POLITIK HISTORIOGRAFI: Nativisasi dan Islam Nusantara

Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik/Pusat Studi Sunda)

Sejarah membuktikan bahwa kebenaran seringkali tidak populer pada awalnya”

Terasjabar.co – Politik historiografi sudah berlangsung sejak era Kolonial Hindia Belanda. Penulis menyebutnya ada 4 pola, yaitu : (1) cacat logika sejarah; (2) cacat sejarah (3) mitos sejarah (4) penguburan sejarah (burial history); dan berdasarkan tulisan M. Natsir menjadi (5) nativisasi sejarah.

Dalam buku “Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak” (Jakarta-Yogya: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989), tokoh Islam MOHAMMAD NATSIR menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi, dan (3) gerakan nativisasi. Natsir mengingatkan perlunya umat Islam mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisasi, yang biasanya melakukan koalisi dengan kelompok lain yang juga tidak senang pada Islam, seperti gerakan misionaris Kristen atau gerakan sekularisasi.

Politik historografi dilakukan penguasa Hindia Belanda, atas masukan para orientalisnya. Misalnya, upaya untuk membangun citra bahwa Indonesia mengalami zaman kejayaan saat berada di zaman pra-Islam. T. CEYLER YOUNG, seorang orientalis membuat pengakuan: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut”. (Muhammad Quthb, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).

C. C. BERG melalui tulisan-tulisannya telah m engungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit (Depok: Komunitas Bambu, 2009).

Sebagaimana dalam kurikukum sejarah nasional di sekolah, diajarkan bahwa Indonesia pernah jaya di bawah Kerajaan Majapahit. Lalu, datanglah kerajaan Islam, bernama Kerajaan Demak, menghancurkan kejayaan Hindu tersebut. Jadi, seolah-olah hendak ditanamkan pada para siswa, bahwa kedatangan Islam tidak membangun kejayaan Indonesia, tetapi justru menghancurkan kejayaannya. Islam tidak pernah menjadi pemersatu bangsa. Majapahit lah yang menyatukan Indonesia. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang kuat, Majapahit pernah menyatukan seluruh wilayah Nusantara.

Mengutip pengakuan ALB C KRUYT (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, DR. AQIB SUMINTO mencatat: “Bagaimanapun Islam harus dihadapi karena semua yang menguntungkan Islam di kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda”. (Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985:26).

Nativisme dan Islam Nusantara

Tantangan nativisasi tampak sangat marak akhir-akhir ini di Indonesia. Tak jarang, berlindung di balik perlindungan “kearifan lokal” (local wisdom), berbagai aksi budaya lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam sengaja dibangkitkan kembali. Bahkan, salam-salam lokal disebarluaskan dan dibudayakan. Seolah-olah, dengan ucapan “Assalaamu’alaikum warahmatullahi wa-barakaatuh” saja, tak memadai untuk menjadi manusia Indonesia yang baik.

Kenangan yang nativistik, pendiktean agama di bawah nama kebudayaan, dan penghidupan kembali semangat Hinduisme merupakan rekonstruksi kaum kolonial. Sayangnya, rekonstruksi penjajah ini bukan bertujuan untuk sekadar mengembangkan kebudayaan bangsa.

Banyaknya kasus menunjukkan bahwa agenda-agenda kebudayaan kolonial justru dimaksudkan untuk menggeser peran dan unsur Islam dalam kebudayaan.Kebudayaan nativistik dan tersekularisasinya sebagian kalangan priayi adalah proses penting pada abad ke-19. Berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) menyebabkan Belanda harus memilih sekutu tradisionalnya untuk menjinakkan pengaruh Islam politis yang terus mengancam keberadaan penjajah.

Salah satunya adalah melalui proses “nativisasi”. Yakni, usaha untuk mengecilkan peran Islam, dengan cara membangkitkan budaya zaman pra-Islam. Pada saat yang sama, Islam ditempatkan seolah-seolah sebagai “barang asing” bagi bangsa Indonesia.

Nativisasi secara garis besar merujuk pada agenda pengembalian masyarakat kepada agama aslinya dan meninggalkan agama Islam yang dianggap sebagai agama pendatang. Wacana adanya agama lokal atau agama asli itu muncul dari kolonial Belanda. Mereka menarasikan bahwa agama asli Indonesia adalah Hindu dan Budha.

