Ironi Rokok yang Membakar Kesadaran

Oleh:
Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Terasjabar.co – “Asap ini tidak pernah benar-benar hilang”, gumam seorang petugas Bea Cukai kepada saya saat ia berdiri di depan tumpukan kardus berisi rokok ilegal yang siap dimusnahkan. Matanya sendu, seolah lelah menyaksikan siklus yang sama setiap tahun.

Saya mendekat. “Berapa banyak tahun ini, Pak?”

Ia menarik napas panjang. “Delapan puluh delapan juta batang. Jawa Barat memang jadi jalur strategis distribusi rokok ilegal.”

Suara itu lirih, namun memikul beban besar.

Dalam hening gudang itu, saya merasa sedang membaca babak lain dari drama panjang relasi negara, pasar, dan moralitas.

Saya memandangi tumpukan rokok itu sambil bertanya dalam hati: Apa sebenarnya yang sedang kita perjuangkan?

Saya terdiam.

Fakta itu seperti menampar nalar bangsa. Kita berputar pada lingkaran pendapatan, sementara di antara asap itu ada tubuh anak-anak muda yang perlahan tergerus.

Petugas Bea Cukai itu kemudian berkata kepada saya, “Bu, rokok ilegal dimusnahkan bukan karena berbahaya, tetapi karena tidak bayar cukai.”

Kalimat itu menghunjam kesadaran saya. Di sinilah wajah sistem kapitalisme tampak paling terang. Negara lebih marah pada rokok yang tidak menyetor pajak ketimbang rokok yang meracuni rakyat.

Rokok legal tetap beredar, bahkan dipromosikan secara halus, karena ia menyumbang triliunan rupiah bagi pendapatan negara.

Inilah paradoks modern, ketika kesehatan diposisikan sebagai biaya, bukan prioritas. Ketika nyawa kalah oleh angka penerimaan negara.

Di Balik Asap, Ada Ideologi yang Menyelusup

Diskusi saya dengan petugas itu semakin dalam.

“Jadi, kalau bayar pajak… rokok boleh beredar meski membunuh perlahan?” tanya saya.

Ia menunduk. “Saya hanya menjalankan aturan, Bu. Soal benar dan salah… itu di atas sana yang menentukan.”

Saya merasakan getir dalam suaranya. Negaranya bukan tidak bekerja, tetapi sistem global yang kita anut memang menggerakkan negara mengikuti logika pasar, bahwa apa yang menguntungkan, dibenarkan; apa yang merugikan kas, dimusnahkan.

Sebuah ironi yang sulit dihapus.

Solusi Islam: Ketika Negara Berdiri untuk Melindungi, Bukan Menghitung

Dalam Islam, negara tidak menimbang baik-buruk berdasarkan uang, tetapi berdasarkan kemaslahatan umat.

Allah Swt. Berfirman, “Dan janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Rasulullah saw. menegaskan, “Imam adalah perisai; manusia berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, penguasa seharusnya menjadi tameng yang melindungi kesehatan, bukan penjaga kas yang menghalalkan produk merusak selama berbayar.

Dalam sejarah peradaban Islam yang gemilang, Umar bin Khattab ra. pernah menghentikan produksi minuman yang membahayakan meski menghasilkan untung. Negara memutuskan berdasarkan maslahat, bukan pemasukan. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz, yang melarang industri yang dapat merusak masyarakat kendati negara menikmati potensi pendapatan besar.

Di bawah sistem Islam, negara tidak membiarkan industri berbahaya berjalan, sekalipun menguntungkan. Tidak ada konsep cukai yang membiarkan barang berbahaya beredar selama membayar. Industri wajib memproduksi barang yang halal, thayyib, dan bermanfaat. Negara bertanggung jawab menjaga kesehatan rakyat sebagai kewajiban syar’i, bukan opsi fiskal.

Jalan Sunyi yang Menanti Keberanian

Saat saya meninggalkan gudang itu, petugas Bea Cukai tadi menatap saya dan berkata, “Bu… kadang saya ingin negara ini lebih berani memilih apa yang benar, bukan apa yang menghasilkan.”

Saya tersenyum getir.

Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak kekurangan data, tidak kekurangan ahli, tidak kekurangan aparat yang bekerja. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk menegakkan moralitas di atas pertimbangan materi.

Di jalan sunyi itu, di antara tumpukan rokok yang menunggu dibakar, saya merasa sedang menyaksikan pertarungan ideologi.

Pertarungan antara bangsa yang ingin sehat dan sistem yang hanya menghitung untung. Dan saya berdoa, semoga suatu hari kelak, asap ini tidak lagi menjadi simbol kegagalan kita membaca nurani.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

fifteen − 12 =