Two-State Solution, Diplomasi Moderat atau Merugikan Palestina?
Oleh:
Suci Arumsari Hidayat
(Ibu Rumah Tangga)
Terasjabar.co – Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada Sidang Umum PBB ke-80 menyuarakan dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara sebagai jalan penyelesaian konflik Israel dengan Palestina (Tribunnews, 3/10/2025).
Pernyataan ini memicu reaksi beragam, dari apresiasi sebagai sikap diplomatis Indonesia hingga kritik tajam dari banyak pihak yang menilai langkah tersebut justru melanggengkan ketidakadilan terhadap rakyat Palestina.
Pihak pendukung berargumen bahwa two-state solution sudah lama menjadi konsensus global. PBB sendiri berkali-kali menegaskan bahwa penyelesaian permanen konflik hanya bisa tercapai melalui pembentukan dua negara. Dari sudut pandang diplomasi internasional, dukungan Indonesia dipandang sebagai sikap moderat yang selaras dengan forum dunia.
Namun, bagi banyak aktivis, ulama, dan rakyat Palestina sendiri, pernyataan itu menimbulkan kekecewaan. Two-state solution dianggap sebagai kompromi yang justru melegitimasi keberadaan Israel di atas tanah rampasan, tanpa memberikan jaminan pengembalian penuh hak rakyat Palestina.
Sejarah mencatat, berbagai perundingan sebelumnya yang mengusung model serupa berakhir pincang: hak pengungsi diabaikan, permukiman ilegal Yahudi tetap berdiri, dan kedaulatan Palestina hanya sebatas di atas kertas. Maka, tidak heran jika banyak umat Islam menolak solusi ini, karena dipandang tidak menyentuh akar kezaliman yang dialami bangsa Palestina selama puluhan tahun.
Two-state solution ala Prabowo bukanlah jawaban akhir yang adil. Ia lebih terlihat sebagai kompromi politis daripada perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan hakikat kemerdekaan Palestina.
Pandangan Islam
Dalam Islam, membiarkan kezaliman berarti turut berkontribusi dalam dosa. Allah SWT berfirman: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan-perempuan maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim” (QS. An-Nisa [4]: 75).
Ayat ini menegaskan kewajiban kaum muslimin untuk membela orang-orang yang tertindas. Diam dan tidak peduli sama saja dengan membiarkan kezhaliman terus berlangsung.
Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim)
Genosida dan penjajahan Israel atas Palestina adalah bentuk kemungkaran nyata. Maka, umat Islam tidak boleh tinggal diam. Jika kita tidak bisa berperang secara fisik, kita masih bisa bersuara, berdonasi, berdoa, menekan secara politik, dan mengedukasi umat agar tidak melupakan perjuangan Palestina.
Maka jelas, dari perspektif Islam, two-state solution yang berujung pada kompromi ketidakadilan bukanlah jawaban. Kewajiban umat Islam adalah memperjuangkan pembebasan penuh Palestina, menolak kezhaliman, dan berdiri teguh bersama saudara-saudara kita di bumi para nabi itu.
Solusi nyata yang ditawarkan Islam bukanlah perundingan damai yang semu, melainkan tegaknya kembali kekuatan umat yang mampu melindungi darah dan kehormatan kaum Muslim. Sejarah menunjukkan, hanya ketika umat Islam bersatu di bawah satu kepemimpinan yang adil, penjajahan dapat dihapuskan dan kedamaian sejati bisa terwujud.
Tanpa itu, solusi apapun hanya akan melanggengkan dominasi Israel dan sekutunya. Maka, perjuangan membebaskan Palestina adalah bagian dari jihad yang diperintahkan Allah SWT, sebuah kewajiban kolektif yang tidak boleh ditawar-tawar.
Wallahua’lam bissawab
Leave a Reply