POLITIK HISTORIOGRAFI: Antara Tarekat (Sufisme) Jihad dan Jihadis
Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik)
Terasjabar.co – Mendengar kata “torekat” (sufisme) biasanya publik sedikit mengerungkan keningnya. Sesuatu yang jauh dari hiruk pikuk dunia, apalagi politik dan ekonomi. Torekat hanya ada di pojok sudut keheningan manusia-manusia yang tengah menangis dengan dzikir-dzikir khasnya yang kadang pelan kadang juga bergemuruh keras. Kadang juga ter-framing, bahwa tarekat itu malah mirip dengan ilmu kebatinan dan cenayang (perdukunan/peramal) versi islam. Yang tergambar adalah sejumlah karomah para wali-nya yang bisa terbang, menghilang dan tidak mempan dengan senjata dan senapan. Pengalaman “terjaga” bertemu dengan Rasullah SAW adalah cerita-cerita yang terdengar dari kalangan pengikut torekat.
Kajian Sufisme di Barat dan Awal Masuk Ke Dunia Barat
Orientalis Barat pertama yang secara mendalam dan berpengaruh dalam studi Sufisme adalah Louis Massignon, (Perancis) yang terkenal dengan karyanya tentang al-Hallaj dan Sufisme pada awal abad ke-20. Melalui penelitiannya, ia memberikan kontribusi besar dalam pemahaman orientalis Barat terhadap tasawuf Islam dan menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.
Namun, ternyata di awal abad XX, justru Sufisme islam mula masuk ke negara-negara Barat. Dalam buku berjudul “Sufi-Sufi Diaspora: Fenomena Sufisme di Negara-Negara Barat” karya Jamal Malik & John Hinnels (ed) Penerbit: Mizan, 2015 cukup memberikan informasi yang menarik. Sufisme memiliki model artikulasi yang beragam dan bersifat altenatif, serta pembentukan visinya tentang Islam yang kaya dalam khazanah spiritualitas dan budaya, menjadikan sufisme menarik perhatian orang-orang Barat.
Gelombang sufisme Dalam catatan Gisela Webb, sufisme masuk di dunia Barat dalam tiga tahapan: pertama, dimulai pada 1920-an yang didasarkan pada pengetahuan oriental. Gelombang ini, membawa kaum sufi ke Amerika Serikat dalam rangka membawa ajaran mereka ke belahan dunia yang dapat diduga hampir tidak ada spiritualitas apapun. Gelombang kedua, berlangsung sepanjang 1960-an dan 1970-an, dan ditandai dengan kebangkitan-kebangkitan warisan muslim yang hilang dan pencarian spiritualitas di kalangan orang Amerika. Sedangkan, gelombang ketiga, ditandai dengan kehadiran Bawa Muhaiyadden Fellowship yang dimulai pada 1970an di Philadelphia, yang memfokuskan diri pada spiritualitas universal (hal. 36).
Marcia Hermansen membagi gerakan sufi di Barat menjadi tiga tipe: gerakan hibrida, perenial dan cangkokan. Tipe hibrida, adalah gerakan yang menunjukkan kaitan erat dengan sumber muatan Islam, yang menempel dalam kerangka non-Islam. Gerakan ini, menarik minat kalangan imigran, orang-orang yang terlahir di Barat ataupun yang tersosialisasi di lingkungan baru. Tipe perenial, umumnya mewakili kelompok yang dekat dengan ide bahwa kebenaaran merupakan dasar semua agama (hal. 32).
Buku ini, memberi sumbangan yang berharga karena menghadirkan narasi sufisme yang berbeda dengan arus mainstream di dunia Islam. Perkembangan sufisme di negeri Barat, tidak hanya tentang hadirnya Islam, akan tetapi lebih dari itu sebagai sebuah transformasi identitas. Sufisme dengan demikian, menjadi simbol toleransi dan humanisme, karena tidak dogmatis, fleksibel dan anti-kekerasan, tidak berupaya ke arah pembentukan suatu tatanan ketuhanan yang monolitik. Sufisme dianggap sebagai titik awal untuk adaptasi Islam, terutama dalam konteks praktik Islam versi Eropa serta bagi perjumpaan antar agama.
