UMMAT DAN BANGSA: Paradoks Indonesia Dalam Perspektif Politik Historiografi

Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik/Penulis Buku Negara Ummat dan 1 Negeri 3 Proklamasi)

Terasjabar.co – Nabi Muhammad SAW dalam Khutbah Haji Wada menyebut kata-kata ini hingga 3 (tiga) kali “Ummati, Ummati, Ummati“. Dalam konteks sosiologi-politik Abad XIX, Barat mempopulerkan istilah “nation” yang diterjemahkan dengan kata “bangsa”.

Al Quran, sebenarnya sudah memberi istilah juga yang setara dengan kata ‘bangsa’, yaitu ‘kaum’. Al-Qaum yang berarti komunitas yang berakal yang mempunyai satu bahasa, seperti pada ayat: “Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa qaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”.

Beberapa term qaum (kaum) di dalam Al-Qur’an diungkapkan dengan diiringi oleh beberapa sifat-sifat yang dinisbahkan kepada term tersebut. Di antara sifat-sifat tersebut adalah kekufuran, kerugian, kezaliman, kefasikan, kesalehan, keimanan dan lain sebagainya. Mencermati penggunakan frasa kaum dalam al Quran, nyatalah bahwa penggunaannya lebih banyak merujuk kepada sifat-sifat dan karakter kaum yang buruk daripada yang beriman!, 10 ayat banding 1 ayat.

Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang Arab dewasa ini dengan istilah al-Qaumiyah al-Arabiyah. Sebelumnya pusat bahasa Arab Mesir pada tahun 1960, dalam buku Mu’jam al-Wasith menerjemahkan “bangsa” dengan kata ummah. Kata qaum adalah mufrod pada mulanya terambil dari kata QIYAM yang berarti “BERDIRI ATAU BANGKIT.” Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu.

Imam al-Biqai dalam tafsirnya Nadhm al-Durar menafsirkan kata qawm bertujuan mendorong untuk bangkit mengelola diri dan menghindari kekurangan ataupun keburukan. Al-Biqai melanjutkan agar senantiasa bersyukur atas kekuatan yag dianugerahkan Tuhan kepada kita. Menariknya, al-Biqai mengungkap makna semantik dari kata qawm ini, kata QAWM diambil dari kata QAMA (قام) yang berarti TAMPIL KE DEPAN dan melaksanakan segala hal dengan sempurna.

Kauman di Tanah Jawa

Di wilayah Sunda dan Jawa, ada sebutan Kaum atau Kauman,yaitu komunitas yang berada dalam radius terdekat dengan masjid utama di pusat pemerintahan, misalnya kerajaan atau kabupaten. Di Yogyakarta tersebut nama Masjid Kauman. Kauman (juga disebut Pekauman/Pakauman) merupakan nama beberapa daerah tertentu di Jawa yang banyak dihuni oleh warga Muslim. Kauman biasanya terletak di sebelah barat alun-alun dan dapat ditandai dengan adanya masjid di daerah tersebut. Nama ini diduga berasal dari kata “kaum imam”.

Ada beberapa Kampung Kauman di Indonesia. Namun, Kampung Kauman Solo dan Yogyakarta barangkali yang memiliki cerita sejarah paling panjang. Kampung Kauman Solo disebut sebagai pekauman tertua karena telah terbentuk bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta pada 1757.

Nation – Nasionalisme dan Bangsa-isme (Kebangsaan)

Kata nation pertama kali muncul dari bahasa Perancis Kuno yaitu nacion – yang berarti kelahiran (naissance), “tempat kelahiran”, yang didapat awalnya dari bahasa Latin yaitu natio (nātĭō) yang mempunyai arti literal yaitu kelahiran. Di Abad XIX, istilah “nation-bangsa” dalam konteks politik pertama kali dipopulerkan Ernest Renan dalam buku berjudul What Is a Nation?; Otto Bauer, dengan buku berjudul The Question of Nationalities and Social Democracy, dan Hans Kohn, Nationalism, Its Meaning and History. Tulisan-tulisan mereka itulah yang menjadi rujukan para intelektual pribumi di Hinda Belanda yang bersekolah di Belanda.

