Apa Jadinya Indonesia Tanpa Islam (Tafaquh Fiddin Merumuskan Fiqh Mustadafin)
Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik)
Terasjabar.co – Dalam diskusi publik yang diselenggarakan DKM Masjid Agung Cianjur (16/11/2025) tampil sebagai narasumber Nunu A. Hamijaya, penulis buku sejarah (Pusat Studi Sunda-Bandung) dan Dr. KH. Nanang Ghozali (UIN SGD Bandung) dan moderator H. Sudrajat Laksana, M.I.Kom. (YPI Al I’anah) membahas tema tentang menghadapi “Kiamat Menjelang Tiba“. Hadir dalam diskusi publik al Ust Rd. Musa Nasikin (HTI), Ust. H. Kankan (DMI), Ust. Ending (MUI), dan Ust. H. Yudi Latiful (KB PII) yang dihadiri lebih dari 25 peserta aktif.
Diriwayatkan dari Tsauban RA, Rasulullah SAW bersabda: “Bangsa-bangsa di dunia akan memperebutkan kalian (umat Islam), seperti memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami (umat Muslim) pada waktu itu berjumlah sedikit?”Beliau SAW menjawab, “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, tapi seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut para musuh kepada kalian, dan menanamkan Al Wahn ke dalam hati kalian.”
Seseorang lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu Al Wahn?” Beliau SAW menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud)
Saat ini, kita berada dalam zaman menjelang kiamat tiba. Menurut hadits dari Abu Hurairah, bahwa kiamat tidak akan terjadi hingga umat islam mengikuti millah kaum Persia dan Romawi (HR Bukhori No7319) atau mengikuti Yahudi dan Nashroni (HR. Muslim no. 2669). Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031.
Menurut Hadits Nabi SAW, bahwa zaman ini adalah era Mulkan Jabariyyah, pasca runtuhnya Khilafah Ustmaniyyah (1924) yang mengakhir era Mulkan adhon.
Kondisi akhir zaman tersebut, sangatlah terbuka terjadinya politik historiografi islam terhadap umat islam di Indonesia maupun dunia. Politik historiografi yang dimaksudkan sebagai perilaku kekuasaan dalam mengendalikan sejarah.
Politik historiografi adalah perilaku kekuasaan dalam mengendalikan sejarah.Sebab sejarah adalah milik para pemenang (pengusa).Hal ini sudah berlangsung sejak era Kolonial Hindia Belanda. Penulis menyebutnya ada 4 pola, yaitu : (1) cacat logika sejarah; (2) cacat sejarah (3) mitos sejarah (4) penguburan sejarah (burial history); dan berdasarkan tulisan M. Natsir menjadi (5) nativisasi sejarah.
Misalnya, bagaimana umat islam ‘dipaksa atau terpaksa’ untuk menerima umat islam sebagai subordinasi dari bangsa Indonesia dalam perspektif politik. Padahal, umat islam lebih dahulu hadir sejak abad ke-7 (Piagama Madinah) sementara ‘bangsa Indonesia’ baru hadir abad ke-20 (1928/1945). Bukankah seharusnya, identitas kita berdasarkan logika sejarah yang benar adalah ‘umat islam bangsa Indonesia’?
Kedua, bagaimana Islam hanya sebagai ‘agama’ mayoritas penduduk Indonesia harus menerima konsep toleransi konstitusional setara dan sejajar dengan ‘agama’ minoritas seperti Kristen, Protestan, Hindu, Budha,dan lainnya.
Sebagaimana dinyatakan M.Natsir, bahwa “ apalagi kalau sudah muncul dalih berdasarkan hidup saling toleransi. Kristen-Islam sama-sama, untuk keseragaman, Toleransi! Istilahnya sekarang ini. Tapi toleransi ini akan menikam diri sendiri. Membiarkan kita ditikam orang.” (Ceramah M. Natsir, 10/9/1989 dikutip dari buku Patah Tak Tumbuh Hilang Tak Berganti, Hadi Nur Ramadhan, 2021:39).
Jalan Tafaquh Fiddin: Fokus Utama Kerja
Tehadap praktek politik historiografi itu, menurut penulis, denganmerujuk kepada al Quran telah memberikan solusi mendasar agar ada di antara umat islam ada yang melakukan aktifivita s TAFAQUH FIDDIN.