Tarekat Tijaniyah dan Politik
Perlu diketahui, dan ini merupakan fakta sejarah, bahwa di Afrika Utara, Sudan pada tahun 1943 muncul gerakan sufi terkenal, yaitu sekte Ashiqqa dan Marabaouts (al-Murabbithun), yang mempunyai peranan besar dalam percaturan politik melawan penjajahan. Kaum sufi pun bisa bertingkah laku berang dan berperan sebagai reformis dan top leader (Donald E. Smith, Religion and Political Development: 135-137). Pada masa dinasti Saljuk sufisme juga berfungsi sebagai gerakan protes terhadap tirani kekuasaan. Mereka mengecam ulama yang terikat intim dengan penguasa (yang oleh al-Ghazali disebut sebagai ulama’ su’). Sufisme juga menolak pandangan aristokratis (Kamaluddin Hilmi, 1975:202).
Tarekat Tijaniyah termasuk yang reformis dan neo-Sufisme; mempunyai sanad sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Anggota-anggotanya menyebutnya At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, merujuk langsung kepada nama Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Nama Tijani sendiri berasal dari nama sebuah suku asli (etnik) di ‘Ayn Madi yang terletak di Algeria Selatan.Sedangkan, Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani merupakan tokoh sentral bagi lahirnya Tarekat Tijaniyah yang lahir pada tahun 1150 H di ‘Ayn Madi, sebuah desa yang berada di Maghrib al-Aqso (Maroqo).
Pada awal penyebarannya di Aljazair, Tarekat Tijaniyah memperlihatkan sikap damai terhadap pemerintah kolonial Prancis, tetapi di Maroko, ia telah melancarkan perlawanan yang gigih terhadap dominasi asing.Di Turki, sebuah kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah merupakan kelompok Muslim pertama yang secara terbuka menentang rezim sekulerisme sekitar tahun 1950.
Sementara di Senegal, para pengikut Tarekat Tijaniyah memberikan andil besar dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah tersebut. Ajaran Tarekat Tijaniyah dibawa ke Senegal oleh El Hadji Omar Tall pada abad ke-19 M. Islam masuk ke Senegal sebelum abad ke-11 M, dan terus berkembang setelah kerajaan Tukulor (kerajaan kecil di Senegal) menerima Islam sebagai agama resmi negara. Mereka diislamkan oleh para pengikut Tarekat Tijaniyah.
Selama abad ke-18, Prancis mulai menancapkan kaki kolonialnya di Senegal. Muslim Senegal mengambil berbagai sikap terhadap hal tersebut. Khususnya di pedesaan, orang-orang Senegal bergabung dengan persaudaraan sufi untuk bersatu melawan penjajahan. Popularitas persaudaraan Tijaniyyah menandai pergerakan ini. Islam menjadi titik kumpul perlawanan Afrika terhadap Prancis. El Hadj Umar Tall pertama kali menyebarluaskan tarekat Tijaniyah di Afrika Barat setelah ia bergabung dengan tarekat tersebut ketika berhaji. Bagi masyarakat Senegal, dia adalah pemimpin ulama yang paling terkemuka.
Tijaniyah di Hindia Belanda
Sebelum Tijaniah hadir di Hindia Belanda awal Abad ke-20, yang paling ditakuti Belanda, adalah Tarekat Qadariyah dan tarekat Naksyabandiah. Beberapa pemberontakan besar, seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Kiyai Maja.Di belakang tokoh utama tersebut ada guru mursyid tarekat. Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan yang dimotori tarekat memang sangat beralasan. Sebab, begitu banyak perlawanan dan gerakan menentang penjajahan yang dipimpin tokoh tarekat atau pengikut tarekat tertentu. ‘’Karena itulah, tarekat mendapatkan pengawasan khusus dari Belanda.’’
