Bencana Alam Jabar Bukan Lagi Sekedar Panggilan Alam
Ina Agustiani, S.Pd.
Terasjabar.co – Bencana didisain oleh Allah sebagai peringatan untuk manusia agar kembali ingat kepada penciptaNya dan sebagai komitmen amanah menjaga alam sekitar. Nyatanya sekarang bencana itu tak lagi panggilan alam semata, sebagian besar karena ulah dan keserakahan manusia.
Provinsi Jawa Barat menjadi tempat dengan banyak bencana alam. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan bahwa bencana yang terjadi di Jabar bukan karena faktor cuaca, tetapi karena alih fungsi kawasan. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jabar yaitu Bapak Wahyudin, Provinsi Jabar mengalami deforestasi dan degradasi kawasan hutan yang signifikan, posisi alam berubah disebabkan alih fungsi kawasan berlebihan. Opendata.Jabar merujuk per tahun 2022 terdapat lahan kritis seluas 907.683,68 hektare di Jabar. Alih fungsi lahan diduga terus bertambah yaitu marak izin wisata, infrastruktur bangunan properti dengan berbagai intervensi pengusaha atas nama investasi.
Bencana banjir pun datang, menurut data BPBD ribuan bangunan terendam dan 40 ribu jiwa di enam kecamatan terdampak banjir dan meluapnya aliran Sungai Citarum pada pekan lalu. Ini menyebabkan terjdi penyusutan lahan (tuplah) di Bandung Raya. Kerusakan lain dengan hilangnya fungsi Kawasan Bandung Utara (KBU) berfungsi sebagai tangkapan air sudah tidak bisa menyandang sabuk hijau bagi Kota Bandung, karena terhalang gerusan pembangunan properti dan izin wisata alam. Selain itu proyek Geothermal Tangkuban Parahu akan segera dieksplorasi. Jika intensitas hujan tinggi, dan daya dukung tampung lingkungan masih baik maka alam tidak akan memberikan sinyal bahaya kepada kita semua, untuk itu perlu sinergitas untuk mencermati dengan baik dari kita semua.
Berbagai Kendalanya
Anggaran kesiapan bencana di KBB yang bersumber dari APBD sangat minim, Pemkab menganggarkan Rp3 miliar. Menurut Asep Sehabudian selaku Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) KBB, mengatakan anggatan ini hanya cukup untuk penanganan, logistik, dan sosialisasi mitigasi bencana, tak sebanding dengan potensi bencana. Ditambah wilayah rawan bencana sangat luas. Maka solusinya akan mencari bantuan dana lagi ke BPBD Jabar dan Nasional. Dari anggaran saja, BPBD harus pontang panting sendiri mencari dana tambahan.
Bisa dipastikan kerusakan lingkungan akan berdampak pada masa depan manusia, faktor keselamatan rakyat wajib diperhatikan, tapi yang terjadi adalah keserakahan dari orang yang punya kepentingan. Pemerintah harus mengambil langkah tata kelola lingkungan yang baik dan melakukan pemulihan lingkungan. Selain itu masyarakat juga harus tahu bahwa mereka ada di wilayah rawan bencana dan harus menghindari aktivitas merusak lingkungan.
Selain itu beberapa kebijakan memuluskan para kapital atau oligark kepentingan bisnisnya. Walhi megindiksi UU Nomor 6/2023 tentang lahirnya Perpu Cipta Kerja dimana para pengusaha harus memberikan 30% lahan untuk dihijaukan, dihilangkan dan tak ada sanksi jelas. Seperti di Riau UU Ciptaker memfasilitasi keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan. Bukannya dihentikan, pemerintah memutihkan lahan 3,3 juta ha, bukannya diberi sanksi malah dibenarkan dan direstui negara. Akibat deforestasi ini rakyat kehilangan ruang hidupnya, mengalami banjir bandang, kebakaran hutan, kenaikan suhu, hilang sumber air, tanah longsor, punahnya ekosistem. Para oligark (pengusaha) bertambah cuannya dengan terus menggunduli hutan, bertambah pula penderitaan rakyat.
Solusi Islam
Masifnya deforestasi, melesatnya pembangunan demi pertumbuhan ekonomi, adalah tujuan pemilik modal, dengan mengorbankan rakyat dan merusak ekosistem alam. Hutan dialihfungsikan jadi perkebunan/tambang, perumahan dan tempat wisata menjadi legal untuk digunduli.
Hal ini berbeda dengan Islam. Pembangunan betujuan untuk kemaslahatan bukan dengan cara eksploitatif, dan akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi penghuni bumi manusia, hewan, tumbuhan maupun alam. Tidak ada yang dikorbankan untuk kepentingan segelintir pihak. Pelestarian hutan karena ini adalah harta milik umum yang tidak boleh dimiliki swasta, negara wajib mengelolanya agar membawa maslahat untuk rakyat. Dalam Islam tempat wisata bukan ajang untuk meraup pundi keuntungan, melainkan memperbanyak tadabur pada Allah, semakin memperkuat keimanan seorang hamba, tidak komersil, jikapun harus berbayar sangat kecil dan tidak membebani, bahkan pada tahap gratis.
Negara dengan aturan Islam Kaffah akan melakukan edukasi di tahap sangat serius level negara dengan sistem pendidikan dibantu departemen penerangan (telekomunikasi) agar tumbuh pada diri rakyat untuk menjaga bumi, dibangkitkan akidah dan amanah sebagai sesama makhluk. Aturan ketat untuk perusahaan yang abai seperti tindakan ilegal logging akan mendapat sanksi berat berupa tazzir yang disesuaikan negara, supaya ada efek jera. Dengan begitu alam yang lestari akan membawa dampak mendunia. Semua menjaga karena iman yang ada pada dirinya, maka rahmat semesta alam yang dijanjikan niscaya adanya. Wallahualam bissawab.
Leave a Reply