Gara-Gara Presidential Threshold, Demokrasi Jadi Kerdil dan Suksesi Tidak Fair
Oleh:
Dedi Asikin
Terasjabar.co – Teman saya Wheam Asikin grundel banget dengan Presidential Threshold itu. Agar bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden partai atau gabungan partai harus memiliki suara/kursi di parlemen minimal 20%. Dia bilang demokrasi jadi kerdil, yang muncul itu lagi itu lagi, sepet mata gua.
Ternyata tidak hanya ketua LSM Generasi itu saja yang geram. Eh Surya Paloh juga begitu. Politisi kahot itu sepertinya tak legowo membatalkan konvensi yang rencanya akan digelar partai Nasdem menjelang pilpres 2024 itu. Konvensi itu terpaksa dibatalkan kerena perolehan suara Nasdem pada Pemilu legislatif 2019 tidak mencapai batas PT yang 20 % itu, Nasdem Hanya dapat 9,6%.
Kekesalan pak jenggot itu ditumpahkannya dalam orasi ilmiah ketika menerina gelar doktor kehormatan (Honoris Causa) dari Universitas Brawijaya Senin 25 Juli lalu.
Seharusnya, sesuai dengan makna demokrasi yang sesungguhnya, Pemilu/Pilpres itu harus terbuka bagi semua orang yang mau dan mampu memimpin bangsa ini kedepan. Tapi lantaran demokrasi itu dikerdilkan dan dilakukan secara ekslusif maka suksesi itu menjadi tidak fair. Yang muncul para ketua partai, menteri dan orang berduit. Figur figur yang sesungguhnya mampu tidak bisa muncul.
Surya ingin merubah kondisi ini. Paling tidak semua partai harus menyelenggarakan konvensi menjelang pilpres itu supaya diperoleh calon pemimpin lebih banyak dan berkualitas.
Pengerdilan demokrasi melalui Presidential Threshold (PT) mulai dilakukan menjelang pemilu pertama secara langsung tahun, 2004. Instrumen yang digunakan UU 23 tahun 2003. Pasal 5 ayat 4 menetapkan PT 15%.
Dengan menggunakan UU itu dalam Pilpres 2004 muncul 5 pasang calon: Wiranto+ Salahuddin Wahid, Megawati+Hasim Muzadi,Amin Rais+Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudoyono+Jusuf Kalla serta Hamzah Haz + Agum Gumelar. Pemenangnya setelah dua putaran SBY dan JK.
Menjelang pilpres 2009 keluar UU 42 tahun 2008. Dengan UU itu PT naik menjadi 20%. Calon yang muncul mulai menciut hanya 3 pasang yaitu: Megawati+Prabowo Subianto, SBY+Boediono, dan Jusuf Kalla+Wiranto. Pemenangnya SBY+Boediono dengan perolehan angka 60,8%.
Pilpres 2014 UU dan PT tidak berobah, tapi pasangan calon lebih mengerdil lagi hanya 2 pasang. Prabowo Subianto+Hatta Rajasa melawan Jokowi JK. Pemenangnya Jokowi JK dengan angka 53,15 lawan 46,85%. Lalu Pilpres 2019 dengan UU 7 tahun 2017 dan PT 20% juga hanya 2 pasang jago yang tampil Prabowo Subianto lawan Jokowi Maruf Amin. Pemenangnya Jokowi Maruf dengan angka 60,62 lawan 39,38..
Ketetapan tentang PT itu bukan tanpa resistensi.Penolakan itu bergaung die hampir seluruh penjuru ibu Pertiwi. Di tempat terbuka maupun tertutup. Bisik bisik maupun suara lantang. Tapi gayung itu tidak bersambut. Ibarat anjing menggonggong saudagar tetap berlalu. Dicoba melalui jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi, juga mentok tok.
Beberapa tokoh terkemuka di negeri ini, seperti Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Busyro Muqoddas, M. Chatib Basri (mantan menteri keuangan) mencoba mengajukan yudisial review, semua ditolak.
Apalagi yang harus dilakukan kecuali pasrah pada kata orang di seberang sana. Hei negeri berpenduduk, 270 juta kok susah cari pemimpin, miskin orang pinter yah. Kacian deh Luh.
Leave a Reply