Nyukcruk Galur “SUNDA TEH ISLAM”

Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik/Pusat Studi Sunda)

Terasjabar.co – ISLAM itu agama IMPOR! Begitu tagline islamophobia dari salah-satu faksi SUNDA WIWITAN. Sebenarnya ungkapan ini lahir dari KETIDAKMENGERTIAN apakah Itu islam dan apakah itu Sunda. Antara ISLAM dan SUNDA adalah dua hal yang berbeda statusnya. Sementara, SUNDA WIWITAN-isme sebagai sebuah aliran kepercayaan yang berkembang di Tatar Sunda menjadi pintu KRISTENISASI pihak BARAT; dan pintu masuk ISME KOMUNISME yang membenci Islam.

Kembali kepada ISLAM itu sendiri sebagai dinul fitrah, tentunya bersifat universal bukan terbatas di Mekkah, tempat lahir dan diperjuangkannya Islam oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan proses IMAN-HIJRAH-JIHAD, melalui SIROH atau SUNATU ROSULULLUH/SUNNAH NUBUWWAH hingga mendirikan Negara Madinah dan mencapai Futuh Makkah. Sebab, Din Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah juga yang dibawa oleh Nabi sebelumnya, Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa AS.

Jika menggunakan pendekatan al Quran, bahwa setiap diri manusia itu sudah dibekali dengan ikatan perjanjian di alam ruh, yaitu pengakuan dan persaksian (bala Syahidna, QS 7:172) terhadap status Allah sebagai Robb, yang menciptakan dan menyempurnakan manusia serta memberi potensi untuk memilih jalan yang haq dan yang bathil (Iblis, Syeitan). Perjanjian di alam ruh ini diingatkan lagi melalui al Quran lewat kewajiban praktek SYAHADATEN sebagai rukun pertama Islam.

Dengan demikian, Sunda sebagai etnis dan wilayah geografis tentunya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari universalitas DIN FITRAH pada manusia sedunia, melekat pula pada urang Sunda, baik sejak adanya kerajaan Salakanagara, Tarumanegara, Galuh, Sunda, Pajajaran, atau Sumedanglarang, maupun setelah tidak adanya kerajaan-kerajaan dan digantikan dengan kesultanan-kesultanan Banten dan Cirebon yang mencirikan “celupan” Sslam.

Bahwa, kemudian dalam perkembangannya corak Hindu-Budha lebih menonjol di awal perkembangan keyakinan etnis Sunda; atau ada yang mengklaim ada keyakinan monoteisme yang menjadi ‘ageman’ etnis Sunda awal merupakan dinamika proses evolutif kebudayaan dan peradabannya.

Mereka percaya bahwa Adam adalah nenek moyang mereka: “… Dalam mitos penciptaan Baduy dijelaskan bahwa ‘dunia pada waktu diciptakan masih kosong, kemudian Tuhan mengambil segenggam tanah dari bumi dan diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah Hawa. Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal, (2) Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo), (4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi Muhammad yang diturunkan di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang bersemayam di Sasaka Domasi”.

Akan tetapi, Sunda Wiwitan yang ada di Bogor, tepatnya di KAMPUNG ADAT URUG, DESA URUG, KECAMATAN SUKAJAYA berbeda. Para penganutnya mengklaim Sunda Wiwitan di Bogor bukan agama atau kepercayaan, melainkan sebuah upaya pelestarian budaya. Menurut Abah Ukat, makna wiwitan dalam Sunda Wiwitan adalah permulaan atau awal. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri antara lain bahasa awal, atau bahasa sunda yang pertama muncul. Untuk agama, mereka memeluk agama Islam. Di Kartu Tanda Penduduk (KTP) Islam. Sehingga Sunda Wiwitan yang kami anut merupakan bahasa, serta tradisi dari leluhur yang kami jaga. Jadi beda Sunda Wiwitan di Kampung Urug, Bogor dengan Sunda Wiwitan di Banten.

Asal Usul SUNDA

Bahkan, asal-usul etnis Sunda pun ternyata adalah para imigran yang berasal dari wilayah Sundaland Austronesia, yang termasuk ras Mongolid yang tersebar dari Taiwan hingga Hawaii. Apalagi Rujukan paling awal mengenai nama “Sunda” yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah kerajaan adalah Prasasti Kebon Kopi II, bertanggal 854 Saka (932 M).

Nama “Sunda” muncul dalam sumber Jawa, Pararaton, yang melaporkan bahwa pada tahun 1336, pada saat pelantikannya sebagai Perdana Menteri, Gajah Mada mendeklarasikan Sumpah Palapa, yang menyatakan kebijakan luar negerinya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.

Sedangkan kata “Sunda”, berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu awalan Sund atau Sundsha yang memiliki arti bersinar, putih, berkilau, atau terang. Dalam bahasa Bali dan bahasa Jawa Kuno artinya adalah bersih, tak bernoda, dan putih.