Di dalam Al-Quran, secara ekplisit tafaqquh fiddin terdapat dalam QS. At-Taubah [9]: 122.Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah berpendapat bahwa kata liyatafaqqahu terambil dari kata fiqh, yang berarti pengetahuan yang mendalam akan hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Sedangkan penambahan huruf ta pada frasa liyatafaqqahu mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. (al-Misbah, Vol. 5, Juz 15, hlm. 289)
Setidaknya ada dua fokus utama tafaquh fiddin yang mesti dikerjakan secara sistematis dan terprogram. Fokus pertama adalah, memahamkan tentang makna fiqh dan ad Din dengan benar.
Islam adalah ad DIN. Dalam kamus al-Munjid dapat ditemukan keterangan tentang arti dīn yaitu; dīn sebagai jama’, adyan’, pertama, al-Jaza wal wal-mukafaah, kedua, al-Qadha, ketiga, al-Malik/al-muluk wa ‘s-Sulthan, keempat, at-Tadbir, kelima, al-Hisab. Prof. Naquib Al-Attas menyatakan, istilah bahasa Arab yang tepat untuk kata ‘religion’ atau ‘agama’ sebagaimana yang dipahami dan dipraktekan di Barat dan Timur adalah millah bukan dīn. Pengertian dīn adalah dayn (hutang), madīnah (kota), dayyān (penguasa, hakim), dan tamaddun (peradaban).
Makna DIN menurut Al-Attas, yaitu hubungannya dengan konsepsi kata ‘Madīnah’. Kata bahasa Arab untuk kota adalah ‘mudun’ atau ‘madā’in’ yang merupakan turunan dari kata ‘dāna’. Karena tidak akan pernah ada sebuah masyarakat yang berperadaban tanpa seorang hakim, penguasa, gubernur. Kita menemukan bahwa keberadaaan fisik dan kehidupan yang berperadaban yang berkembang dalam sebuah kota merupakan cerminan secara linguistik berasal dari istilah dāna
Makna DIN juga berkaitan dengan istilah ‘Tamaddun’ berasal dari kata maddana yang berarti peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial.Maka,makna ad din itu merujuk kepada perwujudan sebuah ‘tamaddun Islam’ lebih dari sekedar sebuah Madinah atau negara, tetapi menyangkut skala global, sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin. Maka, untuk mewujudkan sebuah tanmaddun islam, bukan saja mengharuskan adanya sebuah negara Madinah dan otoritas politiknya namun juga termasuk didalamnya keadilan, ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi sebagamana digambarkan dalam sebutan al Quran ‘baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur’
Fokus kedua dari kerja ‘tafaquh fiddin’ adalah memahami dan menerjemahkan dalam kerangka kerja operasional tentang konsep kitabullah dan Sunah rosul, sebagaimana yang disampaikan Imam Malik dalam Kitab Al-Muwaththa’ meriwayatkan hadits sebagai berikut:
“Rasulullah saw bersabda, ‘Aku meninggalkan dua hal di tengah kalian; selama berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya: yaitu kitab Allah dan sunah rasul-Nya,’” (HR Imam Malik).
Otoritas Menjadikan al Quran sebagai Kitabulloh
Selama ini kita baru memahami al Quran sebagai bacaan dan bahan kajian, belum memposisikannya sebagai sumber hukum dan menjadikannya sebagai ‘kitabulloh’, yaitu status al Quran yang ditetapkan sebagai hukum syar’i yang berkekuatan hukum wajib. Itulah sebabnya misalnya dalam al Quran yang berkenaan dengan ayat Shaum dan Qital, disebutkan frasa kuncinya ‘KUTIBA alaikum syiam” atau ‘KUTIBA alaikum qital’ yang artinya telah Allah dan Rosululloh ditetapkan sebagai kewajiban hukum yang mengikat kepada mereka yang beriman untuk menjalankan shaum atau melaksanakan wajib jihad.
Maka, muncul pertanyaan ,siapa otirrtas untuk menyatakan ‘kutiba’ berdasarkansumber al Quran dan al hadits tadi sehinga memiliki kekuatan huum mengikat? Maka, al Quran memberikan jawaban tegas sebagaimana diwahyian dalam al Quran
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS an Nisa:59).