Oleh mereka, bangsa Indonesia menjadi istilah ‘geo-politik’ dan ideologi perjuangan kemerdekaan – semangat ‘senasib sebagai pribumi terjajah’ oleh bangsa asing (kolonialisme Barat). Adapun nilai dan prinsip yang menjadi kompas serta landasan perjuangnya berbeda-beda: ada ISLAM, komunisme, dan nasionalisme Indonesia (yang tidak jelas konsepnya dari mana sumbernya). Akhirnya, Soekarno merumuskannya menjadi NASAKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisma); Sedangkan saat ini, yang menjadi Kompas nilai dan landasannya adalah : kapitalisme-sosialisme-nasionalisme Indonesia yang dibalut dengan nama ideologi Pancasila dan UUD 1945 (Amandemen 2002)

Konsep Ummah dalam Kontruksi Bernegara

Ummah memiliki karakter yang berbeda dengan istilah lainnya, ia tidak sebatas bangsa, suku, atau etnis. Armstrong berpendapat bahwa: “The ummah has sacramental importance, as a ‘sign’ that God has blessed this endeavour to redeem humanity from oppression and injustice; its political health holds much the same place in a Muslim’s spirituality as a particular theological option (Catholic, Protestant, Methodist, Baptist) in the life of a Christian”.

Demikian Armstrong sempat menguraikan arti ummah setelah sebelumnya sempat mensetarakan ummah dengan “a newunited community”. Kesulitan menterjemahkan ummah juga dirasakan Zainal Abidin Ahmad, sehingga mendorongnya untuk memakai istilah “BANGSA-NEGARA”. Juga dengan Watt yang tampak ragu, sebab tidak sedikit ia memakai istilah “community” untu kmendampingi ummah, walaupun setelah itu ia berusaha tegaskan bahwa ummah “in some ways, it was like a federation of nomadic clans ortribes. It was bound together by their solemn agreement with one another”.

Dalam Islam, istilah yang sejajar yang dapat digunakan untuk term ‘komunitas’, seperti qaum-ummah adalah sya’b dan qobilah. Lebih spesifik, Watt melihat bahwa “qawm, which may be translated ‘tribe’-had for long been associated with the kinship-group_wich was the only form of social and political organization known in Arabia”. Watt dengan hati-hati menulis “When ummah is first used in the Qur’anit is hardly to be distinguished from qawm, every beast and bird said to be an ummah.

Akan tetapi, perbedaan yang paling distingtive antara sya’ab dan kabilah jika bersanding dengan kaum dan ummah adalah pada sumber awalnya, yakni antara geneologis-nasab dan yang terbentuk berdasaran kontrak sosial-politik.

Watt mempunyai pandangan bahwa “Ummah was the sort of word thatcould be given a new shade of meaning, and it also was capable of further development subsequently.” Istilah ummah tidak dapat diterjemahkan dan harus diterima dalam bentuk Arabnya yang asli. Ummah tidak sama dengan ‘rakyat’, atau ‘bangsa’, bahkan ‘negara’, yang ketiganya sarat akan pengelompokan ras, geografi, bahasa dan sejarah, atau terkait ketiganya.

Menarik untuk melihat telaah MARCEL A. BOISARD mengenai hal ini. Ia menulis: “Ide Islam tentang ummat atau community tak terdapat dalam pikiran Barat atau dalam pengalaman sejarahnya. Ummat itu merupakan kelompok kaum mukminin yang bersatu atas dasar politik dan agama, serta berpusat di sekeliling sabda Tuhan dan bersama-sama merasa bangga berbangsa kepada wahyu yang terakhir dan benar….umat tidak sama dengan rakyat (people)…”

Konsep “Ummat” dalam al Quran

Untuk menyebut kesatuan manusia, baik yang memiliki kesamaan nasab, geneologis,maupun bahasa dan warna kulitnya yang dipersatukan oleh karakteristik aksional atau perbuatan yang dibentuk bukan terlahir atau bawaan, al Quran menggunakan istilah UMMAH.

Kata ummah terambil dari kata [tulisan arab] (amma-yaummu) Yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar yang sama, lahir antara lain kata um yang berarti “ibu” dan imam yang maknanya “pemimpin”; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.

Kata ‘ummah’ dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam Al-Quran. Ad-Damighani menyebutkan sembilan arti untuk kata ummat, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya.

Al-Quran memilih kata ini untuk menunjukkan antara lain “himpunan pengikut Nabi Muhammad saw (umat Islam)”, sebagai isyarat bahwa ummat dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah SWT.Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya’ [21]: 92).

Dalam kata “umat” terselip makna-makna yang cukup dalam. Umat mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah, harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya. Al-Quran surat Yusuf (12): 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu. Sedangkan surat Al-Zukhruf (43): 22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup.

ALI SYARIATI dalam bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah menyebutkan keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau qabilah (suku). Pakar ini mendefinisikan kata umat –dalam konteks sosiologis– sebagai “himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama”.

Tarik Menarik Identitas Ideologi-Politik: Umat Islam atau Bangsa Indonesia

Dalam perjalanan perjuangan dan perlawanan terhadap kaum imperialism-kolonialisme Barat, semisal di Hindia Belanda, maka dua identitas Umat Islam dan Bangsa Indonesia sering kali menimbulkan konflik dan kerancuan berpikir dalam perjuangan kemerdekaan. Hal ini bahkan menjadi semacam “politik historiogafi” yang berdasarkan pada kesalahan logika sejarah (logical history of fallacy), ketika misalnya menyebutkan bahwa perjuangan Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro sebagai perjuangan atas nama nasonalisme Indonesia atau kebangsaan Indonesia.