Istilah nativisasi berasal dari kata native, yaitu asli. Nativisasi adalah usaha untuk mengembalikan Nusantara kepada “budaya asli”. Istilah “budaya asli” itu sebenarnya problematis, karena budaya sendiri bersifat temporal, jadi sulit mendefinisikan apa itu budaya asli. Inilah problem pertama nativisasi. Problem kedua, celakanya nativisasi ini merujuk kepada zaman pra-Islam. Hal ini menyebabkan terjadinya deislamisasi Nusantara. Padahal, masyarakat Nusantara telah terislamisasi.

Borobudur sebagai Icon Wajah Masa lalu Indonesia

Mengapa kenapa Candi Borobudur bisa jadi ikon di Indonesia? Hal tersebut tidak lepas dari peran orientalis dalam penyimpangan sejarah di Indonesia. Ada WILLIAM MARSDEN dengan bukunya History of Sumatera, yang menyatakan bahwa adat asli Sumatera bertentangan dengan Islam. Ada juga Sir THOMAS STAMFORD RAFFLES dengan bukunya History of Java, yang menyatakan bahwa orang Jawa hanya menjalankan Islam pada ‘kulit luar’nya saja. Terakhir, ada SNOUCK HURGRONJE dengan bukunya History of Nusantara, yang menyatakan bahwa orang Indonesia tidak suka protes (apalagi perang), kecuali jika diprovokasi oleh mereka yang baru kembali dari Mekkah dan Wahabi. Disinilah, selain orang Barat menjajah Nusantara dengan kekerasan, usaha intelektual juga dilakukan.

Islam Nusantara atau Islam di Nusantara

Dalam dua dekade, Istilah Islam Nusantara menjadi gerekan utama kalangan tradisional (NU) yang didukung oleh Kementerian Agama. Adalah Prof. Martin van Bruinessen, anthropologist Belanda yang menjadi pemantik awal dikenalkannya istilah ‘islam nusantara’. Menurutnya ada dua aspek pengertian Islam Nusantara menurut Martin, yakni Islam Nusantara sebagai kenyataan di masa lalu dan Islam Nusantara sebagai cita-cita.

Pada dasarnya, terbentuknya habitus ‘Islam Nusantara’, jika mengutip tesis Edward W. Said, melalui empat tahapan yang dilalui ketika sebuah gagasan mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lain: pertama adalah a point of origin atau lokasi asal di mana seperangkat gagasan tercetus, dielaborasi, dan dikontestasikan dalam ruang wacana di tempat asal; kedua tahap distance transversed yang terjadi saat sebuah ide mengalami perjalanan dari satu tempat ke ruang dan waktu yang berbeda; ketiga tahap encounter stage yang terjadi ketika gagasan tersebut bertemu dengan gagasan atau ideologi lain serta dikontestasikan dalam sebuah ruang wacana yang bisa berujung pada sikap penerimaan, penolakan, modifikasi, dan adaptasi; dan yang keempat adalah tahap “transformasi” di mana gagasan tersebut menjelma menjadi sebuah entitas baru yang diterima oleh pihak penerima.

Dalam hal ini, Prof. Martin menerangkan bahwa Islam dan implementasinya berlangsung di kawasan Nusantara sebagai akibat perpaduan antara agama dan budaya lokal, sehingga memiliki kandungan nuansa kearifan lokal (local wisdom).

Islam Puritan atau Islam Tradisi/Sinkretisme

“Dalam banyak hal, Islam merupakan nasionalisme di Indonesia dan jika seandainya tidak ada faktor Islam di sini, sudah lama nasionalisme yang sebenar-benarnya (tulen) hilang lenyap.” (Doeuwes Dekker alias D. Setiabudhi)

Maka,bukan Islam Nusantara sinkretisme/Hindu-Budha yang membentuk nasionalisme Indonesia di awal abad XIX, hingga mencapai fase proklamasi bangsa Indonesia (1925, 1928, 1945) dan proklamasi umat islam bangsa Indonesia (NII, 1949), akan tetapi islam puritan yang jauh dari tradisi lokal yang merupaan sinkretisme Hindu-Budha-Jawaisme. Namun, lagi-lagi orientalis antropolog Prof. Martin memantik istilah baru ‘Islam Nusanatara’ yang substansinya bentuk dari nativisme islam ke dalam jantung islam itu sendiri yaitu dari komunitas muslim tradisional .

