#RESET INDONESIA# dalam Perspektif Politik Historiografi
Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik & Pusat Studi Sunda/PSS-Bandung)
Terasjabar.co – Jika Anda mencintai Indonesia sepenuh hati, tak peduli Anda saat ini berusia 80-70 tahun; terlebih lagi generasi milenial dan Gen Z bacalah buku #Reset Indonesia# karya bersama Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benayu Harobu.
Jika Indonesia di reset, artinya kita harus menginstal ulang Indonesia dengan sistem software yang benar-benar sudah teruji.Di sini kita bicara tentang makna perjuangan Indonesia benar-benar 100 persen merdeka. Sebuah revolusi sistem merdeka dari sistem nilai hidup yang kapitalistik, materialistik, sekularistik dan kembali kepada fitrah manusia sebagai hamba Allah dan khalifah fil ardi. Maka, satu-satunya opsional yang masuk akal dan logis adalah kembali kepada sistem Islam bernegara dan berpemerintahan.
Jika, Francis Fukuyama penulis buku “The End of History and The Last Man”, menyebut masa depan untuk politik dunia adalah demokrasi liberal dan ekonomi adalah kapitalisme global. Meskipun benar faktanya hari ini, namun bukan sebuah kebenaran yang sebenarnya benar bagi masa depan manusia. Justru, sebaliknya menyengsarakan umat manusia ke jurang kehinaanya sebagai manusia mulia sebagaimana Allah SWT kehendakinya.
Jika, seratus tahun yang lalu saat John D. Rockefeller (1839–1937) masih hidup telah mewariskan sebuah sistem ekonomi modern yang menyusun “buku panduan global” tentang bagaimana kekuasaan bisa diwariskan lewat perusahaan, bukan lewat kerajaan. Struktur korporasi lintas negara, lembaga keuangan global, hingga sistem pajak internasional yang sulit disentuh semuanya warisan dari satu orang yang percaya bahwa dunia harus dikelola seperti perusahaan. Ia membangun mesin yang membuat banyak orang hidup dalam siklus kerja tanpa akhir demi melayani pasar, bukan Tuhan.
Bagaimana dengan Indonesia Masa lalu?
Kita belajar dari sejarah bahwa secara geo-politik dan jika ditinjau dari teritorial hukum internasional pada asas Uti Possidetis Juris, wilayah Indonesia bukanlah wilayah negara yang baru, tapi negara ‘pewaris’ atau penerus negara koloni kerajaan Belanda yang bernama Nederlands Indie atau Hindia Belanda.
Batas batas wilayah negara Nederlands Indie pada asas Uti Possidetis Juris terdaftar secara resmi pada lembaga international League Of Nations (Liga Bangsa Bangsa). Peta wilayah Hindia Belanda yang diserahterimakan kedaulatannya kepada Negara RIS (dalam Konferensi Meja Bundar KMB, 1949) sama dengan batas wilayah administrasi kekuasaan negara Nederlands Indie pada tahun 1918 yang secara resmi didaftarkan di League of Nations pada tahun 1939. League of Nations adalah lembaga internasional yang pasca Perang Dunia 2 berganti menjadi United Nations atau Perserikatan Bangsa Bangsa. Dengan dasar Uti Possidetis Juris inilah wilayah Aceh sampai Papua menjadi bagian wilayah negara Nederlands Indie modern atau negara Indonesia.
Politik Historiografi: Paradoks Indonesia Merdeka 100%
Dalam lanskap politik historiografi, maka “reset Indonesia” memaksa kita harus membaca sejarah Indonesia untuk menemukan “sanad perjuangan islam bernegara dengan benar”.
Bagi umat islam bangsa Indonesia, politik historiografi tentang status negara dan pemerintahan Indonesia di wilayah Hindia Belanda, antara tahun 1945 -1949 menjadi bagian dari ‘pemahaman’ tentang Indonesia yang wajib menjadi bagian yang di reset jika Indonesia ingin berjaya di masa depan.