Padahal, entitas ‘kebangsaan Indonesia’ baru muncul di tahun 1913 ( Soewardi Surajanngrat alias Ki Hadjar Dewantoro) atau 1925 (Manifesto Politik). Sebaliknya, justru entitas ‘umat islam’ sudah ada seribu tahun sebelum ada yang bernama “bangsa Indonesia”. Keduanya memiliki basis pada geo-politik yang berlandaskan pada nilai dan prinsip sumber yang berbeda. Yang pertama, nasionalisme Indonesia merujuk kepada konsep pemikiran filsafat Barat (Trias Politica) dan sistem demokrasinya. Meskipun dalam rumusan khas Indonesia, menggunaan banyak konsep Islam, seperti adil, adab, rakyat, majelis, permusyawaratan, dan hikmah, syariat dan islam (Baca Mukaddimah UUD 1945, 22 Juni 1945, yang lebih terkenal dengan sebutan Piagama Jakarta). Namun, tidak berlaku, karena sudah dicoret pada 18/8/1945 dan menyisakan frasa “Ketuhananan Yang Mahaesa” yang tidak jelas tafsir sumber otentiknya darimana dan berdasarkan apa. Yang jelas, bukan dalam ayat-ayat al Quran.
Kedua, konsep ‘ummah’ secara konsttusonal pertama kali disebutkan dalam Piagam Madinah. (622 Masehi). Dalam konteks Piagam Madinah, bahwa kata ummah terdapat pada pasal 1 dan 25. Yang pertama menyatakan bahwa orang-orang Mu’min dan Muslim adalah ummat yang satu, tidak termasuk golongan yang lain. Dan kedua, menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan sekutunya adalah satu ummat bersama orang-orang Mu’min.

Konteks geo-politik ‘Umah’ merujuk kepada adanya Madinah sebagai wilayah nyata berteritorial dan berdaulat merdeka yang membentuk suatu kontrak sosial-politik sehingga terbentuk komunitas yang disebut UMMAH tadi. Tata-sosial model Madinah dapat dikontruksi di negeri atau kelompok manapun. Maka, Piagam Madinah dalam hal ini merupakan acuan yang mendasar bagi terbentuknya “piagam-piagam” lainnya yang membentuk tata-sosial Islam (ummah) yang bersifat menyeluruh.

Adanya dua istilah yang berbeda rujukan historisnya dan sumber nilainya menjadikan adanya dua Gerakan politik bernegara yang berbeda arahnya meskipun tujuannya: kemerdekaan. Yang berbeda adalah sumber nilai dan kompas perjuangnnya. Maka, lewat perjuangan yang telah berlangsung lebih dari satu abad, maka titik kulminasinya adalah masa-masa transisi antara tahun 1945-1949.

Yang terjadi, adalah adanya sebuah proklamasi kebangsaan Indonesia atasnama bangsa Indonesia (17/8/1945) yang melahirkan Negara Republik Indonesia (18/8/1945 hingga 1946). Kedua, yang merupaman kelanjutan dari dan penyempurnaan Proklamasi atasnama bangsa Indonesia, yaitu proklamasi kedua atasnama Umat Islam Bangsa Indonesia, yaitu pada saat Proklamasi Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949, SM Kartosuwirjo atasnama Umat Islam Bangsa Indonesia.

Perjalanan Indonesia menemukan rumusan bernegara dan berpemerintahan sendiri mengalami distrosi sejarah atau politik histirografi yang semakin mengaburkan jatidiri siapa diri kita: Umat Islam-kah? Bangsa Indonesia-kah? Atau Umat Islam Bangsa Indonesia-kah?

Memang, bukan hanya secara konsepsional tidak mudah untuk mendefisinikan jatidiri Indonesia dihadapan mahkamah sejarah: Yang ada bahkan Paradoks Indonesia, sebagaimana disebut Prabowo Soebianto, yang kini adalah Presiden RI atau Presiden Bapak Bangsa Indonesia. Yang lebih sulit lagi adalah memperjuankannya. Namun, sepertinya, masih relevan dengan sebuah adagium bahwa “Jika Sejarah itu ditulis oleh para PEMENANG, maka masa depan itu diciptakan para PEJUANG”. If History is written by the WINNERS, then the future is created by the WARRIORS.” Bersepakatkah, bahwa Historiografi itu harus ditulis ulang dengan tidak meng-copy paste tetapi menggunakannya sebagai “a benchmark reference to narrative history“, acuan untuk menulis narasi sejarah dengan interpretasi baru.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

five × 3 =