Ketika Teguran Menjadi Tuduhan

Oleh:
Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Terasjabar.co – Pagi itu, ruang guru terasa seperti kehilangan detaknya. Para guru menatap lembaran berita tentang Surat Edaran baru, bahwa guru dilarang memberi hukuman fisik. Semuanya terdiam, bukan karena menolak, tetapi karena merasa ada sesuatu yang lebih besar yang luput dibicarakan.

Pak Hasan, guru senior yang rambutnya mulai memutih, bergumam pelan, “Lalu, bagaimana kita menanamkan wibawa jika kita selalu dihantui ketakutan?

Belum sempat ada yang menjawab, seorang siswa bernama Fikri muncul di pintu. “Pak… saya tidak suka dimarahi tadi. Tapi saya juga bingung. Orang bilang guru tidak boleh keras. Jadi, apa saya boleh membantah?

Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada pukulan apa pun. Di sinilah masalah utama pendidikan kita: anak dibesarkan oleh aturan, bukan oleh teladan; guru dibatasi hukum, bukan disokong kepercayaan; keluarga menyerahkan pendidikan moral kepada sekolah tanpa kembali mengambil perannya.

Kita makin sibuk mengatur teknis, tetapi lupa menghidupkan ruh pendidikan. Kita memoles kulitnya, tetapi membiarkan akarnya rapuh.

Islam sejak awal mengajarkan pendidikan yang seimbang antara cinta dan ketegasan. Rasulullah saw. memeluk anak-anak, namun juga menegakkan disiplin. Hukuman bukan untuk menyakiti, tetapi untuk ta’dib atau mendidik dan membangunkan kesadaran moral.

Sebagaimana Umar bin Khattab yang tegas namun hangat, dan Ali bin Abi Thalib yang menegaskan bahwa kasih tanpa disiplin hanya melahirkan generasi lemah. Pendidikan Islam tak pernah meniadakan ketegasan, tetapi menempatkannya dalam ruang kasih dan tujuan.

Surat edaran pemerintah bukanlah musuh. Ia adalah tanda bahwa ada luka sosial yang harus disembuhkan. Tetapi ia juga pengingat bahwa pendidikan tidak boleh dibangun di atas rasa takut, melainkan di atas landasan nilai dan akhlak.

Di akhir percakapan, Pak Hasan menatap Fikri dengan lembut, “Nak, tugasku bukan membuatmu takut. Tugasku membuatmu tumbuh menjadi manusia beradab”.

Fikri mengangguk. Untuk pertama kalinya, ia memahami bahwa teguran bukanlah permusuhan, tetapi perhatian. Karena pada akhirnya, pendidikan sejati tidak dibangun oleh aturan semata, tetapi oleh dasar akidah dan akhlak yang menuntun manusia dari gelap menuju cahaya.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

15 − ten =