Wa may yuṭi’illāha war-rasụla fa ulā`ika ma’allażīna an’amallāhu ‘alaihim minan-nabiyyīna waṣ-ṣiddīqīna wasy-syuhadā`i waṣ-ṣāliḥīn, wa ḥasuna ulā`ika rafīqā
Artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS an Nisa:69).
Maka, jelas pertama bahwa pihak yang memiliki otoritas menetapkan sebagai KITABULLOH adalah ‘ulil amri minkum’. Kedua, hanya jika perintah itu sesuai dengan hukum Syariah Islam boleh ditaati selain itu yang bertentangan tidak boleh ditaati. Syarat utama ‘ull amri’ itu adalah lembaga/institusi pemerintahan berdasarkan al Quran (Syariat islam) dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosulnya (Muslim).
Adapun kedudukan Rosululloh SAW dalam hal ini sebagaimana diwahyukan dalam al Quran, bahwa Rosululloh adalah hakim yang memutuskan perkara dari umatnya berdasarkan wahyu.
Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian, tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya (QS an Nisa :65).
Sunnah ar Rosul: Siroh Sebagai Manhaj Haraki
Dalam ‘tafaquh fiddin’ dengan pengertian khusus-terbatas, setidaknya ada 3 (tiga) obyek ilmu yang sudah lazim dijalankan sebagai kurikulum inti, yaitu: aqidah, fiqh dan akhlak. Namun, seringkali diabaikan bahwa ketiga hal tersebut harus terhubung sebagai suatu mata rantai yang tak terputus sanadnya yaitu dengan pergerakan dakwah Nabi Muhammad SAW bahkan para nabi sebelumnya.
Aspek keempat itu adalah siroh. Sirah Nabawiyah adalah aplikasi operasional dari ajaran Islam kaffah. Didalamnya terdapat waqiah haroqiah sbg Manhaj haraqi yg merupakan framework dari Rosulullah sbg uswatun Hasanah (33/21).
SIROH ini merupakan mata rantai yang menghubungkan kita dengan Rosulullah bahkan dengan para nabi sebelumnya dan untuk apa mereka diutus yaitu menegakkan DIN dengan syari’ah nya masing masing. Maka, kaitan antara siroh dengan dakwah itu adalah sebagai kesatuan framework (kerangka kerja) sebuah harokah pergerakan islam.
Pola Sunnah Rosul: Iman-Hijrah-Jihad
Maka, kaitan antara menjalankan kitabulloh dan sunnah rosululloh adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan,sebab menerapkan al Quran sebagai kitabulloh itu harus dalam kerangka kerja perjalanan sunnah rosululloh yang didalamnya terdapat pola sunnah dan ‘manhaj harak’i (al-Ghadban, 1984). Yang dimaksud pola sunnah itu mencakup siklus pergerakan risalah Muhammad SAW, yaitu melalui fase iman, hijrah, dan jihad.
Hal ini direkam dalam al Quran berikut ini: Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka lebih agung derajatnya di hadapan Allah. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS at Taubah: 20).
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (al-Anfal : 72).
Dua ayat al Quran tadi landasan rujukan wahyu tentang memberikan teori dan praktek menjalankan kitabulloh dan sunnah rosul yang disebut sebagai fase iman-hijrah-jihad. Maka, mereka yang menjalankan kehidupannya dalam fram-work ini adalah yang akan mendapatkan keselamatan dan kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”
Merumuskan Fiqh Mustadafin
Kesadaran umat islam saat ini sebagai obyek penderita dan minoritas secara politik-kekuasaan dan peradaban mengarahkan kita untuk merumuskan kebutuhan akan Fiqh MUSTADAFIN.
Fiqh mustadl’afin cabang fiqh yang membahas dan mengkaji hukum Islam untuk menolong orang-orang lemah dan tertindas karena ketidakadilan sistemik. Pemeo “yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin” harus segera diubah dengan “yang kaya semakin peka yang miskin semakin rajin” dengan fiqh mustadl’afin, fiqh yang berpihak pada orang miskin dan orang marjinal.
Ulama dan fuqaha bukan hanya pengajar dan pembina keagamaan umat, bukan hanya mu’allim melsinkan lebih dari itu, yaitu sebagai “murabbi”, pengurus berbagai kebutuhan umat. Karena itu ulama dan fuqaha harus mampu merasakan kesulitan dan penderitaan yang dialami umat agar mampu marumuskan fiqh mustadl’afin yang benar-benar aspirasi dan kebutuhan umat.