Tahun 1948, pasca Renville, di Priangan Timur sekelompok elit pimpinan militer dan ulama tokoh masyarakat muslim mengadakan konferensi di wilayah Tjisajong. Mereka yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh pemberontak islam : S.M. Kartosuwirjo, R. Oni, Kamran, dan beberapa tokoh ulama bersepakat membentuk pemerintahan islam yang disebut Majelis Islam.
Konferensi berikutnya dilakukan di dua lokasi berbeda : Cirebon dan Majalengka, yang melahirkan 7 (tujuh) keputusan, yaitu : (a) mendidikan rakyat menjadi warga negara Islam (b) islam tidak dimenangkan dengan plebesit; (c) memproklamasikan Negara Islam Indonesia (d) memperkuat NII ke dalam dan ke luar: ke dalam memberlakukan hukum islam dengan seluas-luasnya dan sesempurna-sesempurnanya ke luar : meneguhkan identitas internasionalnya, sehingga mampu berdiri sejajar dengan negara lain; (e) membantu perjuangan muslim di negeri lain; (f) Bersama-sama negara-negara islam membentuk dewan imamah dunia untuk memilih seorang kholifah dan tegaklah khilafah di muka bumi.

Pada saat, RI Yogyakarta sudah runtuh secara de facto sejak Agresi Militer Belanda II, Januari 1949. Sukarno–Hatta ditawan, pemerintahan lumpuh, dan kedaulatan hilang, sebuah kondisi vacuum of power dalam hukum ketatanegaraan.
NII diproklamasikan 7 Agustus 1949, tujuh bulan setelah kekosongan kekuasaan itu terjadi. Artinya, NII lahir bukan saat RI berdaulat, melainkan ketika RI tidak lagi berfungsi sebagai negara. Menyebutnya “pemberontakan” terhadap RI menjadi tidak relevan secara historis maupun yuridis. Maka, DI/TII atau NII tidak pernah memberontak kepada Republik Indonesia, apalagi mendirikan “negara dalam negara”.
Dalih bahwa PDRI melanjutkan RI juga bermasalah. Syafruddin Prawiranegara tidak menerima mandat resmi dari Sukarno, dan tidak ada pengembalian mandat secara formal. Lebih jauh, hasil KMB 27 Desember 1949 justru melahirkan Republik Indonesia Serikat (RIS), negara federal hasil kompromi internasional. Sukarno adalah Presiden RIS, sementara RI hanya menjadi negara bagian dengan Presiden Mr. Asaat.
Jika ada perlawanan, itu ditujukan kepada RIS dan APRIS, yang merupakan kelanjutan struktur kolonial Belanda—bukan kepada RI 17 Agustus 1945. Karena itu, menolak RIS adalah sikap politik anti-penjajahan, bukan pengkhianatan terhadap kemerdekaan.
Buku “Reset Indonesia”: Fakta Indonesia Menjadi Tangan kanan Penjajah
Buku #Reset Indonesia setebal 448 halaman ini merupakan buah perjalanan panjang dan kolaborasi lintas generasi antara Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benayu Harobu, hasil dari ekspedisi selama 15 tahun mengelilingi Indonesia untuk memotret realitas sosial, ekonomi, dan ekologis negeri ini. Buku ini lahir dari tiga ekspedisi epik yakni Zamrud Khatulistiwa (2009-2010), Indonesia Biru (2015-2016), dan Indonesia Baru (2022-2023) yang mencakup perjalanan dari Pulau Weh hingga perbatasan Sota, plus infiltrasi ke pusat kekuasaan seperti DPR dan Sekretariat Negara.
“Reset Indonesia” menonjol karena perspektif empat generasi penulis, dari baby boomer hingga Gen Z yang menggabungkan data, teori, dan cerita lapangan untuk membangun narasi yang menggugah dan actionable. Reset Indonesia berisian tulisan gabungkan data, teori dan fakta lapangan. Buku tersebut menyoroti 16 isu di mata empat generasi berbeda, yaitu Farid Gaban (mewakili Baby Boomer), Dandhy Laksono (Generasi X), Yusuf Priambodo (Milenial), dan Benaya Harobu (Generasi Z).
