnah ar Rosul : Siroh sebagai Manhaj haraki

Dalam ‘tafaquh fiddin’, setidaknya ada 3 (tiga) obyek ilmu yang sudah lazim dijalankan sebagai kurikulum inti, yaitu : aqidah, fiqh dan akhlak. Namun, seringkali diabaikan bahwa ketiga hal tersebut harus terhubung sebagai suatu mata rantai yang tak terputus sanadnya yaitu dengan pergerakan dakwah Nabi Muhammad SAW bahkan para nabi sebelumnya.

Aspek keempat itu adalah siroh. Sirah Nabawiyah adalah aplikasi operasional dari ajaran Islam kaffah. Didalamnya terdapat waqiah haroqiah sbg Manhaj haraqi yg merupakan framework dari Rosulullah sebagau uswatun Hasanah (33/21).

SIROH ini merupakan mata rantai yang menghubungkan kita dengan Rosulullah bahkan dengan para nabi sebelumnya dan untuk apa mereka diutus yaitu menegakkan DIN dengan syari’ah nya masing masing. Maka, kaitan antara siroh dengan dakwah itu adalah sebagai kesatuan framework (kerangka kerja) sebuah harokah pergerakan islam.

Pola Sunnah Rosul: Iman-Hijrah-Jihad

Maka, kaitan antara menjalankan kitabulloh dan sunnah rosululloh adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan,sebab menerapkan al Quran sebagai kitabulloh itu harus dalam kerangka kerja perjalanan sunnah rosululloh yang didalamnya terdapat pola sunnah dan ‘manhaj harak’i (al-Ghadban, 1984). Yang dimaksud pola sunnah itu mencakup siklus pergerakan risalah Muhammad SAW, yaitu melalui fase iman, hijrah, dan jihad.

Hal ini direkam dalam al Quran berikut ini: alladzîna âmanû wa hâjarû wa jâhadû fî sabîlillâhi bi’amwâlihim wa anfusihim a‘dhamu darajatan ‘indallâh, wa ulâ’ika humul-fâ’izûn. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka lebih agung derajatnya di hadapan Allah. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS At Taubah : 20)

Innallażīna āmanụ wa hājarụ wa jāhadụ bi`amwālihim wa anfusihim fī sabīlillāhi wallażīna āwaw wa naṣarū ulā`ika ba’ḍuhum auliyā`u ba’ḍ, wallażīna āmanụ wa lam yuhājirụ mā lakum miw walāyatihim min syai`in ḥattā yuhājirụ, wa inistanṣarụkum fid-dīni fa ‘alaikumun-naṣru illā ‘alā qaumim bainakum wa bainahum mīṡāq, wallāhu bimā ta’malụna baṣīr (QS Al-Anfal : 72),

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (Al-Anfal : 72).

Dua ayat al Quran tadi landasan rujukan wahyu tentang memberikan teori dan praktek menjalankan kitabulloh dan sunnah rosul yang disebut sebagai fase iman-hijrah-jihad. Maka, mereka yang menjalankan kehidupannya dalam fram-work ini adalah yang akan mendapatkan keselamatan dan kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.

Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,

“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian”.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

twelve + three =