Memang, dalam banyak aturan dan perundangan substansi rumusan fiqh mustadl’afin sudah banyak tercover. Tetapi karena sistem hukum negara tercerabut dari akar akidah, tidak sebagaimana fiqh yang digerakkan oleh keimanan, maka sistem yurisprudensi Islam relatif tidak banyak terjadi pelanggaran sistem karena setiap pembuat dan pelaksana kebijakan selalu merasa diawasi Alah SWT.
Wajib Adanya Framework Fiqh Mustadafin
Realitas yang tampak di depan mata percaturan dunia saat ini menunjukkan betapa umat Islam berada pada posisi marginal, tertindas, dan subordinat. Permasalahan utama yang muncul pada umat Islam pada umumnya terkait dengan faktor keterbelakangan ekonomi, sosial, dan instabilitas politik. Upaya kritis untuk menyelesaikan permasalahan ini mendesak untuk dilakukan demi menyelamatkan Islam dari kemunduran dan benturan bertubi-tubi dari arus global.
Umat Islam, terutama kelompok miskin tertindas, di era globalisasi kapitalisme akan menghadapi gelombang kemiskinan struktural yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Golongan Muslim miskin membutuhkan teologi, paradigma dan analisis sosial yang memihak pada mereka, itulah teologi bagi kaum tertindas, teologi yang membebaskan mereka dari ketertindasan dan eksploitasi global. Bagi golongan miskin dan marginal, kehadiran globalisasi lebih membawa ancaman ketimbang berkah.
Sebuah fiqh yang disebut Fiqh Mustadafin harusnya tampil untuk memberi ruang bagi pembelaan kaum tertindas sangat diperlukan dengan membentuk gerakan sosial (social movements). Tantangan terbesar yang dihadapi adalah dukungan masa atas legitimasi teologis ini.
Islam dalam kenyataannya tergolong kecil dari segi jumlah dan cenderung ada jarak dengan masyarakat. Tantangan lain adalah kuatnya paradigma dominan penganut globalisasi neoliberalisme yang telah berhasil menundukkan pemerintah dan Negara, melalui infiltrasi gagasan pasar bebas atas setiap kebijakan negara sehingga mampu melindungi kepentingan mereka.
Fiqh Mustadfin pada prinsipnya menolak dan menentang kapitalisme global. Dalam frame-work fiqh Mustadafin, bahwa:
- Islam mensyaratkan kepemilikan pribadi tidak semata-mata digunakan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga harus berfungsi sosial. Kepemilikan tidak hanya bergulir dalam rotasi kelompok kaya dan pemilik modal saja, tetapi alur distribusinya juga harus merambah ke kalangan miskin dan lemah.
- Kecenderungan monopolistik dan kapitalistik tidak dibenarkan dalam Islam karena hal itu akan berimplikasi pada perampasan hak orang-orang miskin, seperti menumpuk harta, kikir, dan penguasaan sumber ekonomi oleh kelompok kecil masyarakat.
- Dalam Islam, terjadinya praktek penindasan merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok yang terlibat dalam penindasan itu.
Dalam konteks yang lebih operasional, Fiqh Mustadafin mendorong gerakan Islam dengan memfokuskan pada:
- Mengawasi dan mengkounter Ilusi kemakmuran global yang dibawakan oleh sistem perdagangan internasional. Mekanisme perdagangan internasional yang digagas oleh GATT maupun WTO hanya berakibat lacurnya asset kekayaan negeri Muslim pada negara-negara besar.
- Menentang sistem hukum yang diskriminatif dan mengelabuhi rakyat tentang arti kepastian dan keadilan hukum. Islam mendesak agar semua kejahatan manusia dipertanggungjawabkan secara transparan didepan hukum dan diketahui publik.
Para ulama dan tokoh umat islam yang sadar dan tercerahkan wajib mekakukan upaya untuk Menyusun suatu manipol tentang fiqh Mustadfin dan menerjemahkannya dalan frame-work untuk program dan proyek-proyek jangka pendek, menengah dan Panjang. Hal ini hanya bisa dilakukan jika ada sebuah komitmen syuro ummah untuk membentuk kekuatan intelektual dan politik ulama dan tokoh umat islam yang membawa bendera kalimat TAUHID secara konsisten dan istiqomah.






Leave a Reply