Prolog buku itu dibuka dengan sebuah gambaran sederhana tentang mimpi yang justru terasa mustahil di Indonesia.
“Pernahkah kita membayangkan minum air langsung dari keran? Bukan dari botol Nestlé, bukan dari galon, tapi cukup buka keran dan minum.” Sebuah hal remeh di banyak negara, namun terasa seperti utopia di negeri ini.
Indonesia masih terjebak dalam paradoks. Yang secara sederhana di tempat lain menjadi mustahil di sini. Sementara hal-hal yang tak masuk akal di negara lain justru dianggap wajar di Indonesia. Indonesia tidak butuh perbaikan, tapi pengaturan ulang sistem secara total.Itulah kesimpulan yang ditarik oleh Benaya Harobu, salah satu kontributor buku ‘Reset Indonesia: Gagasan Tentang Indonesia Baru’.Lewat buku ini mereka “menawarkan cetak biru radikal, namun realistis”.
Setidaknya tiga rekomendasi besar untuk Indonesia, yang menurutnya paling mendesak untuk diwujudkan.
Bentuk negara federalisme
Mengkaji ulang bentuk negara federalisme menjadi solusi pertama untuk memecahkan berbagai tantangan yang paling fundamental.Ide ini bukan sebagai bentuk separatisme, melainkan ide yang ditawarkan demi keadilan struktural.Kekayaan alam di daerah dieksploitasi, namun keputusan politik dan hasil pembangunan terpusat di Jawa.Indonesia adalah negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi, dengan otonomi daerah, yang melimpahkan kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah.kebijakan otonomi daerah “hanya di atas kertas.Otonomi daerah ini enggak dirasakan sama sekali sama orang-orang di pedalaman, dan segala macam keputusan, itu tetap datangnya dari pusat.
Maka, gagasan federalisme akan memberikan kekuatan politik yang nyata kepada daerah-daerah.Ini akan mengakhiri kolonialisme internal dan memastikan bahwa kekayaan alam di Sumba, di Papua, di Maluku, digunakan untuk kesejahteraan rakyat lokal, bukan hanya segelintir elite di pusat.Ini adalah janji kemerdekaan yang belum terpenuhi.
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Dr. Herlambang Wiratraman menilai gagasan federalisme ini realistis. Kalau Anda membaca perdebatan konstituen di tahun 1956 sampai 1959, gagasan itu bukan tanpa dasar, bukan tanpa akar sejarah, bukan tanpa basis ilmu.Sistem federal yang juga dimiliki Amerika Serikat, Malaysia, dan India sebenarnya sudah diterapkan oleh beberapa daerah Indonesia.Contohnya adalah kampung adat Ciptagelar di Jawa Barat dan suku Baduy dengan sistem pemerintahan adatnya, dan Sumba dengan sistem kerajaannya.Suku Baduy memiliki tata kelola pemerintahannya sendiri. Karena semuanya menjelaskan bahwa Indonesia itu jelas plural legal system, sistem hukumnya saja sudah plural, dan itu direfleksi dari keberagaman masyarakat itu sendiri.
Daerah di Indonesia yang memiliki keistimewaan dalam menjalankan pemerintahan, seperti Aceh, Papua, dan Yogyakarta, merupakan contoh dari apa yang disebutnya sebagai ‘federalising decentralised government”.Bukan berarti menolak cara pandang untuk menjadi satu di Indonesia, tidak. Mereka tetap ingin tumbuh menjadi sebuah bangsa, Indonesia.