Berbeda dengan Michael Laffan, profesor sejarah dari Universitas Princeton ini mendedahkan secara eksplisit bahwa ‘Islam (di) Nusantara’ memiliki akar-akar sejarah yang menghunjam jauh ke masa silam.

MICHAEL LAFFAN percaya bahwa kesuksesan Islam menapak bumi Nusantara sangat ditentukan oleh peran penting ordo-ordo sufi yang memiliki reputasi baik sejak awal kedatangannya. Aharan-ajaran tarekat yang membawa prinsip JIHAD-lah yang membawa wajah Islam Nusantara mampu melakukan perlawanan terhadap kolonialismse bukan Islam Nusantara yang dimaksudkan oleh Martenn dan dicopy paste dengan tafsiran ‘pribimusasi islam’ ala Gus Dur dan Said Aqil Siroj menjadi dokotrin di kalangan Ahlus Sunnah wal jamaah NU.

Padahal, Istilah Nusantara digunakan dalam puisi keraton tahun 1365 Nāgarakṛtāgama oleh Mpu Prapanca dari Majapahit Jawa Timur, serta menjadi narasi sumpah Gajah Mada pada kampanye penaklukan di Pararaton (Kitab Raja-Raja). Dalam sumber-sumber Jawa ini, istilah itu merujuk pada pulau-pulau di luar Jawa dan Semenanjung Malaya yang diklaim oleh Majapahit.Sebelum munculnya istilah Nusantara, prasasti Jawa Kuno menyebut wilayah nusantara sebagai ‘para dwipa’, atau dwipantara yang membedakan banyak pulau dari ‘para mandala’ atau banyak lokasi yang berada di luar wilayah nusantara.

Adanya penggunaan istilah Islam Nusantaras sebagai local genius-nya Islam habi tus Nusantara menjadi bias ketika menjadi suatu tradisi yang dianggap/diklaim berasal dari Islam padahal bukan terutama dalam kaitannya dengan ranah ‘ubudiyyah’. Misalnya, tentan tradisi TAHLILAN di kalangana Nahdiyyin.

Tahlilan di Nusantara: Sebuah Nativisme

IMAM SYAFI’I rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata, “…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat.” [al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279].

Tapi ketika Islam datang ke tanah Jawa, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masyarakat begitu berat untuk menerima islam. Mau masuk Islam tapi merasa merasa berat karena harus kehilangan adat istiadat seperti selamatan-selamatan, dll. Hal ini mirip beratnya masyarakat Romawi ketika disuruh masuk Nasrani tapi tidak mau kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember, yang mana sampe sekarang ritual Natal masih dipertahankan Nasrani padahal ia bukan ajaran Nabi Isa.

Sunan Kalijogo: Tradisi Lokal dalam Ubudiyah Islam

Dikutip dalam sebuah naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan ritual selamatan tersebut:

Sunan Ampel berkata, “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”

Sunan Kalijogo menjawab, “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu.

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo (karya tulis H. Lawrens Rasyidi; Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dijelaskan bahwa Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Muria (kaum yang mempertahankan tradisi) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum yang berusaha menyebarkan Islam yang murni)

Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang, dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”

Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (Lihat hal 41, 64)

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.

Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga masih menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan [selamatan kematian], upacara tujuh bulanan, dan lain-lain.

Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit.

Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga yang sedemikian rupa, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).

Gerakan ‘Islam Nusantara’ bergerak ke arah sinkretisme Hindu-Bunda-Jawaisme menjadi gerakan nativisme yang terus berkembang seperti bola salju. Berhadapan dengan ‘islam puritan’, yang sering diklaim sebagai islam fundamentalis dan teroris berasal dari Timur tengah, asalnya Islam itu sendiri. Dalam faktanya, Gerakan ini melemahkan sendi-sendi aqidah islam sehingga mendudukkan status Islam sebagai ‘hasil budaya’ atau mengutip rumusan Ir. Soekarno “Ketuhanan yang Berkebuyaan” (Dalam Pidato 1 Juni 1945). Proses ‘Islam Nusantara’ kemudian menjadi pemikiran berprinsip ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ dalam jantung umat islam di Indonesia. Sebuah gerakan senyap, namun mematikan dalam jangka panjang.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 × 3 =