Islam dalam arti ajaran syariat Nabi SAW pertamakali dibawa ke Tatar Sunda tidak dapat dilepaskan dari sosok Bratalegawa (atau dikenal pula dengan sebutan Haji Purwa, 1350-1415) (Ayat Rohaedi, 2005: 128). Ia dikenal sebagai priyayi (bangsawan dari kerajaan Sunda-Galuh), putra kedua Prabu Borosngora, yang menjadi muslim pertama di wilayah Kerajaan Sunda-Galuh, bahkan Tatar Sunda secara keseluruhan. Ia juga dikenal sebagai haji pertama dari kalangan priyayi (bangsawan) Tatar Sunda, sehingga ia dijuluki “Haji Purwa” atau Haji Pertama. Disebutkan bahwa ia belajar Islam di berbagai tempat, yakni di Cirebon (Sunda), Aceh (Melayu), Gujarat (India) dan Mekkah (Timur Tengah) sambil menjalani profesinya sebagai niagawan (saudagar). Prabu Anggalarang atau Raja Niskala Wastukencana (1371-1475) merupakan ipar Bratalegawa.

Pasca Perang Bubat, saat sang ayah Prabu Bunisora naik tahta pada tahun 1357-1371, Bratalegawa masih menuntut ilmu di Sunda Galuh. Sang ayah (Prabu Bunisora) telah masuk Islam pada masa akhir hayatnya, yakni ketika turun tahta digantikan oleh Prabu Niskala Wastu Kencana (atau Prabu Anggalarang atau Prabu Wangi Sutah, lahir tahun 1348 dan memerintah Galuh pada 1371-1475.

Bratalegawa merupakan keponakan Prabu Linggabuana, dan berarti merupakan sepupu dari Dyah Pitaloka dan Prabu Niskala Wastu Kencana (atau Prabu Anggalarang). Masa hidup Bratalegawa hidup sejaman dengan Hayam Wuruk (1334-1389) sejaman dengan Ibn Khaldun (1332-1406), sejaman dengan Timurlank (1336-1405), penguasa Samarkand.

Prabu Siliwangi dan Islamisasi di Pajajaran

Menarik bahwa proses Islamisasi dalam mitos yang hidup di kalangan masyarakat Sunda semuanya dikaitkan dengan Prabu Siliwangi. Mengenai siapa Prabu Siliwangi ini Edi S. Ekadjati menyimpulkan bahwa dimungkinkan yang dimaksud adalah RAJA NISKALA WASTUKANCANA (1371-1475) yang berkedudukan di keraton Surawisesa di ibu kota Kawali (Galuh) atau RAJA SRI BADUGA MAHARAJA (1482-1521) yang berkedudukan di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati di ibukota Pakuan (Pajajaran). Keduanya merupakan raja-raja Sunda yang berhasil membawa kerajaan Sunda ke puncak kejayaannya hingga dikenang oleh masyarakat Sunda.

Versi para ulama tentang status keislamannya Prabu Siliwangi berakar dari keyakinan dan ajaran syariat bahwa menikahkan seorang muslimah dengan seorang kafir/musyrik itu haram hukumnya. Maka, atas saran Syeikh Quro, dirinya harus pergi Mekkah, dan dipertemukan dengan seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik hingga mengucapkan SYAHADATEN. Sepulangnya dari Mekkah, pada 1422 M, pernikahan pun dilangsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin Syekh Quro.

Adapun Prabu Siliwangi yang dimaksud adalah PAMANAH RASA atau PRABU JAYADEWATA (1401-1521) (disebut juga Mundinglaya Di Kusumah,dalam carita pantun)yaitu putra Prabu Siliwangi, Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastukancana (1371-1475) sebagai seorang mualaf menikahi Nyi Mas Sub Ang larang (Pahlawan berkuda).

Bernama asalnya Kubang Kencana Ningrum adalah santriwati/qiroah murid Syeikh Quro (Karawang) lahir sekitar tahun 1404. Ayahnya, Ki Gedeng Tapa adalah anak Ki Gedeng Kasmaya, saudara Haji Purwa Bratalegawa anak Prabu Bunisora yang digantikan oleh Prabu Niskala. Ki Geden Tapa, syahbandar di pelabuhan Muara Jati, menitipkan anaknya itu untuk belajar Islam selama dua tahun kepada Syekh Quro.