Namun menyuarakan gagasan federalisme ini memiliki tantangan tersendiri, karena sering direspons dengan cara yang sangat represif. Dianggap misalnya menyuarakan makar atau dianggap menentang keamanan negara dan seterusnya.Padahal gagasan itu harusnya dimaknai sebagai ekspresi politik kewarganegaraan yang sehat, untuk mendudukkan relasi kuasa yang lebih adil bagi warga di daerah agar mereka mendapatkan perlindungan kesejahteraan sosialnya.
Menantang sistem kepartaian
Buku tersebut juga mengatakan sudah saatnya Indonesia melakukan reformasi sistem kepartaian di tataran legislatif.Hal ini juga sudah banyak dibahas oleh sejumlah pakar, yang mengatakan sistem partai yang saat ini hanya membuat anggota DPR bekerja dan bertanggung jawab untuk partainya, bukan pada konstituennya. Jadi anggota Dewan tidak hanya harus berasal dari partai politik. Melainkan juga perwakilan dari kelompok masyarakat spesifik, misalnya, perwakilan langsung dari petani, dari buruh, dari perempuan, atau dari komunitas adat untuk duduk di parlemen. Dengan demikian, wakil rakyat tidak harus melalui partai.
Buku ini menawarkan gagasan agar perwakilan rakyat yang lepas dari sistem kepartaian untuk mengatasi krisis representasi yang ada selama ini. Suara-suara yang selama ini hanya menjadi statistik akan memiliki kursi di parlemen, untuk memastikan hukum yang dibuat benar-benar mewakili keragaman dan penderitaan rakyat, bukan hanya kepentingan oligarki partai.
Pendidikan yang membebaskan
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini terpusat, seragam, dan berbasis hafalan, padahal “sedang berhadapan dengan kecerdasan buatan (AI) yang siap menggantikan pekerjaan administratif. Buku “Reset Indonesia” menyerukan agar sekolah tidak terbatas pada ruang kelas fisik. Pendidikan harus berorientasi pada keterampilan hidup, pemikiran kritis, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Ubaid Matraji Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyambut baik gagasan ini.Pendidikan Indonesia bias sudut pandang elit di Jakarta. Ubaid mengatakan saat ini kebutuhan anak-anak, orang tua, dan masyarakat Indonesia “tidak connect” dengan pemerintah dan elit di Jakarta. Sampai hari ini selalu saja pendidikan yang didesain elit-elit Jakarta ini memaksakan kepentingannya sendiri dengan memaksakannya kepada anak-anak Indonesia yang tersebar di berbagai daerah.
Menuju Arah Baru: Membangun Ulang dari Akar
Buku “Reset Indonesia” hadir untuk memperkaya imajinasi kolektif bangsa. Arah baru tidak akan lahir dari inisiatif individu semata. Melainkan harus ada dukungan kebijakan publik dan keputusan politik yang serius. “Kita harus menemukan model kita sendiri,” Salah satu tawaran paling penting dalam buku ini adalah reforma agraria, jantung dari jantungnya ekonomi rakyat. Data menunjukkan bahwa 60% petani Indonesia hanya memiliki lahan kurang dari setengah hektar.
Bagaimana mungkin ekonomi rakyat bisa mandiri dan kuat jika fondasi agrarianya begitu timpang? Reforma agraria bukan hanya persoalan distribusi tanah, tetapi pembenahan total arah embangunan nasional. Tanpa itu, kemajuan hanya akan menjadi slogan kosong, tidak menyentuh akar permasalahan.
Pada akhirnya, Reset Indonesia bukan sekadar buku laporan perjalanan atau kritik sosial. Ia adalah seruan keras bagi bangsa ini untuk berhenti hidup dalam ilusi kemajuan. Buku ini mengajak masyarakat untuk melihat realitas dengan jujur, menelusuri kembali akar masalah. Kemudian membangun imajinasi baru tentang Indonesia sebuah bangsa yang tidak menjadikan hal sederhana sebagai kemewahan dan tidak membiarkan hal tak masuk akal menjadi kewajaran.






Leave a Reply