Penerimaan Tradisi Lokal Sebagai Penyangga Toleransi dan Kebinekaan

Oleh:
Dr. Iwan Setiawan, S.Ag., M.Pd., M.E.Sy.
(Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Terasjabar.co – Ketika dunia sibuk mencari rumus untuk hidup damai dalam perbedaan, tradisi lokal di berbagai daerah di Indonesia justru telah sejak lama mempraktikkannya secara alami. Di tengah perdebatan soal toleransi dan keberagaman, banyak tradisi warisan leluhur yang menyimpan nilai-nilai luhur tentang hidup berdampingan, saling menghormati, dan menyatukan perbedaan. Sayangnya, nilai-nilai ini perlahan terkikis oleh modernitas, keseragaman budaya pop, bahkan stigma keagamaan yang sempit. Padahal, jika mau jujur, warisan budaya lokal kita justru menyimpan nilai-nilai damai yang sangat kontekstual dengan tantangan kebangsaan hari ini.

Tradisi selametan di Jawa, misalnya, merupakan bentuk syukur bersama yang melibatkan seluruh warga, tanpa memandang agama atau status sosial. Di Maluku, tradisi pela gandong menyatukan dua desa berbeda dalam ikatan persaudaraan yang mengikat secara sosial dan kultural. Di Minahasa, tradisi mapalus mengajarkan semangat kolektif dan saling bantu antar warga. Semua praktik ini adalah bukti bahwa masyarakat lokal kita memiliki mekanisme internal yang mengatur harmoni sosial jauh sebelum intervensi negara melalui regulasi formal.

Dalam konteks keagamaan, tradisi lokal bukanlah bentuk sinkretisme yang mengaburkan ajaran agama, melainkan wadah ekspresi nilai-nilai universal yang diajarkan oleh semua agama: kasih sayang, keadilan, dan saling menghormati. Justru ketika tradisi lokal diberi ruang hidup, kita melihat wajah agama yang lebih membumi dan manusiawi. Oleh karena itu, pendekatan moderasi beragama yang digaungkan pemerintah akan jauh lebih efektif jika dibangun di atas fondasi budaya lokal yang telah teruji menjaga keseimbangan sosial lintas generasi.

Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, tradisi lokal justru kerap dipinggirkan atas nama ‘kemurnian ajaran’ atau bahkan dianggap usang. Di sisi lain, politik identitas turut berperan dalam menyempitkan ruang hidup tradisi yang inklusif. Ketika perbedaan agama dan etnis dikapitalisasi untuk kepentingan elektoral, maka tradisi lokal yang biasanya menjadi jembatan, justru ikut dilabeli sebagai ancaman. Situasi ini harus segera dikoreksi jika kita ingin mempertahankan harmoni sosial yang telah terbangun dari akar rumput.

Negara tidak boleh abai dalam merawat tradisi lokal yang menyemai toleransi. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang tidak hanya melindungi situs budaya, tetapi juga mendorong pelestarian nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi tersebut. Di dunia pendidikan, penting untuk menjadikan budaya lokal sebagai bahan ajar kontekstual, bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum. Sekolah dan kampus dapat menjadi ruang untuk menanamkan rasa hormat terhadap keberagaman lewat pendekatan budaya, bukan semata ceramah normatif.

Toleransi tidak harus selalu diajarkan dari teori atau kampanye besar-besaran. Ia bisa tumbuh dari dapur warga yang menyiapkan tumpeng bersama, dari suara kentongan yang mengabarkan duka dan bahagia, atau dari upacara kecil di pinggir desa yang mempertemukan doa dari keyakinan yang berbeda. Jika kita sungguh ingin menjaga Indonesia yang majemuk ini, maka penerimaan terhadap tradisi lokal bukan sekadar romantisme masa lalu, tapi kebutuhan masa depan. Di situlah toleransi tak lagi sekadar wacana, tetapi menjadi kebiasaan sosial yang hidup dan berakar.

Tokoh adat dan pemuka agama memiliki tanggung jawab moral dalam menjaga keberlangsungan tradisi lokal yang mengandung nilai-nilai toleransi. Mereka bukan hanya penjaga simbol budaya, tetapi juga penghubung antara generasi lama dan generasi muda dalam mewariskan praktik-praktik sosial yang membangun harmoni. Di banyak daerah, para tetua adat telah menjadi mediator dalam penyelesaian konflik dan perintis kegiatan lintas agama yang menyatukan warga tanpa syarat identitas keagamaan. Keteladanan ini perlu dihidupkan kembali, khususnya di tengah masyarakat perkotaan yang mulai kehilangan akar budayanya.

Generasi muda saat ini tumbuh dalam era digital yang menawarkan kecepatan informasi, namun sering kali minim kedalaman makna. Banyak anak muda yang merasa tradisi lokal tidak relevan atau ketinggalan zaman. Padahal, jika dikemas secara kreatif dan disesuaikan dengan pendekatan digital, tradisi dapat menjadi sumber inspirasi identitas yang kuat. Kegiatan berbasis komunitas, festival budaya lintas agama, hingga konten edukatif di media sosial bisa menjadi jembatan antara warisan lokal dengan cara pikir generasi baru.

Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam merancang kebijakan yang mendukung revitalisasi budaya lokal. Tidak cukup hanya melestarikan bentuk fisik tradisi, tetapi juga harus menghidupkan kembali nilai-nilai sosial yang menyertainya. Dukungan anggaran, regulasi perlindungan warisan budaya takbenda, serta kolaborasi dengan sekolah dan lembaga masyarakat akan memperkuat ekosistem pelestarian yang berkelanjutan. Tradisi lokal tidak boleh menjadi artefak museum, melainkan harus hidup di tengah masyarakat modern.

Dalam situasi global yang semakin rentan terhadap konflik identitas dan polarisasi, Indonesia memiliki kekayaan tradisi lokal yang justru menawarkan solusi. Tradisi yang lahir dari bumi sendiri, yang mempersatukan alih-alih memisahkan. Saat dunia mencari cara merajut perbedaan, kita sebenarnya sudah memilikinya dalam bentuk budaya leluhur. Tantangannya kini adalah bagaimana kita mau menerima, merawat, dan mewariskan tradisi itu sebagai pondasi peradaban yang lebih damai.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

19 − 13 =