Kekuasaan yang Dikuasakan, Rekayasa Ulang Oligarki
Oleh:
Sadikun Citrarusmana
(Dosen FEB Universitas Pasundan)
Terasjabar.co – Presiden terpilih Prabowo Subianto sempat menggagas pembentukan Presidential Club. Menurut kalangan istana, tujuan pembentukan forum ini adalah untuk mempersatukan pandangan para mantan presiden Republik Indonesia yang masih hidup, yaitu Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.
Setelah pelantikan presiden 20 Oktober 2024, isyu itu mulai senyap. Saat mendekati Pilkada serentak 27 Nopember 2024 para mantan tersebut tiba-tiba menjadi sibuk melakukan cawe-cawe di pemilihan kepala daerah (Pilkada). Hasilnya sudah diumumkan. Di beberapa daerah cawe-cawe para mantan menghasilkan kemenengan paslon yang diendorsenya. Seperti yang biasa terjadi, sebuah konstetasi politik selalu berdampak pada munculnya residu ketidak-sukaan bagi yang kalah, dan eforia kesenangan bagi yang menang.
Endorse yang terasa maknyos adalah dukungan mantan presiden Jokowi dan presiden terpilih Pilpres 2024 Prabowo Subianto. Daerah kritis Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara diraih poros Jokowi – Prabowo. Hanya provinsi Jakarta yang pemenangnya diraih paslon dukungan Megawati Seokarno Putri. Itu pun karena endorse mantan Gubernur Anis Baswedan (Anak Abah) dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahokers). Jejak cawean Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) nyaris tak terlihat di pilkada karena Partai Demokrat lebih fokus pada Pilpres, dan sudah merasa happy berada dalam pemerintahan Kabinet Merah Putih.
Lantas apa motif para mantan terlibat aktif dalam pilkada lalu? Semuanya berorientasi pada kekuasaan dan kekuasaan yang terus berlanjut. Prabowo ingin menikmati kekuasaannya dengan full power meskipun di bawah bayang-bayang pengaruh Jokowi. Megawati ingin mempertahankan kekuatannya sebagai keturunan trah Soekarno. Sebab ia merasa PDIP bisa bertahan dengan kharisma bapaknya. Tanpa label Soekarno, PDIP akan betul-betul menjadi “partai cilik”.
Lalu Jokowi? Setelah gagal berinisiasi ingin menjadi presiden tiga periode atau memperpanjang masa jabatannya dengan merusak aturan, Jokowi ingin mempertahankan “kekuasaannya” sebagai “Raja Jawa” dengan menciptakan raja-raja kecil di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten. Obsesinya adalah tetap berkuasa dengan menggunakan para kepala daerah terpilih dukungannya mengikuti arahannya. Para kepala daerah itu menjadi semacam alat untuk meraih tujuan politiknya yaitu menguasai negara dengan kekuasaan politik di bawah keluarga Jokowi (Klan Jokowi). Dalam konteks ini ia sudah berhasil mendudukan Gibran sebagai Wakil Presiden Prabowo, dan menantunya Bobby sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara. Dengan potensi itu ambisi politiknya masih belum bisa tercapai. Maka ia memobilisasi orang-orang dekatnya untuk menjadi pion politiknya dalam posisi menteri di kabinet Prabowo, menggalang masa ProJo-nya, membiayai politisi dan menekan aparat birokrasi yang bertendensi koruptif dalam masa kepresidenannya.
Saat dipecat keanggotannya dari PDIP ia menyatakan berinisiasi membentuk “Partai Sendiri”. Belum jelas bentuknya tapi jelas arahnya. Jokowi ingin menggunakan pesona pribadinya untuk mempengaruhi pikiran birokrat yang dapat dikooptasi olehnnya untuk melanggengkan kekuasaannya secara sempurna. Jokowi adalah tipikal politisi yang tidak jelas referensinya. Para pemikir politik menyatakan bahwa seorang penguasa hendaknya selalu terkait dengan nilai, etika, budaya dan religi. Para filsuf Yunani dan Romawi umumnya mengaitkan kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan dan kebebasan yang diringkas dengan kata Demokrasi. Jokowi ternyata mengabaikan semua ini. Ia merusak tatanan demokrasi dengan merusak pilar-pilar demokrasi, antara lain menyuap oknum legislatif dalam penyusunan undang-undang, merekayasa keputusan Mahkamah Konstitusi dalam pencalonan Gibran sebagai Wapres.
Jokowi ingin tetap merealisasikan obsesi berkuasanya melalui penguasa-penguasa daerah yang dipengaruhi oleh pikiran-pikirannya. Sebagai mantan presiden dua periode yang berhasil merusak kehidupan berpolitik masyarakat ia ingin tetap berkuasa dengan menguasakan kekuasaannya kepada orang lain. Ia akan menggerakan partai sendirnya untuk mengusung Gibran menjadi calon presiden pada pilpres 2029. Ia akan menihilkan hasil kerja Prabowo Subianto, bahkan jika memungkinkan bisa mempercepat kekuasaannya.
Leave a Reply