Sunda Wiwitan Reborn (Abad IX M-XV M)

Ajaran SUNDA WIWITAN secara umum merujuk kepada KITAB SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN. Naskah ini ditulis dalam bentuk prosa didaktis, yang mengandung kutipan berbahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian kita masih melihat hubungan Sunda dengan Jawa di satu sisi, juga dengan India di sisi lain yang masih terjaga pada awal abad ke-16. Naskah ini bertanggal 1440 Saka atau 1518 Masehi merupakan naskah Sunda Kuno tertua. Naskah ini pertama kali diungkapkan oleh K. F. Holle. Edisi lengkapnya yang disertai terjemahan, pengantar, komentar dan glosari ditulis dalam kertas stensil pertama kali diumumkan oleh Atja dan Danasasmita (1981).

Ajaran SW merujuk pada kitab tersebut yang menjelaskan adanya tiga konsep siksa (ajaran), yaitu siksa kandang, siksa kurung, dan siksa dapur. Siksa kandang, secara harfiah berarti ajaran kandang, adalah ajaran yang menyangkut etika dan moral bagi masyarakat umum. Siksa kurung (kurung lebih kecil dari kandang), merupakan aturan etika bagi kalangan agamawan. Terakhir, siksa dapur, secara harfiah berarti ajaran akar, merupakan ajaran pokok bagi agamawan yang telah mencapai level tertinggi. Isinya berupa ajaran-ajaran metafisika dan eskatologis.

Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di Banten dan Jawa Barat, seperti orang Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Sindang Barang, Kabupaten Bogor, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Kabupaten Sukabumi; Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya; dan Cigugur, Kabupaten Kuningan, dan Cireundeu di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam, yaitu pada abad IX Masehi, dengan merujuk pada nama “Sunda” yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah kerajaan adalah Prasasti Kebon Kopi II, bertanggal 854 Saka (932 M). Prasasti ini ditulis dalam aksara Kawi dan berbahasa Melayu.

Namun, antara klaim bahwa Sunda Wiwitan itu ajaran yang setidaknya berawal pada abad IX. Sedangkan Kitab suci rujukannya, yaitu KITAB SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN baru dikenal pada abad XV, seiring dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Jadi, ada tentang waktu hampir 5 abad (lima ratus tahun), yaitu Abad IX- XV konstruksi ajaran Sunda Wiwitan menjadi sebuah kitab yang dianut para pengikutnya kemudian hingga saat ini.

Sunda Wiwitan di Cigugur

Di era Hindia Belanda, penganut Sunda Wiwitan berkembang menjadi beberapa aliran. Salah-satunya disebut Cara Karuhun Urang, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Agama Djawa Sunda (ADS) yang berdiri sekitar tahun 1925 di Cigugur, adalah salah satu agama lokal sekaligus juga komunitas masyarakat adat Sunda yang berkembang di Jawa Barat.

Pendiri Madrais adalah Pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat yang dikenal dengan Pangeran Madrais atau Kyai Madrais dilahirkan di Susukan Ciawi Gebang (1822) wafat di usia 65 tahun. Agama Djawa Sunda (ADS) disebut juga sebagai Adat Karuhun Urang (AKUR). Sedangkan “Agama Djawa Sunda dari singkatan dari Andjawat Lan Andjawab Roh Susun-susun Kang Den Tunda yang berarti “memilih dan menyaring getaran yang ada di alam semesta yang senantiasa berinteraksi dan mempengaruhi dalam hidup manusia”.

Agama lokal Sunda Wiwitan yang berada di Cigugur berbeda dengan Sunda Wiwitan di Baduy, jika di Baduy mengenal nama-nama dewa Batara Tunggal, Nyai Pohaci, nama-nama itu nyaris tidak ada dalam ajaran Sunda Wiwitan di Cigugur. Khitan tidak diwajibkan dan penguburan jenazah memakai peti dan tidak diperbolehkan poligami.

Sunda Wiwitan Di Mata Hukum Negara

Sunda Wiwitan sebagai salah-satu aliran kepercayaan dan penghayatan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah salahsatu aliran kepercayaan di Indonesia. Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa menurut catatan data statistik dari penduduk Indonesia 261.142.385 jiwa, ada 138.791 jiwa yang memeluk kepercayaan, yang terhimpun dalam 187 organisasi yang berada di 13 provinsi. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari 187 organisasi itu ada 160 yang aktif sisanya tidak aktif.

Hak hidup Sunda Wiwitan sebagai aliran kepercayaan di Indonesia secara hukum dilindungi oleh UUD 1945, setelah keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No.97/PUU-XIV/2016. Namun, pihak MUI Pusat, menyatakan bahwa agama tidak setara dengan kepercayaan, sehingga harus dipisahkan. Maka, menanggapi Putusan MK tersebut, Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan MUI, BASRI BERMANDA mengusulkan kepada pemerintah agar kepada penghayat kepercayaan diberikan KTP-elektronik yang mencantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama. Dirjen Kebudayaan, HILMAR FARID secara simbolis telah mensahkan adanya KTP kolom agama/kepercayaan pada tahun 2023.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

one + eighteen =