3 Nuh: Tokoh Ulama Jumhur dari Cianjur

Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Pusat Studi Sunda-Bandung)

Terasjabar.co – “Barang siapa membuat tarekh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan menghidupkannya. Dan barang siapa ziarah kepada seorang Alim, maka sama dengan ziarah kepadaku (Nabi SAW). Dan barang siapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya mendapat syafatku di Hari Qiyamat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Nama ‘Nuh’ pertama kali disematkan kepada seorang nabi Islam dalam al Quran, disebut diawal sebelum Ibrahim Musa, dan Isa. Satu-satunya nabi dengan usia yang disebutkan secara unik. Nama ‘Nuh’ memberikan keberkahan tersendiri bagi siapa yang memperoleh nama dirinya dari orang tuanya. Salah satu-nya nama itu disematkan kepada 3 (tiga) orang ulama jumhur dari Cianjur.

Namun, karena informasi yang tidak lengkap, nama ‘Nuh’ ini disematkan secara keliru, sehingga sering membingungkan dan menyesatkan. Ketiga nama ulama jumhur itu, adalah Mama Abdullah bin Nuh (ABN) ; Aang Nuh Gentur (ANG) dan terakhir paling senior dari usia keduanya dan jarang diketahui publik yaitu KHR Muhammad Nuh bin Idris (MNI).

Abdullah bin Nuh, beliau adalah putra nomor dua dari KH. R. Muhamad Nuh bin Idris. Kita bisa menimbangnya dari karya pemikirannya yang jumlahnya lebih dari dua puluh karya kitab dalam Bahasa Arab dan Indonesia, ermausk Arab pegon (Sunda) menjadi obyek kajian akademik. antara lain: Prof. Dr. H. Ridho Masduki menulis disertasi (program Ph.D.) tentang “Pemikiran Kalam dalam Diwan Ibn Nuh”, kemudian Drs. H. Iskandar Engku menulis tesis (program Master) tentang “Ukhuwah Islamiyah menurut Konsep KH. Abdullah bin Nuh.“ Selanjutnya, E. Hidayat menulis skripsi (program Sarjana) tentang “KH. Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya”, dan Dudi Supiandi, menulis tesis (program Master) tentang “Pemikiran KH. Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam”.

Selain sebagai ulama, penyair,dan akademisi, beliau adalah seorang pejuang yang pernah menjadi komandan militer di zaman Pendudukan Jepang (1943-1944).

Yang paling muda usianya diantara ketiga ulama berinisial Nuh, adalah KH. Abdullah Haq Nuh bin Syekh Ahmad Syathiby Gentur atau biasa dikenal dengan Mama Aang Nuh merupakan putra dari seorang ulama besar bernama Syekh Ahmad Syathibi Al-Qonturi (Mama Gentur). Aang Nuh dikenal sebagai ulama ahli hikmah, jawara, dan memiliki banyak ‘kesaktian’. Wafat di tahun 1990. Kemingkinan lahir antara tahun 30-an.

Yang terakhir, KH. R. Muhammad bin Idris, Anggota Konstituante (No. 247) dan Pendiri Madrasah al I’anah Cianjur (1912). Beliau adalah ayahada ulama dunia, KH. R. Abdullah bin Nuh: Al Ghazalinya Indonesia. Tokoh ulama asal Kaum Cianjur ini adalah sosok yang mengenal dekat KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ari (NU) dan KH Ahmad Sanusi (PUI) dan seorang OS Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis (Sarekat Islam) adalah sahabat karibnya. Di rumah beliau dan dirumah dinas Bupati RAA Achmad Wiranatakusuma berlangsung rapat-rapat Pimpinan CSI untuk merumuskan persiapan NATICO (National Congress) I di Bandung (17-24 Juni1916) yang terkenal dengan gagasan Zelfebstuur-nya OS. Tjokroaminoto.

Karya-karya kitabnya, meskipun terbatas jumlahnya sekitar 3 kitab saja sudah diapresiasi oleh para sarjana sebagai subyek penelitian skripsi, tesis dan disertasi. Beliau lahir di Kaum Cianjur, (lahir 1879 wafat 1966).

Dalam literatur terbitan Kementerian Agama RI tidak tercatat namanya.Juga, di Cianjur tidak ada nama jalan kecil apalagi jalan kabupaten yg mengabadikan namanya. Sejarawan muslim dosen UIN SGD Banding, Dr. Moeflich Hasbullah, MA. menulisnya sebagai Historical Rage dalam Pengantar buku KHR Muhammad Nuh bin Idris, karya Nunu A Hamijaya (Pusbangter, 2024).

DALAM diri KHR Muhammad Nuh bin Idris, terbentuk empat kualitas pribadi seorang ULAMA-warosatul anbiya, sehingga sudah ‘masagi’: sebagai ahli falak/astronomi, pendidik dan menjalani torekat Tijaniyyah, dan politisi negarawan dua organisasi pergerakan politik islam pelopor yaitu SAREKAT ISLAM dan MASYUMI. Beliau mendirikan Madrasah al I’anah (17 September 1912). Buah dari pertemuannya dengan sahabatnya K.H. Ahmad Dahlan (Ahmad Darwis) yang dikenalnya sejak tahun 1908.

Kitab I’anah al-Thalibin atau judul lengkapnya “Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in” merupakan karya al-‘Allamah ‘Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syata al-Dimyathi al-Bakri (1226-1310H), seorang guru terkenal di Masjidil Haram Makkah pada zamannya.Kitab ini disusun sebagai hasyiah (komentar) bagi Kitab Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ayn bi Muhimmah al-Din karya ‘al-‘Allamah Zainuddin al-Malibari (987H), sebagai huraian (syarah) bagi sebuah kitabnya, iaitu Kitab Qurrah al-‘Ayn bi Muhimmah al-Din.Beliau adalah guru KH Ahmad Darwis.

Sebagai ulama yang belajar di Mekkah, KHR Muhammad Nuh menulis setidaknya dua kitab berjudul Al-Ajwibatus Syafiyah li Dzawil ‘Uqulis Salimah tentang fatwa fqiyyah,dan dan kitab tentang kajian ilmu falak (astronomi), yang berjudul Risalah al-Qiblah.Selain itu, beliau menguasai Kitab al Ihya Ulumuddin-nya al Ghazali yang diajarkan langsung kepada putranya K.H.Abdullah bin Nuh (Cianjur-Bogor).

Beliau juga ulama yang turut aktif dalam pergerakan politik dunia islam lewat komite khilafah di Cianjur (1925). Sedangkan kiprahnya sebagai politisi Islam lewat Masyumi, sebagai anggota Konstituante (No. 247) yang berkomitmen menjadikan ISLAM sebagai dasar negara melalui Piagam Jakarta.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 − nine =