Tarekat Jihad adalah sebutan baru untuk konteks Indonesia, sebab tarekat Tijaniah mendukung jihad Islam, yaitu seruan FATWA (RESOLUSI) JIHAD,-nya Hadratus Syeikh Hasyim Ashari, yang sebelumnya meminta pendapat KH Abbas (Buntet, Cirebon) salah-satu dari 7 moqodam (pembantu resmi) Tijaniyah berkenaan dengan pertempuran Surabaya.
Bukan itu saja, Di Tahun 20-an, Tijaniyah juga dianut oleh O.S. TJOKROAMINOTO, melalui Syeikh K.H.Usman Damiri (Cimahi); salah satu dari 7 muqodam juga. Murid dan sekretaris Tjokroaminoto, yaitu S.M. KARTOSUWIRJO pun adalah penganut Tijaniyah melalui Syeikhuna Iming Bunyamin, Kakak Syaihuna KH BADRUZAMAN (Garut). Saat keduanya memimpin laskar Hizbulloh-Sabilillah di Priangan Timur (1946-1947). Pasca Renville (1948), melalui Kongres Tjisajong (11-12 Februari), kedua organisasi lasjkar itu dibubarkan dan berganti nama menjadi TII (Tentara Islam Indonesia). Banyak laskarnya adalah murid atau penganut Tijaniyah, pimpinan Syeikuna Badruzaman. Mereka pengamalkan khalwat dan hijrah.
Di Kaum, Cianjur ada KHR Muhammad Nuh bin Idris, ayahanda KHR Abdullah Bin Nuh (Cianjur, Bogor). Beliau pendiri Madrasah al I’anah (1912-1966) yang mendapat pengajaran Tijanayah langsung dari Syeih Ali at Thoyyib, saat mengajar di Madrasah al Muawwanah. Syeikh Ali at Thoyyib adalah pembawa at- Tijaniyah pertama ke Hindia Belanda. Beliau berasal dari Madinah. Beliau yang memba’iat KH Usman Dhomiri (Cimahi), KH Abbas (Buntet, Cirebon), KH Badruzaman, (Garut). Mereka menjadi muqqodah Tijaniyyah angkatan pertama.
JIHAD bukan Jihadis dan bukan Radikalisme!
Istilah JIHAD, terdapat dalam khazanah istilah Islam, 1400 tahun yang lalu. Namun, berbeda dengan sebutan JIHADIS, yang saat ini disematkan kepada sekelompok penganut islam fanatik yang melakukan aksi-aksi terorisme di seluruh dunia.
Mahfud MD, mantan Menkopolkam RI membuat istilah baru tentang tiga tingkatan radikalisme, yaitu (1) jihadis, (2) takfiri, dan (3) radikalisme ideologi.
JIHADIS adalah paling ekstrim yang meyakini melakukan pembunuhan kepada orang lain yang tidak sepaham, atau bahkan membunuh orang dan kelompok tertentu yang dianggap menghalang-halangi terwujudnya paham mereka. Mahfud mencontohkan gerakan yang dilakukan ISIS dan beberapa kelompok terorisme lainnya di Indonesia. Mereka menyerang pihak yang dipandang menghalangi tujuan,termasuk aparat keamanan, seperti polisi atau tentara. misalnya .
Sedangkan TAKFIRI adalah paham yang menganggap paham lain, walaupun satu agama, adalah paham yang sesat, kafir, yang tidak saja harus dijauhi tetapi harus dimusuhi. Yang terakhir, RADIKALISME IDEOLOGIS. Mereka memiliki paham tertentu yang dianggap paling benar dan menyalahkan paham yang dianut orang lain, bahkan paham nasional seperti PANCASILA pun disebut sesat.
Leave a Reply