Dedi Mulyadi: Zakat Bisa Atasi Kemiskinan
Terasjabar.co – Calon Wakil Gubernur Jawa Barat nomor urut 4 Dedi Mulyadi menilai sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kemiskinan bisa diatasi dengan zakat.
Apalagi, terdapat dua lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengumpulkan dana yakni Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak.
“Secara logika, seharusnya Indonesia menjadi bangsa maju dan makmur karena ada dua kanal besar penghimpun dana. Ada Baznas dan dan Direktorat Pajak,” kata Dedi Jum’at (25/5/2018) di Grand Wisata Kecamatan Tambun Kabupaten Bekasi dalam pertemuan dengan warga.
Dalam tata aturan penyaluran zakat, Islam telah memberikan panduan konkret. Zakat tersebut harus diberikan kepada 8 ashnaf (golongan) yang tercantum dalam Surat At Taubah ayat ke 60.
“Sasarannya jelas sesuai dengan dimensi sosial. Zakat harus di salurkan kepada delapan golongan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Seluruh golongan ini berhak menerima sesuai dengan proporsi masing-masing,” katanya.
Berdasarkan keterangan tersebut, kedelapan golongan itu adalah fakir, miskin, amilin (operasional pengumpul) dan muallaf.
Selain itu, hamba sahaya, gharimin (orang berhutang), sabilillah dan ibnu sabil termasuk ke dalam delapan golongan tersebut.
Sabilillah merupakan orang yang berjuang di jalan Allah swt dengan berbagai kapasitas kemampuan.
Sementara Ibnu Sabil merupakan orang yang kehabisan bekal saat menempuh perjalanan jauh untuk kepentingan Agama Islam.
Santri Kiai Ma’ruf Amin tersebut berpandangan, kedelapan ashnaf ini merupakan tanggung jawab negara. Artinya, bukan semata tugas badan amil zakat untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui penghimpunan dana umat.
“Itu juga kan termasuk ke dalam amanat konstitusi kita, amanat UUD 1945. Saya kira itu satu substansi,” katanya.
Menurut Dedi, penguasa Prancis Napoleon Bonaparte melihat posisi strategis zakat sebagai jaring pengaman sosial dan instrumen pembangunan.
Karena itu, dia memberlakukan pungutan di Prancis serupa zakat, dalam hal ini pajak.
Sistem ini kemudian terkenal di Eropa dan diadopsi oleh Belanda.
Negara terakhir ini menjajah Nusantara dan memberlakukan sistem pajak untuk menopang logistik operasional di koloninya. Bahkan, sebagian besar hasil pajak tersebut dibawa ke Belanda.
“Nah, ini mereka niru-niru zakat nih. Lahirlah sistem pajak pertama kali di Prancis, diadopsi Belanda dan kita mengenalnya karena dijajah,” ucap Dedi.
Kader Nahdlatul Ulama itu menilai APBN dan APBD selain berpihak pada delapan ashnaf juga harus berpihak pada pembangunan sehingga ada dimensi penyelesaian masalah sosial yang tercermin dalam dokumen uang rakyat tersebut.
“Di banyak negara maju misalnya, pengangguran pun diberikan tunjangan sosial. Itu dari dana pajak. Kita punya dua sumber, pajak dan zakat, harusnya lebih makmur kan?,” kata dia.
Leave a Reply